IBTimes.ID – Muhammad Ali, Ketua Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Amerika 2019-2021 menyebut bahwa ada banyak penjelasan mengapa manusia beragama. 85 persen manusia di dunia adalah manusia beragama. Sisanya adalah orang-orang atheis.
Menurutnya, agama lahir dari pengalaman manusia. Ada beberapa pengalaman manusia yang melahirkan agama. Di antaranya adalah takut terhadap kematian, harapan hidup setelah kematian, ketidakpastian takdir, dan lain-lain. Pengalaman ini meniscayakan adanya keyakinan atau kepercayaan bahwa ada kekuatan tertentu yang bisa mengendalikan hal-hal tersebut.
“Bahkan perlu ada tokoh atau manusia lain yang spesial untuk membantu kita memahami itu dan bisa memprediksi masa depan itu seperti apa. Ini bisa kita sebut sebagai nabi, wali, dan lain-lain,” ujarnya dalam Elightenment Session yang digelar oleh Nurcholish Madjid Society, (16/5/2020).
Agama, imbuhnya, memiliki dimensi rasa dan kognitif. Dimensi rasa meliputi ketakutan, harapan, ketakjuban, cinta, dan benci. Sementara dimensi kognitifnya meliputi rasa ingin tahu terhadap apa yang menyebabkan terjadinya hal-hal alamiah yang sulit dijelaskan. Misalnya fenomena gempa bumi, gunung meletus, banjir, dan lain-lain.
Sifat dasar agama telah ada selama ratusan ribu tahun yang lalu. Sementara agama yang didasarkan pada Kitab Suci baru muncul belakangan. Di sisi lain, ateisme juga cukup tua, bahkan setua agama itu sendiri.
Muhammad Ali menyebut bahwa beragama adalah pekerjaan pikiran. Ia berhubungan dengan motivasi dan keinginan untuk meyakini sesuatu. Setiap orang punya keinginan untuk meyakini sesuatu. Misalnya, orang yang naik pesawat mau tidak mau harus percaya dengan pilot. Penumpang pesawat tidak bisa berpikir secara saintifik sepenuhnya.
“Ada unsur trust di situ. Kita percaya dengan pilot. Percaya dengan sopir angkot. Itu sangat manusiawi. Makanya beragama adalah fenomena yang sangat manusiawi,” imbuh Muhammad Ali.
Sementara itu, secara psikologis, ada dua pandangan terhadap agama. Pertama, pandangan bahwa agama adalah ilusi. Menurut teori ini, orang yang beragama adalah orang yang bersifat kekanak-kanakan dan belum dewasa. Bahkan, teori ini menganggap bahwa agama merupakan sebuah penyakit.
Ada teori lain yang menyebut bahwa agama adalah ilusi yang positif, normal, dan permanen. Ada rasa dan pengalaman individu pada saat seseorang sendiri. Di saat kesendirian inilah ia memiliki hubungan dengan keilahian.
“Ada penelitian kalau anak kecil sejak berusia tiga tahun punya kecenderungan untuk percaya pada hal-hal spiritual. Anak tiga tahun memberi sifat kemampuan supranatural kepada Tuhan meskipun belum pernah diajarkan tentang Tuhan. Dalam Islam, agama dianggap dapat memenangkan hati. Hal ini secara psikologis memang masuk akal,” imbuh Muhammad Ali.
Dalam tinjauan sosiologis, Ali menyebut bahwa masyarakatlah yang menciptakan agama. Menurut Emile Durkheim, orang beragama karena ada yang sakral, ada larangan, dan ada perintah. Perintah dan larangan ini berfungsi untuk menyatukan manusia dalam sebuah komunitas moral.
Misalnya, anjuran untuk memakai jilbab. Orang-orang yang bersama-sama memakai jilbab akan merasa memiliki ikatan moral satu sama lain. Jadi komunitas menciptakan agama. Hanya saja, menjadikan agama sebagai sumber moral baru terjadi belakangan.
Reporter: RH