Oleh: Mohammad Roem
Pada saat Partai Masyumi dibubarkan, saya sedang menghadapi sebuah tugas yang mengisi seluruh jiwa saya, yaitu bersama dengan Saudara Jamaluddin Datuk Singo Mangkuto dan Aisyah Amini, membela Bapak Kasman Singodimedjo di depan Pengadilan Negeri Magelang. Bapak Kasman yang sudah beberapa lama ditahan telah dituduh memberi bantuan kepada musuh.
Siapa musuh itu? Mereka ialah pemimpin-pemimpin PRRI di Sumatera. Bagaimana membantunya dan apa bentuk bantuan itu? Bapak Kasman berpidato, tidak ditujukan kepada PRRI, tapi pidato sebagaimana seorang pemimpin mengadakan pidato.
Pembelaan Kasman Singodimedjo
Dalam pidato di Magelang itu yang berlangsung pada hari Ahad tangal 1 Agustus tahun 1958, Bapak Kasman Singodimedjo memberi wejangan dengan mengambil sajak-sajak dari Ronggowarsito, yang menurut perasaan Bapak Kasman sesuai dengan saat-saat itu.
“Anemoni jaman edan. Ewuh oyo ing pambudi. Melu edan ora tahan. Tan melu tan kepanduman. Begjo begjaning wong kang lali. Luwih begjo wong kang eling lan waspodo.” Dalam bahasa Indonesia: “Menemui zaman gila. Sukar benar berdaya upaya. Ikut gila tidak tahan. Tidak ikut, tidak kebagian. Seuntung-untungnya orang yang alpa. Lebih untung orang yang ingat.“
Menurut para pembela pidato Bapak Kasman Singodimedjo itu tidak mungkin terdengar oleh PRRI. Kami tim pembela pada saat itu sedang mempersiapkan pembelaan. Kemudian ada tugas baru yang diberikan oleh Bapak Prawoto Mangkusasmito kepada saya sebagai Advokat (Pengacara).
Mendapat Amanat
Pada waktu itu, Bapak Prawoto Mangkusasmito adalah Ketua Umum Partai Masyumi. Bapak Prawoto merasa ragu-ragu benar, apakah boleh begitu saja Presiden Soekarno membubarkan Partai Masyumi, suatu partai yang berdiri berdasarkan hak asasi. Suatu partai yang sudah berjasa bagi tanah air dan bangsa, sejak didirikan tanggal 7 November 1945.
Di zaman kolonial, kalau pemerintah Belanda hendak membubarkan sebuah partai politik, maka ia harus memajukan tuntutan di hadapan Hooggerechsof (Mahkamah Agung) dan partai yang bersangkutan mendapat kesempatan untuk membela diri. Pembubaran Partai Masyumi tidak memakai prosedur yang dipakai di zaman kolonial. Karena itu, ketua umum tidak yakin bahwa itu boleh. Maka ia menunjuk saya sebagai Advokat untuk memajukan hal itu kepada Pengadilan Negeri yang dinamakan “ de gewone dagelijkse rechter,“ pengadilan biasa sehari-hari.
Memang adalah sesuatu yang biasa, jika seorang warga negara meragukan sesuatu tindakan umum, maka ia pergi ke Pengadilan sehari-hari. Nah, karena dua kesibukan membela Bapak Kasman Singodimedjo dan menjalankan amanat ketua umum Partai Masyumi, maka saya tidak sempat memikirkan untuk menjadi anggota Muhammadiyah atau organisasi lain.
Sumber: “Mengikuti Jejak Kyai Ahmad Dahlan” karya Mohammad Roem (Sm no 1/Januari 1981). Pemuatan kembali di www.ibtimes.id lewat penyuntingan
Editor: Arif