Kita tahu, zaman berubah cepat sekali. Terlebih seiring dengan perkembangan teknologi internet, menjadikan zaman riuh dengan tren ketenaran virtual.
Implikasinya, dakwah di era digital kini juga memiliki tren yang berbeda: popularitas seorang ustadz ditentukan oleh banyaknya followers sosial media yang dimiliki. Artinya, nasehat keagamaan memungkinkan untuk diperdengarkan secara massif, jika rating viralitas akun media sosial pendakwahnya tinggi.
Di Muhammadiyah, ustadz yang memiliki followers atau subscribers banyak bisa dihitung dengan jari. Yang paling menonjol dengan akun Instagram dan channel YouTube adalah Ustadz Adi Hidayat (UAH). Tercatat dari akun Instagramnya, UAH memiliki 2,7 juta pengikut dan 655 ribu subscribers.
Sedangkan mereka yang tenar di mimbar akademik universitas, tidak mampu mengejar popularitas UAH. Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir, misalnya, memiliki akun media sosial (Instagram) dengan pengikut yang terbatas (hanya 15,1k). Amien Rais, sang reformer dan tokoh oposisi tulen, diikuti oleh 203k followers. Din Syamsuddin memiliki 7.437 followers. Sementara itu, almarhum Yunahar Ilyas memilki 6084 followers.
Para tokoh muda Muhammadiyah memiliki followers Instagram yang lebih banyak dari para pendakwah senior di persyarikatan yang berusia seabad lebih ini. Danil Azhar Simanjuntak, memiliki 795k followers. Sunanto (Cak Nanto), hanya di-follow 13,9k. Ali Muthohirin memiliki 1.744 pengikut, ketika Najih Prastyo 2,644. Azaki Khoiruddin, Maharina Novi, dan penggiat Muslim Millenia, M Subhan Setowara, berturut-turut memiliki 4,533, 4,017 dan 2,276 followers.
Intelektual muda Andar Nubowo memiliki 164 followers. Intelektual cum aktivis minoritas, Ahmad Najib Burhani disertai oleh 598 followers dan tokoh perempuan Rita Pranawati memiliki 1,037 followers. Bahkan, Iqbal Aji Daryono yang dianggap sebagai influencer, hanya diikuti 4,602 followers.
Dengan demikian, di hadapan media sosial mainstream, para tokoh Muhammadiyah belum punya followers dan subscribers yang banyak. Mungkin, para kader Muhammadiyah di cabang dan ranting juga belum menganggap penting platform seperti Instagram dan YouTube. Atau bahkan tidak punya?
Tentu hal ini perlu direspon dengan baik. Sekitar 5-10 tahun mendatang, generasi millenial yang saat ini sudah menyatu dengan gawai (gadget) dan media sosial, akan menjadi generasi yang matang. Nah, dakwah “berkemajuan” Muhammadiyah yang sejak dini mestinya menjadi konsumsi mereka, harus dipastikan benar-benar dikonsumsi dengan lahap.
Kalau tidak, tentu mereka leluasa mengikuti berbagai akun pendakwah yang agak sedikit keras tapi popular. Millenialis yang kehausan spiritualitas, akan dengan mudah menemukan “ulama popular” karena dakwahnya lebih “viral” dan followers-nya banyak sekali. Sementara itu, algoritma media sosial mampu menggerakkan para netizen dengan mudah oleh karena alasan viralitas, bukan kontennya yang bergizi.
Dalam konteks ini, kontestasi wacana tidak lagi terjadi secara terbuka, merdeka dan mengalir seperti sumber menuju muara. Tapi, juga digerakkan oleh kecerdasan buatan yang tentu saja, berorientasi pada “pemakaian yang adiktif” terhadap platform media sosial tertentu. Meskipun, pada intinya menggerakkan “candu digital” ini sebenarnya demi kepentingan akumulasi kapital.
Nah, para pakar teknologi, media sosial dan antropologi sibernetik di lingkungan Muhammadiyah perlu memikirkan masalah ini secara lebih serius. Dakwah secara langsung (offline) memang penting. Terutama di kalangan jamaah pedesaan. Tapi dakwah online di lingkungan kaum milenial yang gamang, labil, hedon, dan pemuja viralitas, harus kita pastikan. Kita harus punya rencana dan strategi penerapan yang menarik menghadapi persoalan-persoalan yang demikian.
Di tengah wabah pandemik Covid-19 misalnya, kita bisa dengan mudah mendengarkan nasehat dr. Tirta, dokter sekaligus influencer yang sedang naik daun. Tapi ketika membuka laman Instagram, berbagai aktivitas sederet selebgram tenar seperti Atta Halilintar, Deddy Corbuzier, Ria Ricis, dan banyak lagi yang lainnya, juga sangat mudah ditemukan. Tentu hal ini membentuk pemikiran, inspirasi dan bahkan gaya hidup netizen. Bahkan akun “Lambe Turah” menjadi imam baru bagi jamaah gosip seantero Nusantara.
Yang harus diidentifikasi pertama adalah arah dan gerak kecerdasan buatan berbagai platform media sosial yang ada. Lalu, apakah mungkin Muhammadiyah menemukan berbagai celah dan bahkan menjadi bagian dari wacana mainstream millenialis.
Syarat utama konten dakwah Muhammadiyah memenuhi alam pikiran kaum millenial adalah, berbagai tokoh Muhammadiyah harus memiliki followers banyak. Setiap yang diungkapkan, dinyatakan dan diwacanakan harus viral, meskipun tidak harus mengikuti selera pasar (konsumerisme).
Jika para selebgram, YouTubers, dan para pemain populer platform lainnya adalah para intelektual-agamawan yang berkemajuan, kita bisa membayangkan panen yang akan didapatkan pada beberapa dekade mendatang.
Saya kira benarlah Kiai Dahlan ketika menyebut, “Jadilah apa saja, kembalilah kepada Muhammadiyah.” Dalam konteks terkini, kita bisa menjadi pemikir berkemajuan, dai, sekaligus selebriti media sosial yang senantiasa memperjuangkan gagasan-gagasan besar Muhammadiyah.
Editor: Arif