Moedji Raharto adalah saintis muslim yang sederhana, rendah hati, dan merupakan salah seorang astronom senior di Indonesia. Pengabdiannya di bidang astronomi tidak diragukan lagi. Meskipun sudah purna tugas dari Institut Teknologi Bandung (ITB), ia masih dipercaya sebagai Koordinator Program Studi Sains Atmosfer dan Keplanetan di Institut Teknologi Sumatera (ITERA) Lampung (1439/2018-1444/2022). Sebelumnya pernah menjabat sebagai Kepala Observatorium Bosscha pada tahun 1420/1999 sampai
1425/2004. Pada tahun 1431/2010 atas kontribusinya di bidang astronomi ia memperoleh penghargaan dari International Astronomical Union (IAU), namanya digunakan untuk menyebut asteroid di Sabuk Utama Asteroid, yakni 1277 Raharto. Kini ia masih menjadi anggota IAU dan anggota Himpunan Astronomi Indonesia (HAI).
Pak Moedji, begitu orang memanggilnya, merupakan salah seorang astronom yang menaruh perhatian besar terhadap kalender Islam. Salah satu pengalaman dalam bidang kalender Islam adalah pernah menjadi anggota International Islamic Calendar Programme (IICP) di Malaysia, anggota Musyawarah Kerja (MUKER) Kementerian Agama RI, anggota delegasi pertemuan MABIMS, dan anggota delegasi “The Preparation Meeting for International Crescent Observation Conference” di Istanbul Turki 1434/2013.
Gagasan Moedji Raharto tentang Penyatuan Kalender Islam
Gagasannya tentang penyatuan kalender Islam dimuat di berbagai media lokal dan nasional. Salah satu artikelnya yang berjudul “Awal dan Akhir Ramadhan” dimuat di harian Republika, Senin 6 Juni
2006 mengatakan “…Umat Islam diharapkan tidak terpaku dalam perbedaan penentuan awal bulan Islam. Sambil mencari solusi penyatuan kalender umat Islam diharapkan terus meningkatkan persatuan dan kesatuan”.
Selanjutnya ia juga mengatakan “sikap saling menghargai perlu diutamakan sambil mencari ‘hilal persatuan’ sebagai milik umat Islam Indonesia dalam rangka mewujudkan kalender Islam Indonesia”.
Pernyataan di atas seirama dengan lakunya sehingga semua pihak merasa nyaman dan sangat menghormatinya. Pandangan-pandangannya tentang penyatuan kalender Islam termasuk “progresif” dan mengalir begitu saja tidak ada kesan dipaksakan.
Baginya upaya penyatuan kalender Islam harus dimulai dengan peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) dan bereksperimen mencari hilal tidak terbatas pada bulan Ramadan, Syawal, dan Zulhijah supaya umat Islam tidak terjebak dengan perdebatan bertahun-tahun yang tidak kunjung selesai. Saatnya umat Islam meneruskan perjuangan dan tradisi yang telah diwariskan para ilmuwan muslim terdahulu.
Hal lain yang menarik direnungkan bersama adalah terkait konsep hilal yang sering disampaikan. Menurutnya, konsep hilal perlu dipahami dari berbagai aspek, seperti bagaimana bedanya hilal pada bulan Januari dan Juli.
***
Pada tanggal 2-4 Januari, posisi bumi-matahari berada di 147 juta kilometer (perihelion). Sedangkan pada tanggal 2-4 Juli, bumi berada pada jarak terjauh dari matahari adalah 152 juta kilometer (aphelion). Biasanya pada bulan Januari, cahaya di langit itu sangat terang sehingga hilal yang biasanya terlihat akan sulit terlihat. Berdasarkan pemahaman tersebut, ia menawarkan konsep visibilitas hilal merujuk iluminasinya bukan pada ketinggian dan elongasi. Gagasan ini diapresiasi dan dijadikan alternatif kriteria visibilitas hilal di Indonesia dalam “Musyawarah Nasional Penyatuan Kalender Hijriah 1426/2005” di Jakarta.
Namun dalam perjalanannya belum ditindaklanjuti dan dikaji oleh pihak pemegang amanah. Sejalan dengan ide Pak Moedji, adalah Prof. Abdul Halim Abdul Aziz dari Universiti Sains Malaysia (USM), yang kini menggagas kalender Islam global menggunakan visibilitas hilal berbasis iluminasi.
Pak Moedji adalah sosok “ilmuwan sejati” yang pikiran-pikirannya mengalir dan menginspirasi bagi generasi masa kini. Ia berpandangan bahwa kalender hijriah yang dimiliki umat Islam saat ini sebetulnya sudah sangat bagus. Namun pemerintah dituntut untuk memiliki satu kalender Islam yang dapat diterima semua pihak agar ada kepastian dalam sistem transaksi uang di perbankan dan kepentingan lainnya. Untuk itu umat Islam perlu memiliki kalender Islam yang mapan berbasiskan hisab dan tidak meninggalkan historikal rukyat untuk menjadi spirit kriteria hilal.
Editor: Yahya FR