Kebutuhan Moderasi Beragama
Saat ini moderasi beragama menjadi program pemerintah, namun keraguan akan tujuan moderasi beragama belum hilang di sebagian masyarakat. Ada yang mencurigai bahwa program moderasi beragama adalah proyek liberalisasi umat Islam.
Hal itu bisa dimaklumi, sebelum moderasi beragama muncul telah berkembang pluralisme dan deradikalisasi. Pluralisme memiliki berbagai pendekatan sampai pada dialog antar-iman, yang dituding mengaburkan batas keyakinan.
Deradikalisasi juga banyak dikritik bias hanya ditujukan pada umat Islam. Dengan partisipasi banyak kalangan, deradikalisasi dipandang tidak sunyi dari bias sentimen antar-kelompok.
Terlepas dari keberatan tersebut, kepentingan moderasi beragama itu nyata. Persoalan hubungan antar-umat beragama di Indonesia dan hubungan umat beragama dengan pemerintah sering mengalami eskalasi. Eskalasi itu terkadang terkait dengan momen-momen politik, seperti runtuhnya Orde Lama dan runtuhnya Orde Baru. Di tengah terbukanya media informasi, ketegangan cepat pula menyebar.
Moderasi menjadi kebutuhan menciptakan suasana kondusif bagi umat beragama di Indonesia di tengah ke-bhinneka-an agama dan kepercayaan yang dianut masyarakat Indonesia. Meskipun Indonesia pernah punya rumusan harmoni umat dalam satu agama, harmoni antar-umat beragama, dan harmoni umat beragama dengan pemerintah, implementasinya tidak mudah.
Demikian pula, pengalaman konflik di negara-negara lain menunjukkan kebutuhan moderasi tersebut. Di luar negeri, konflik bernuansa agama terjadi di banyak negara. Konflik Irlandia Utara, konflik sosial di India, di Republik Afrika Tengah, Sudan, Sri Lanka, Syiria, hingga Yaman sedikit ada banyak mengandung muatan beragama. Belum lagi, penguatan primordialisme di negara-negara Barat dalam gerakan far right.
Di Indonesia, konflik Ketapang, Ambon dan Maluku, Poso dan Sampang adalah contoh-contoh konflik bernuansa agama. Belum lagi persoalan pendirian rumah ibadah, pengajian dan kebaktian umum, hingga pelecehan atau pemaksaan simbol agama.
Tidak semua konflik bernuansa agama itu akarnya adalah agama. Agama sendiri bukan penyebab konflik, meski sebagian kalangan memandang keyakinan tertentu sebagai penyebab konflik. Namun, umumnya agama menjadi mobilizing factor yang membuat penganut agama bergerak dan mengesahkan tindakan kekerasan dengan dasar pembelaan agama.
Bukan Moderasi Agama
Dalam lintas sejarah, berbagai kalangan agama menggunakan dasar agama untuk mobilisasi massa untuk konflik hingga kekerasan. Bahkan kelompok agama yang memandang keyakinannya “damai” sekalipun punya track record dalam penggunaan identitas agama atau kelompok agama dalam konflik.
Tentu saja, tindakan salah tersebut tidak berarti ajaran agama yang salah. Manusia sebagai pengamal agamalah yang menjadi titik krusial. Orang muslim, misalnya, bisa saja menjalankan jihad dengan syiar agama dan membangun umat untuk bisa mengamalkan agama secara lebih baik. Di sisi lain, boleh jadi pula ada muslim yang dengan dasar jihad mengebom fasilitas umum, bahkan masjid, yang dipandang sebagai tempat islami.
Oleh karena itu, istilah moderasi beragama beda dengan moderasi agama. Dalam moderasi beragama yang menjadi fokus adalah perilaku umat beragama, sedang dalam moderasi agama, ajaran agamalah yang di moderasi. Moderasi beragama ini tidak menjadi soal. Umat Islam, misalnya, sering membaca surat al-Kafirun dan menerimanya sebagai kebenaran. Hal demikan tidak akan menimbulkan pesoalan.
Persoalan baru muncul ketika label “kafir” secara terbuka dikenakan pada orang yang berbeda keyakinan. Labelisasi pada level hubungan sosial ini bisa memantik pertikaian karena konotasi label itu yang dipandang kurang menyenangkan atau sebagai tindakan tidak menyenangkan. Hal yang sama berlaku pada orang yang untuk menunjukkan kesetiaan pada dasar negara Pancasila, lalu melabeli pihak lain secara terbuka sebagai pihak “anti-Pancasila.”
Negara Indonesia menjamin kebebasan memeluk agama dan keyakinan. Negara, dalam perspektif Hak Asasi Manusia, berlaku sebagai penjaga “hak warga untuk beragama” tentu tidak boleh ikut campur dalam ajaran agama. Penjaga ibarat pagar, maka tidak sepatutnya pagar makan tanaman. Negara tidak boleh menumpas ajaran agama yang harus ia jaga.
Tetapi negara harus terlibat dalam menangani dampak pelaksanaan ajaran agama. Negara tidak boleh merevisi surat al-Kafirun atau melarang karya-karya tafsir yang diterima umat Islam. Tetapi negara bisa intervensi saat antar umat beragama bertikai karena pelaksanaan ajaran agama menurut pemahaman masing-masing.
Jika hubungan antar kelompok itu adalah diskusi atau debat publik semata, maka itu masih wilayah wajar. Tetapi, jika terjadi kekerasan dan penghilangan hak secara sepihak oleh sesama warga, tentulah negara ikut campur. Termasuk dalam menangani pihak yang agresif dan mengganggu ketertiban atau menimbulkan ancaman bagi ketertiban umum dan tata yang disepakati bersama.
Nilai Moderasi dalam Islam
Ajaran moderasi dalam Islam bisa ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadis. Dalam surat al-Baqarah 143, umat Islam disebut sebagai ummatan wasathan (umat pertengahan), yaitu umat terbaik dan adil. Rasulullah menegaskan bahwa “Sebaik-baik perkara adalah tengah-tengahnya” (HR. Al-Baihaqi).
Al-Qur’an memperingatkan jika Nabi Muhammad bersikap kasar maka orang akan menyingkir dari sekelilingnya. Oleh karena itu, dengan rahmat Allah lah beliau bersikap lembut kepada mereka (Ali Imran 159). Oleh karena itu berdakwah dianjurkan dengan hikmah, nasehat yang baik serta berargumentasi dengan hujjah yang lebih baik (An-Nahl 125).
Umat Islam dianjurkan untuk ihsan dan berakhlak baik dengan sesama. Umat Islam dianjurkan untuk membalas keburukan dengan kebaikan (HR. Ahmad dan Al-Tirmidzi). Serta tidak menjadikan kebencian pada satu kaum sebagai alasan untuk bertindak tidak adil atau zalim (Al-Maidah 8).
Tentu saja, ajaran Islam membolehkan sikap yang seimbang dalam membalas, seperti dalam ajaran qishash (Al-Baqarah 178). Umat Islam juga diizinkan melawan jika dizalimi, terlebih diusir dari negerinya karena imannya (Al-Hajj 39-40).
Namun, memaafkan dipandang lebih baik. Shulh (perdamaian) itu lebih baik.
Moderasi Beragama di Muhammadiyah
Terlepas dari keraguan sebagian kalangan terhadap motif dari moderasi beragama, tetapi arus moderasi turut menggeliat di Persyarikatan. Keraguan-keraguan muncul karena kekhawatiran bahwa program moderasi itu hanya membidik umat Islam saja.
Moderasi dikhawatirkan pula sebagai bentuk deislamisasi, khususnya jika dihubungkan dengan pluralisme. Istilah pluralisme sendiri sudah punya konotasi negatif di sebagian kalangan sehingga melahirkan fatwa MUI Nomor 7 tahun 2005 tentang larangan pluralisme dan liberalisme.
Namun upaya untuk menerjemahkan moderasi beragama di lingkungan Persyarikatan telah berlangsung. Tokoh-tokoh Persyarikatan seperti Prof. Din Syamsudin, Prof. Syafii Ma’arif, dan Prof. Amin Abdullah sudah malang melintang dalam pembahasan mengenai hubungan antar-umat beragama.
Prof. Din bahkan sudah merumuskan prinsip-prinsip moderasi beragama dalam Islam (Wasathiyyah Islam) dalam Pertemuan Ulama Dunia di Bogor tahun 2018 dalam kapasitasnya sebagai utusan presiden untuk Dialog dan Kerjasama antar Agama dan Peradaban.
Prof. Amin Abdullah merupakan pakar kajian agama yang menjadi acuan para akademisi Indonesia, khususnya pada Program Magister dan Doktor di PTKIN. Ia telah meletakkan landasan bayani, burhani, dan irfani sebagai modal untuk pengembangan wasathiyyah Islam di Persyarikatan. Menurutnya, moderasi beragama menghendaki kajian agama secara multidisiplin yang menggabungkan pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
Prof. Haedar Nashir juga pendorong moderasi beragama. Dalam pidato Pengukuhan Guru Besar di UMY, 12 Desember 2019, ia memilih moderasi beragama, bukan deradikalisasi yang awalnya dipakai pemerintah, karena moderasi menggunakan cara moderat untuk menyikapi yang radikal. Moderasi telah menjadi watak bangsa Indonesia dan ciri Pancasila, sebagai ideologi moderat.
Majelis Tarjih dan Tajdid sudah membuka arus moderasi itu. Pada Munas Tarjih ke-31 di Gresik, dilaksanakan Seminar mengenai Moderasi pada tanggal 5 Desember 2020. Munas online tersebut menghadirkan Prof. Din Syamsudin, Prof. Amin Abdullah, dan Prof. Biyanto.
***
Terakhir, Prof. Abdul Mu’ti juga menggarisbawahi pentingnya wasathiyah Islam. Dalam Pengajian Tarjih dengan tema, Refleksi Milad Muhammadiyah ke-109: Moderasi Beragama dalam Perspektif Muhammadiyah tanggal 17 November 2021. Moderasi ia kaitkan dengan khair (kebaikan), sikap tidak ekstrem, dan perilaku adil sesuai ilmu dan hukum.
Dalam Pokok-Pokok Manhaj Tarjih pun ditegaskan bahwa Tarjih berprinsip Terbuka dan Toleran. Majelis Tarjih beranggapan hanya Majelis Tarjih yang paling benar. Dalil-dalil dipergunakan secara utuh dan komprehensif.
Dalam paparannya pada Munas Tarjih ke-30 di Makassar tahun 2018, Syamsul Anwar selaku ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menguraikan lima wawasan Tarjih. Dua di antaranya adalah wawasan toleransi dan wawasan keterbukaan. Wawasan toleransi artinya putusan Tarjih tidak menganggap dirinya paling benar, sedangkan yang lain tidak benar. Wawasan keterbukan berarti ketika ada argumen dan dalil lebih kuat, maka Majelis Tarjih akan mengoreksi argumen dan dalil yang kurang kuat.
Moderasi dalam Islam seringkali juga disebut sebagai upaya untuk mencari jalan tengah. Dalam beragama, jalan tengah itu dicari dalam sintesis teks dan konteks, akal dan naql, serta normativitas dan historisitas.
Dalam Manhaj Tarjih, ramuan itu bisa secara jelas ditemukan. Landasan kepada Al-Qur’an dan hadis dan penerimaan pendekatan sainfitik, seperti sosiologi, sejarah, dan antropologi di Manhaj Tarjih menegaskan upaya menjalin sinergi teks dan konteks.
Demikian pula, sinergi antara purifikasi ajaran agama dan dinamisasi kehidupan dunia membuat Muhammadiyah berdiri di aras norma agama yang jelas dan keterbukaan untuk menyambut perubahan dalam kehidupan.
Moderasi diarahkan kepada perilaku beragama. Jalan awal perubahan perilaku yang berupa sikap dan tindakan adalah perubahan perilaku berpikir (persepsi). Persepsi itu penting adanya karena sikap moderat dilandasi oleh pandangan yang moderat. Modal itu telah tersedia di Muhammadiyah, tergantung apakah modal itu berhenti hanya sebagai potentia atau berubah menjadi aktus.
Editor: Yahya FR