Siapa yang tak kenal tokoh asal Minang yang bernama Mohammad Natsir. Bersamaan dengan tokoh Minang lainnya, Natsir telah menorehkan banyak gagasan cemerlang untuk Indonesia. Di antara banyaknya gagasan tersebut, Natsir secara tegas menyebut umat Islam. Pesan-pesan tersebut erat kaitannya dengan pikiran Nasionalisme dan Agamis khas dirinya yang menuntut umat Islam untuk kembali sadar bahwa mereka punya peran yang amat besar di dunia ini.
Dari banyaknya pesan Mohammad Natsir, ada beberapa hal yang akan saya soroti pada tulisan kali ini. Di antaranya adalah Pendidikan Islam, Abad Keemasan dan Kaderisasi Umat. Tiga pembahasan ini saya pikir sangat relevan, apalagi di tengah narasi dan cita-cita besar Indonesia Emas 2045 yang saat ini ramai diperbincangkan.
Kritik Pendidikan Islam
Mohammad Natsir memulai kritiknya dengan menyodorkan kita data (Pada masanya) bahwa Pendidikan hanya bisa diakses oleh 3 dari 100 orang di Indonesia. Negara saat itu belum mampu membuat fasilitas Pendidikan yang murah sehingga bisa diakses oleh masyarakat kebanyakan. Berangkat dari itu, Natsir mengatakan bahwa kebangkitan sebuah bangsa dimulai dari pembenahan sektor pendidikannya. Tiada satu bangsa mundur pun di dunia yang menjadi maju kecuali dia membenahi pendidikannya.
Mohammad Natsir juga turut mengkritik pemahaman kita tentang Barat dan timur. Natsir kemudian membedakan kedua orientasi pendidikan itu berdasarkan tujuan pendidikan itu sendiri. Islam sendiri memiliki tujuan Pendidikan untuk menjadi hamba allah, Hal ini sama seperti yang diperintahkan Allah dalam surah Adz-Dzariyat ayat 69.
Selain itu, dalam buku Islam & Akal Merdeka Mohammad Natsir menjelaskan bahwa, pendidikan Islam harus kembali pada asas-asas agama yaitu Qur’an dan Sunnah serta kembali pada prinsip tauhid sebagai dasar.
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”
Pada intinya, Natsir mengharapkan Pendidikan Islam bisa bersikap inklusif terhadap ilmu-ilmu dari Barat. Dirinya sangat menyayangkan beberapa ulama dahulu – barangkali sampai saat ini masih ada yang bersikap antipati terhadap keilmuan Barat yang notabene lebih maju. Pandangan itu rupanya telah menghadirkan stagnasi pada tubuh umat Islam. Narasi Timur dan Barat rupanya tidak bisa digunakan dalam konteks transfer ilmu. Dalam hal ini kita tidak dalam posisi oposisi biner.
Abad Keemasan Terus Bergulir di Tempat Dimana Ilmu Dihargai
Diksi abad keemasan sangat berhubungan erat dengan peningkatan keilmuan yang sangat tinggi. Dimana masa itu dipenuhi dengan penemuan-penemuan yang luar biasa. Islam di abad pertengahan – Natsir menjelaskan lewat pencapaian ilmuwan Islam dari Al-Kindi Hingga Ibnu Haytam- sudah mampu membuktikan bahwa dengan membuka cakrawala berpikir dan disertai asas Al-Quran dan Sunnah sudah mampu membawa peradaban yang sangat luar biasa.
Namun sinar itu nyatanya tak menetap di dunia Islam, abad keemasan itu berpindah ke benua biru persis di barat daya Jazirah Arab. Seperti kata Natsir dalam kumpulan tulisannya dalam buku Capita Selecta, abad kejayaan akan terus bergulir mencari tempatnya. Eropa dipilih karena pada masa itu pengkajian terhadap literatur keilmuan ramai dibahas. Penemuan demi penemuan terus hadir dan dikembangkan. Hal ini tentu saja meyakinkan kita pada firman Allah dalam Surah Al-Mujadalah ayat 11;
“niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan.”
Jika ditarik relevansinya pada konteks Indonesia, jelas sekali bahwa kriteria agar abad keemasan itu dapat memilih kita sebagai tempatnya masih sangat jauh. Kita bisa melihat indeks minat masyarakat kita dalam membaca masih sangat rendah. Pendidikan masih jadi urusan nomor sekian dalam prioritas pembangunan, padahal abad keemasan akan hinggap pada masyarakat yang mencintai ilmu sendiri.
Kaderisasi Umat Islam
Bicara tentang Indonesia Emas, pastinya segmen yang akan menjadi perhatian lebih adalah generasi milenial dan generasi z. Hal ini tak luput dari perhatian Natsir dalam tulisannya. Ia begitu berharap bahwa kedepan anak-anak muda mampu menggantikan peran-peran pendahulunya. Tentu saja ini bukanlah hal yang mudah, Islam sebagai umat terbaik ini seharus mulai membenahi proses kaderisasinya. Kaderisasi ini sangat berkaitan erat dengan poin pendidikan tadi, bahwa umat ini harus kembali pada spirit dan asas Islam.
Bukankah Al-Quran juga sudah mengingatkan kita tentang hal ini? Al-Qur’an bicara dengan lugas tentang hal ini dalam surah An-Nisa ayat 9;
“Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Mohammad Natsir terus mendorong bagaimana orang tua mampu mengarahkan anak-anaknya supaya mendapatkan ilmu dengan maksimal. Hal ini tentunya dimaksudkan agar generasi kedepan mampu membawa bangsanya mencapai abad keemasannya sendiri. Bukan hanya bagi bangsanya, tapi mampu membawa perubahan yang signifikan bagi alam semesta.
Amanah untuk Umat Islam
Sebagai umat yang telah dipilih sebagai khalifah di Bumi, umat Islam punya segudang peran dalam upaya memperbaiki kerusakan yang ada. Namun peran itu tidak bisa hadir tanpa adanya perencanaan yang baik. Mohammad Natsir memulai fondasi itu dengan kritiknya atas Pendidikan Islam. Cita-cita besar Natsir ini tentunya tak akan berhasil jika berhenti pada tataran gagasan dan teori. Kita generasi berikutnya haruslah menjadi promotor dalam melakukan implementasi atas gagasan tersebut.
Mohammad Natsir juga berpesan pada kita semua bahwa Allah dengan lugas memerintahkan kita untuk terus memahami perintahnya yang diturunkan lewat rasulnya. 114 surat dalam Al-Qur’an itu telah berisi dasar-dasar pengetahuan untuk kita bisa menjadi umat yang terbaik dan membawa kita pada derajat yang lebih tinggi.
Editor: Daib