Moderasi sangatlah luas maknanya. Ia memerlukan pemahaman dan pengetahuan yang luas dan mendalam tentang syariat Islam dan kondisi objektif yang dihadapi serta cara dan kadar penerapannya. Sebagai negara yang memiliki penduduk muslim terbanyak di dunia Indonesia, ia menjadi salah satu negara yang disorot oleh negara-negara lain terkait moderasi keislamannya.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘ālamīn memiliki banyak ciri khas yang membedakannya dengan agama lain. Ciri khas Islam yang paling menonjol adalah tawāṣut, ta’ādul dan tawāzun. Kata-kata tersebut adalah beberapa ungkapan yang memiliki makna berdekatan atau bahkan kesamaan. Oleh karena hal itu, sering ketiga kata tersebut bisa disebut dengan istilah wasaṭiyyah.
Ragam Tafsir Moderasi dari QS al-Baqarah: 143
Istilah moderat dalam Al-Qur’an sering disetarakan dengan term wasaṭan. Kata ini terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 143 dengan penyebutan ummatan wasaṭan.
“Dan demikian pula telah kami jadikan kamu (umat islam) ‘umat pertengahan’ agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Kami tidak menjadikan kiblat yang (dahulu) kamu (berkiblat) kepadanya melainkan agar kami mengetahui siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang berbalik ke belakang. Sungguh pemindahan kiblat itu sangat berat, kecuali bagi orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah. Dan Allah tidak akan meyia-nyiakan imanmu. Sungguh Allah Maha Pengasih, Maha Penyayang pada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 143).
Sebagaimana yang dikatakan oleh Syeikh Ali Al-Ṣābūnī yang dimaksud dengan ummatan wasaṭan dalam ayat tersebut adalah umat yang adil dan terpilih. Wahbah al-Zuhaylī, mengartikan lafadz tersebut sebagai sifat pertengahan antara sifat melampaui batas dan boros. Beliau juga memandang bahwa sikap moderat dalah sikap yang memadukan antara ilmu dan tindakan
Fakhrudin al-Razi menyebutkan empat makna yang kemungkinan cocok untuk istilah tersebut. Pertama, wasaṭ bermakna adil, sebagaimana yang telah disebutkan Allah dalam QS. al-Qalam (68): 28 ‘awasaṭuhum‘ yang paling adil di antara mereka. Pemaknaan wasaṭ dengan makan al-adl disebabkan karena tidak ada kecenderungan terhadap satu pilihan. Kedua, makna wasaṭ adalah menghindari dari suatu yang dianggap berlebihan. Ketiga, makna wasaṭ yang berhubungan dengan makna sikap yang disematkan pada umat Islam yang nantinya akan disaksikan langsung oleh rasul.
Terminologi berbeda diutarakan oleh Muhammad Abduh yang memaknai ummah wasaṭ sebagai komunitas terbuka. Sifat adil dan wasaṭ menurut Abduh juga berlaku tidak hanya dalam kehidupan beragama, akan tetapi juga dalam kehidupan sosial.
Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan oleh Quraish Shihab yang mengartikan kata tersebut dengan umat pertengahan yaitu moderat dan teladan. Posisi pertengahan ini menjadikan manusia tidak memihak ke kiri atau ke kanan, suatu hal yang dapat mengantarkan manusia berlaku adil. Ia juga sekaligus menjadikannya teladan bagi semua pihak. Di samping itu dengan posisi tersebut, ia menjadikannya dapat melihat ke mana pun dan di mana pun.
Moderat dalam Kehidupan: Dunia dan Akhirat
Pandangan Islam tentang hidup menyadari bahwa ada kehidupan dunia juga kehidupan akhirat, keberhasilan dunia di akhirat ditentukan oleh iman dan amal shaleh manusia di dunia. Manusia tidak boleh tenggelam dalam materialisme, tidak juga terbang tinggi dalam spiritualisme. Ketika pandangan mengarah ke langit, kaki harus tetap berpijak di bumi. Islam mengajarkan umatnya agar meraih materi yang bersifat duniawi, tetapi dengan nilai-nilai samawi.
Menurut Sayyid Qutb, yang dikutip oleh Quraish Shihab dalam bukunya, dalam membahas hakikat wasaṭiyyah perlu digarisbawahi bahwa Islam sendiri adalah wasaṭiyyah (moderasi). Setiap ajaran yang terdapat dalam Islam mengandung prinsip-prinsip moderasi, moderat dalam pandangan dan keyakinannya moderat, juga moderat dalam keterikatan-keterikatannya.
Berdasarkan yang dikemukakan di atas, tidaklah mudah mendefinisikan wasaṭiyyah yang dimaksud oleh ajaran Islam sebab luasnya cakupan ajaran itu. Oleh karenanya, Quraish Shihab menyimpulkan dari uraian para pakar bahwa wasaṭiyyah adalah keseimbangan dalam segala persoalan hidup duniawi maupun ukhrawi. Ia harus selalu disertai dengan situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami.
“Kamu adalah umat terbaik dilahirkan untuk manusia, (karena kamu) menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 110).
Menurut Quraish Shihab, ayat ini secara jelas menjadi penafsiran ayat-ayat yang berbicara tentang moderasi. Di sini ditegaskan tiga hal utama yang merupakan syarat untuk menjadi umat terbaik. Ketiga hal tersebut adalah amar makruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah. Lebih lanjut lagi menurut beliau, ayat ini dikokohkan oleh ayat sebelumnya yaitu Ali Imran ayat 104.
“Dan hendaklah di antara kamu terdapat golongan yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf dan mencegah yang munkar.”
Pada ayat 105 ditegaskan kalimat tu’minūna billāh, sedangkan pada ayat 104 memulainya dengan yad’ūna ila al-khairi. Jadi dua kalimat tersebut memiliki keterkaitan yang mengindikasikan makna keimanan yang harus dibuktikan oleh pengamalan yang menyangkut nilai-nilai ilahi.
Suatu yang tidak bisa pungkiri di sini ialah tanda suatu umat yang moderat adalah ajakan kebaikan. Pengetahuan yang dimiliki seseorang bahkan kemampuannya untuk mengamalkan sesuatu akan berkurang jika tidak ada yang mengingatkannya atau dia kerjakan secara berulang-ulang. Di sisi pengetahuan dan pengamalan memiliki kaitan erat, sehingga seorang yang bisa menggabungkan antara keduanya akan mendapatkan hasil maksimal dari apa yang ia kerjakan.