Perspektif

Mudik Lebaran di Tengah Bayang-Bayang Krisis Ekonomi Nasional

2 Mins read

Tradisi mudik Lebaran di Indonesia bukan sekadar fenomena budaya, melainkan barometer kesehatan ekonomi nasional. Lembaga Ting Tankor Indonesia (LTTI) mencatat penurunan signifikan jumlah pemudik pada tahun 2025, yakni hanya 146,48 juta orang—turun 24% dari 193,6 juta pada 2024.

Data ini mengisyaratkan melemahnya daya beli, terutama di kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah. Jika tidak segera direspons, situasi ini berpotensi memicu krisis multidimensi. Tulisan ini membedah implikasi ekonomi-sosial dari fenomena tersebut, serta mengkaji ketimpangan antara narasi teknokratis pemerintah dan realitas di akar rumput.

Mudik Lebaran Indikator Ekonomi: Data Mengkhawatirkan

Mudik Lebaran merupakan momentum siklus ekonomi terbesar di Indonesia. Bank Indonesia tahun 2023 mencatat perputaran uang mencapai Rp220 triliun selama periode mudik tahun itu. Namun, pada 2025, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) melaporkan bahwa perputaran uang hanya mencapai Rp137,97 triliun—turun Rp20 triliun dari tahun sebelumnya. Penurunan ini sejalan dengan data transportasi: akumulasi penumpang lima moda transportasi utama turun 4,8%. Dengan penurunan tertinggi terjadi pada bus AKAP (10%), pesawat (6,8%), dan kapal laut (4,8%).

Fenomena ini diperburuk oleh deflasi berkelanjutan dari Mei hingga September 2024, saat konsumsi seharusnya meningkat menjelang Ramadan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat Indeks Harga Konsumen (IHK) turun 0,3% pada kuartal III-2024, menandakan stagnasi permintaan. Padahal, menurut teori Keynesian, festival keagamaan seperti Lebaran seharusnya memicu peningkatan konsumsi melalui efek pengganda (multiplier effect) di sektor ritel, logistik, dan UMKM.

Paradoks Daya Beli dan Narasi Pemerintah

Pemerintah, melalui Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, membantah adanya pelemahan daya beli dengan mengacu pada pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2024 sebesar 4,9%. Namun, analisis Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia menyoroti adanya kontraksi ekonomi akibat pertumbuhan kuartalan yang negatif. LTTI juga mencatat bahwa penjualan ritel hanya tumbuh 1,2% pada Maret 2025—jauh di bawah rata-rata historis sebesar 8% untuk periode yang sama.

Baca Juga  Jalan Baru Bahtiar Effendy

Ketimpangan ini mengindikasikan adanya bias metodologis. Kebijakan yang bertumpu pada indikator makro kerap mengabaikan realitas mikro: upah riil buruh stagnan di angka Rp2,8 juta/bulan (data BPS tahun 2024). Sementara tingkat pengangguran terbuka naik menjadi 6,2% pada Februari 2025, seiring gelombang PHK di sektor manufaktur. Faktor tersebut yang menimbulkan angka mudik lebaran 2025 mengalami penurunan, dikarenakan banyak orang tidak memiliki ongkos untuk pulang kampung.

Dari Krisis Ekonomi ke Krisis Sosial: Potensi Disintegrasi

Sosiolog UGM, Ari Sujito, mengingatkan bahwa tekanan ekonomi yang berkepanjangan dapat mengkristal menjadi konflik identitas. Hal ini dijelaskan melalui teori scapegoating , di mana kelompok rentan mencari kambing hitam atas penderitaan mereka. Sejarah mencatat bahwa krisis 1998 memicu kerusuhan etnis yang menewaskan lebih dari 1.200 jiwa. Pada 2025, sentimen anti-pemerintah dan isu SARA mulai merebak di media sosial, dengan peningkatan tren hashtag #DaruratEkonomi hingga 320% menurut survei SIAR Research.

Kritik terhadap Kebijakan: Teknokrasi vs Partisipasi Publik

LTTI dan CORE Indonesia mengkritik pendekatan kebijakan pemerintah yang dinilai terlalu teknokratis, seperti pemangkasan anggaran daerah sebesar Rp20 triliun dalam APBD 2025 atas nama efisiensi, tanpa melibatkan partisipasi publik. Padahal, program padat karya dan subsidi UMKM terbukti efektif dalam mendorong pemulihan ekonomi selama pandemi 2020–2022. Terutama dalam menjaga daya beli masyarakat akar rumput. Ironisnya, alokasi dana sosial tahun 2025 justru dipotong sebesar 15%—kebijakan yang bertolak belakang dengan rekomendasi IMF mengenai pentingnya social buffer di tengah ketidakpastian global.

Pemotongan anggaran ini turut berdampak pada melemahnya infrastruktur pendukung mudik, seperti layanan transportasi publik, pasar tradisional di daerah tujuan. Serta distribusi bantuan untuk masyarakat kelas bawah yang biasanya mengalami lonjakan kebutuhan jelang Lebaran. Alih-alih menjadi momen penggerak konsumsi dan pemerataan ekonomi, mudik Lebaran 2025 justru mencerminkan lemahnya sentuhan kebijakan terhadap kebutuhan nyata masyarakat.

Baca Juga  Green Hajj: Pesan Ekologis, Agar Sepulang Haji Makin Peduli Lingkungan

Menjembatani Jurang Data dan Realitas

Penurunan jumlah pemudik pada kesempatan mudik Lebaran 2025 adalah alarm sosial yang tidak boleh diabaikan. Pemerintah perlu mengadopsi pendekatan bottom-up dalam perumusan kebijakan, mengintegrasikan data makroekonomi dengan realitas keseharian masyarakat. Langkah konkret seperti revitalisasi pasar tradisional, moratorium PHK, dan pemberian insentif fiskal berbasis komunitas harus segera diakselerasi.

Seperti yang dikatakan oleh ekonom Amartya Sen, “Krisis tidak lahir dari kelangkaan sumber daya, melainkan dari kegagalan distribusi.” Momentum ini harus menjadi titik balik menuju kebijakan yang lebih inklusif, sebelum krisis ekonomi bermetamorfosis menjadi krisis sosial yang tak terkendali.

Editor: Assalimi

M Ainul Yaqin Ahsan
7 posts

About author
Penulis dan Pegiat Literasi Minat Kajian Keislaman, Politik, dan Sosial
Articles
Related posts
Perspektif

Muhammadiyah Hadir untuk Masa Depan Dunia

3 Mins read
Sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar dan terkaya di dunia, Muhammadiyah menempati posisi strategis dalam membentuk arah peradaban Islam kontemporer. Dengan status…
Perspektif

Musim Kemarau adalah Sunnatullah

3 Mins read
Musim adalah waktu tertentu.yang berjalan dengan keadaan iklim. Demikian salah satu definisi musim dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Di Indonesia terdapat…
Perspektif

Jangan Terlalu Berharap pada Dunia Islam

2 Mins read
Ramadan seharusnya menjadi bulan yang damai dan menentramkan bagi umat Islam, termasuk mereka yang berada di Palestina. Namun harapan itu tampak seperti…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *