Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta yang pada saat ini berusia 101 tahun (didirikan oleh K.H. A. Dahlan, pada tahun 1918), merupakan salah satu tonggak sejarah yang penting dalam Kebangkitan Nasional, Perintisan Kemerdekaan, dan Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia dan di Asia Tenggara. Terbentuknya negara Indonesia merdeka, berdaulat dan berkemajuan tidak dapat dilepaskan dari peran kependidikan Muhammadiyah yang dirintis oleh KHA Dahlan, seorang tokoh pergerakan yang otentik dan berpandangan jauh ke depan (ábqoriyyun faried).
Mas Mansur dan Bung Karno
Sistem Pendidikan Muhammadiyah yang berkemajuan, telah menarik perhatian seorang tokoh kemerdekaan, Ir. Soekarno, untuk menjadi guru di sekolah Muhammadiyah. Bahkan ia menjadi Ketua Pengurus Bahagian Pendidikan Muhammadiyah di Bengkulu, pada masa pengasingannya tahun 1938-1942. Pada masa itu pula seorang sahabatnya dalam perjuangan; KH Mas Mansyur, menjenguknya di tanah pengasingannya di Bengkulu.
Hal ini menunjukkan keeratan persahabatan kedua tokoh tersebut. KH Mas Mansur yang pada menjelang masa pendudukan Jepang menjadi Direktur Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, kemudian bersama tiga orang tokoh kemerdekaan lainnya Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Ki Hajar Dewantara; dikenal sebagai “Empat Serangkai”.
KH Mas Mansur menjadi Direktur Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta pada saat menjabat Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Ketika KH Mas Mansur tiba di Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta, pada 1938, para siswa Muallimaat Muhammadiyah di“arak” oleh KHR Hadjid, Direktur Muallimaat untuk “mangayubagyo”, meng-alu-alu-kan kehadirannya. Termasuk ibu saya, Siti Dalalah Anwar, yang pada waktu itu duduk dikelas 1.
Diceritakan pada waktu itu, KH Mas Mansur mengenakan jas warna krem, berkulit kuning dan ganteng. KHA Ahmad Dahlan dan KH Mas Mansur, karena jasa-jasanya kepada bangsa dan negara, oleh pemerintah RI diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Muallimin dan Pejuang Kemerdekaan
Muallimin Muhamamdiyah dalam usianya yang ke-101 ini telah membuktikan karyanya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Salah seorang mantan direkturnya, baru-baru ini juga mendapat penghargaan dari Pemerintah RI sebagai Pahlawan Nasional. Prof. KH Abdul Kahar Mudzakkir seorang kader Muhammadiyah yang telah memulai perjuangannya sejak menjadi mahasiswa di Universitas Cairo, Mesir. Bersama sahabat-sahabatnya di Mesir telah menyalakan pelita kesadaran persatuan dan kesatuan serta hasrat untuk merdeka.
Sedini tahun 1933, Abdul Kahar bersama para sahabatnya telah mendirikan Perhimpoenan Indonesia Raja (PIR) di Mesir. Perhimpunan ini merupakan suatu jaringan kerja sama dengan para pemuda pelajar Indonesia di negeri Belanda yang mendirikan Perhimpoenan Indonesia (PI). Kahar Mudzakkir sendiri terpilih sebagai ketua. Di bawah pimpinan Abdul Kahar, PIR ini kemudian mendirikan kantor berita Indonesia Raja. Semangat patriotik dengan tuntutan Indonesia merdeka telah disiarkan oleh kantor berita Indonesia Raya ini.
Pada periode 1930-an, di Mesir dan Timur Tengah, Indonesia telah menarik simpati publik karena aktivitas Abdul Kahar yang merupakan lambang atau personifikasi Indonesia di Timur Tengah. Jauh sebelum Indonesia merdeka, sebelum ada duta besar Indonesia di Mesir, Abdul Kahar telah melakukan peran utama itu. Sebagaimana yang dituturkan oleh sahabatnya asal Kotagede, Muhammad Rasyidi, yang kemudian menjadi Duta Besar di Mesir dan Menteri Agama RI, dan dicatat oleh Tashadi, dalam bukunya Prof. K.H. Abdul kahar Mudzakkir: Riwayat Hidup dan Perjuangan (1986). Peran-peran kecendekiawan dan patriotisme telah diteladankan oleh Kahar Mudzakkir muda, di masa kebangkitan nasional.
Perjuangan Abdul Kahar ini dilanjutkan ketika menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Junbi Chōsa-kai, Nihon-shiki: Dokuritu Zyunbi Tyoosa-kai). Pendirianya sudah diumumkan pada tanggal 1 Maret 1945, tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945. Kemudian Abdul Kahar juga terpilih menjadi anggota “Panitia Sembilan” yang menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep yang telah dikemukakan oleh para anggota BPUPKI itu.
Kahar Mudzakkir menjadi anggota “Panitia Sembilan” bersama tokoh-tokoh nasional lainnya : Ir. Soekarno (ketua); Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua); Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota); Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota); Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota); Abdoel Kahar Moezakir (anggota); Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota); Haji Agus Salim (anggota); dan Mr. Alexander Andries Maramis (anggota).
Panitia Sembilan ini yang menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai “Piagam Jakarta” atau “Jakarta Charter“. Piagam tersebut pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah “Gentlement Agreement“, kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan menjiwai Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sebuah kerja kenegaraan yang menunjukkan kenegarawanan Kahar Mudzakkir, sebagai kader Muhammadiyah.