Diskursus moderasi beragama di Indonesia merupakan diskursus yang paling dominan saat ini. Moderasi beragama yang mula-mula diinisiasi oleh Kementerian Agama juga telah dimasukkan dalam program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) hingga tahun 2024. Sehingga moderasi bukan hanya sekedar menjadi wacana di kalangan akademisi maupun publik sipil, tetapi juga menjadi agenda negara untuk memoderasi masyarakat secara luas.
Terlepas dari agenda negara dan prospek bagi program moderasi, diskursus moderasi beragama pada dasarnya berpusat pada tiga titik: konsep moderasi itu sendiri, pro dan kontra terhadap moderasi dalam beragama, dan persinggungannya dengan gagasan-gagasan Hak Asasi Manusia. Penulis tidak bermaksud ingin membahas semua tema ini karena membutuhkan ruang yang tidak sedikit. Di sini, yang ingin penulis kaji adalah pada soal persinggungan moderasi beragama dan hak-hak asasi manusia.
Program moderasi beragama adalah sebuah upaya negara untuk memoderasi cara pandang dan perilaku keagamaan masyarakat supaya tidak terjerumus pada sikap beragama yang berlebih-lebihan hingga pada tataran ekstrem. Program ini juga sekaligus upaya membendung berbagai paham yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, yakni radikalisme dan liberalisme, yang keduanya dianggap menganggu keberlangsungan praktik keberagamaan masyarakat.
Namun demikian, terlepas apakah program ini cukup bagus bagi prospek kebergamaan masyarakat, ada suatu anggapan bahwa program ini adalah sebuah upaya intervensi negara yang terlalu berlebihan bagi perilaku kebergamaan masyarakat. Kita tau bahwa konstitusi mengamanahkan kebebasan yang bersifat mutlak atas sikap dan perilaku beragama seseorang, selama orang tersebut tidak kriminal, maka seseorang bebas mengekspresikan agama dan keyakinannya. Bila ada campur tangan eksternal, baik itu oleh kelompok, apalagi negara, maka itu bisa didentifikasi sebagai suatu pelanggaran terhadap kebebasan individu, yang tidak lain adalah pelanggaran terhadap HAM.
***
Sebuah buku menarik berjudul Politik Moderasi dan Kebebasan Beragama yang dieditori oleh Zainal Abidin Bagir dan Jimmy M.I (Gramedia, 2022), mencoba melakukan pembacaan kritis terhadap program moderasi beragama. Salah satu kritik bernas yang diajukan oleh buku ini terhadap program moderasi beragama adalah soal persinggungan moderasi beragama dan hak asasi manusia. Menurut buku ini, moderasi beragama bukan hanya bertentangan dengan konsep kebebasan beragama yang diamanahkan konstitusi, tetapi juga sangat berpotensi melanggar HAM.
Melalui komitmen penguatan moderasi beragama oleh pemerintah, justru yang muncul dipermukaan, salah satunya, adalah negara terkesan abai terhadap model kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yang rumusannya sangat jelas dalam konstitusi bahwa negara menjamin kebebasan beragama warganya dan bebas mengekspresikan keyakinannya. Dari perspektif KBB ini, ada kesan bahwa moderasi beragama justru mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi di mana kebebasan beragama seseorang akan dikontrol oleh polisi bernama ‘moderasi beragama’. Sehingga, moderasi beragama sangat berpotensi melanggar hak asasi manusia (Bagir, 65).
Bila melihat Pasal 28E ayat (1) tentang jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan, tampak jelas bahwa program moderasi beragama ini seolah-olah mengabaikan prinsip kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB), lebih-lebih pada soal hak asasi manusia. Di sini, negara ingin mengatur bagaimana warga beragama, padahal agama adalah urusan individu yang tidak boleh campuri oleh pihak-pihak eksternal.
Dalam konteks ekspresi beragama, ada istilah ‘forum internum’ dan ‘forum ekstrenum’. Forum internum adalah ekspresi keagamaan yang bersifat individual yang tidak boleh dicampuri oleh pihak-pihak lain, sedangkan forum eksternum adalah agama yang terlembagakan melalui institusi dan organisasi yang boleh dicampuri oleh negara dengan alasan keamanan dan ketertiban. Pada titik ini, program moderasi beragama dianggap mencampuri urusan forum internum sehingga melanggar prinsip konstitusi.
Moderasi Beragama Tidak Melanggar HAM
Bila melihat moderasi beragama dalam perspektif pemerintah, program ini tidaklah berusaha mengekang kebebasan beragama atau malah melanggar HAM, justru moderasi beragama mempertegas ekspresi kebebasan beragama dan berkeyakinan, sebab warga negara memiliki hak untuk mengekspresikan kepercayaannya, tetapi, ini yang mungkin paling penting, negara perlu memberikan pedoman dan rasa aman terhadap warganya, sehingga segala bentuk ekspresi keagamaan yang menyimpang dan melanggar hukum, jelas perlu didisiplinkan.
Penulis justru melihat bahwa ide moderasi beragama itu mendapatkan legitimasi yang krusial ketika dikembalikan pada UUD pasal 29 ayat 2 tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bisa dilihat, moderasi beragama adalah pemaknaan lebih lanjut terhadap pasal tersebut, sebab konsep KBB dalam konteks Indonesia tidaklah sama dengan KBB dalam konteks negara-negara sekuler.
Sebagaimana disinggung di atas bahwa hubungan agama dan negara di Indonesia sangatlah khas. Misalnya, negara tidak bisa sesuka hati ikut campur urusan agama warganya, tetapi negara juga tidak boleh sepenuhnya abai terhadap agama warganya. Sehingga rumusan KBB adalah sesuatu yang sifatnya mengikat dan bukan dalam arti kebebasan yang absolut.
Selain itu, dugaan bahwa program moderasi beragama ini akan berpotensi melanggar HAM juga sangat mengada-ngada. Dalam konteks Indonesia, HAM yang diyakini oleh negara dan warga negara adalah jenis HAM partikular (lawannya HAM universal – tipologi dalam mazhab HAM/hukum), artinya keyakinan masyarakat Indonesia terhadap HAM disesuaikan dengan nilai-nilai yang diyakini di Indonesia, meliputi agama dan budaya, bukan HAM yang berpijak pada liberalisme dan sekularisme.
***
Hukum di Indonesia sangat memungkinan dalam membatasi HAM, artinya HAM itu boleh dibatasi melalui UU. Misalnya, pidana hukuman mati itu melanggar HAM, tapi UU kita memungkinkan adanya hukuman mati seperti pelaku terorisme dan Bandar narkoba. Pertanyaannya, dalam hierarki hukum di Indonesia, apakah moderasi beragama akan menjadi UU? Jelas jawabannya tidak, ia hanyalah doktrin dan pedoman beragama bagi warga negara dan tidak bersifat memaksa. Sebab bila negara tidak memberi pedoman, justru ini yang akan berpotensi melanggar Pancasila dan konstitusi.
Sebagai sebuah konsep, moderasi beragama memang masih harus perlu dikembangkan (living document) dan selalu butuh kritik konstruktif. Akan menjadi sesuatu yang radikal pula bila tafsir terhadap moderasi beragama difinalkan. Alih-alih ingin mengatasi berbagai masalah konflik dan kekerasan atas nama agama, bila dianggap final, moderasi beragama juga akan terjatuh pada gerakan radikalisme dan ekstremisme yang coba dilawan.
Karenanya, kita perlu bersepakat bahwa konsep moderasi beragama memang tidak sempurna dan terdapat kelemahan di sana sini, tetapi karena ini menjadi bagian dari upaya negara dalam memberi rasa aman dan untuk mewujudkan budaya toleransi yang maksimal, maka sudah sepatutnya kajian terhadap moderasi beragama tidak mandek alisan berhenti hanya pada kebijakan politik semata.
Editor: Yahya FR