Perspektif

Muhammadiyah dan Lapangan: Dari Shalat Id sampai Sepakbola

3 Mins read

Lapangan adalah tempat pertemuan dan perayaan. PSM Makasar merayakan kesuksesan menjuarai Liga 1 2023/2023 di lapangan yang berada di Stadion BJ Habibie Pare Pare Sulawesi Selatan. Klub sepakbola kebanggaan masyarakat Makassar ini seharusnya merayakan di kandangnya, Stadion Matoangin.

Sayangnya stadion Matoangin yang berada di kota Makassar telah menjadi puing. Ada sukacita, namun ada duka di baliknya. Keberhasilan menjadi juara, setelah di musim sebelumnya hampir terdegradasi adalah suka. Namun ketiadaan lapangan stadion di Makassar adalah duka yang terpendam.

Lapangan menjadi ruang yang penting setiap penyelenggaraan salat Id. Bagi umat Islam, lapangan menjadi titik sentral merayakan Idul Fitri dan Idul Adha.

Sebulan setelah berpuasa Ramadan, umat Islam berbondong-bondong datang ke lapangan untuk melaksanakan salat Idul Fitri dengan sukacita yang membuncah.

Sayang, ada duka di tengah sukacita. Larangan menggunakan lapangan publik di kota Pekalongan dan Sukabumi untuk tempat salat Idul Fitri adalah duka yang bergelayut di tengah suka cita.

Meskipun setelah mengalami tekanan publik, baik di media sosial dan media massa, pejabat publik di kedua kota mengijinkan penggunaan lapangan publik untuk salat Idul Fitri.

Meskipun demikian, larangan di kedua kota ini telah menunjukan preseden buruk dalam toleransi beragama. Rezimentasi keagamaan membentuk wajah buruk toleransi.

Muhammadiyah dan Lapangan

Tradisi menggunakan lapangan sebagai lokasi pelaksanaan salat Idul Fitri dan Idul Adha di Indonesia diinisiasi oleh Muhammadiyah. Haedar Nashir dalam Muhammadiyah Gerakan Pembaruan (2010) menulis bahwa pelaksanaan salat Id di lapangan untuk ‘pertama kali’ dilakukan Muhammadiyah pada 1926 dengan berlokasi di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.

Haedar menyebut bahwa Kiai Dahlan yang wafat pada 1923 sebenarnya telah berusaha memahamkan umat Islam agar mengikuti Sunnah Nabi Muhammad SAW dengan salat Id di lapangan terbuka.

Baca Juga  Kesan WS Rendra tentang Islam dan Muhammadiyah

Tradisi salat Idul Fitri yang dipopulerkan Muhammadiyah kini menjadi hal yang lumrah. Bahkan bukan hanya warga Muhammadiyah yang melaksanakan salat Idul Fitri di lapangan. Di berbagai lokasi, pemerintah daerah juga menggelar salat Idul Fitri di lapangan.

Lapangan lebih dari sekadar tempat melaksanakan salat Idul Fitri. Di lapangan, jamaah datang bersama keluarga besar yang mudik pulang. Di lapangan pula, mereka berjumpa dengan orang-orang yang pulang dari merantau.

Berjumpa dengan teman sekolah di masa remaja, dan bertemu dengan teman sepermainan di masa kecil, adalah kebahagiaan yang dijumpai di lapangan saat salat Idul Fitri.

Tanpa ijtihad Muhammadiyah untuk menggelar salat Id di lapangan, bisa jadi kebahagiaan ini tidak segera datang.

Lapangan sepakbola menjadi salah satu lokasi yang sering digunakan untuk menggelar salat Idul Fitri. Lapangan yang datar dan luas dengan rumput yang menghijau dan empuk menjadikan lapangan sepakbola sebagai pilihan utama menggelar salat Idul Fitri.

Di lapangan sepakbola pula Muhammadiyah menorehkan peran pentingnya.

Lapangan dan PSHW

Di masa kolonial, Muhammadiyah menjadi organisasi yang menyerap ide modernitas. Sepakbola yang dibawa kaum kolonial, dengan segera menjadi medan dakwah Muhammadiyah.

Melalui perkumpulan sepakbola yang diberi nama Hizbul Wathan, kader-kader Muhammadiyah menjadikan lapangan sebagai arena berolah raga.

Hizbul Wathan berkembang sebagai perkumpulan sepakbola yang berdiri di berbagai kota, yang dilazim dinamakan Persatuan Sepakbola Hizbul Wathan (PSHW).

Hizbul Wathan di masa kompetisi sepakbola format Perserikatan menjadi klub-klub anggota dari Perserikatan sepakbola yang ada di kota masing-masing. Ambil contoh di kota Solo. PSHW Solo pernah jadi juara kompetisi Persis Solo musim 1939, baik di kelas I maupun kelas III. Disusul jawara kompetisi internal Persis musim 1953-1954.

Baca Juga  Pengaruh Kebudayaan Romawi di Timur Tengah

Melalui Hizbul Wathan, lapangan menjadi ajang angkatan muda Muhammadiyah mengolah raga. Bahkan, melalui lapangan, digelar pula pertandingan amal yang dikoordinasi para pengurus Muhammadiyah.

Muhammad Ilham Syifai menuliskan relasi PSHW di kota Solo dan Persis ini  dalam artikel berjudul Simbiosis Persis Solo dengan Harakah Muhammadiyah yang dimuat dalam buku Merawat Sepakbola Indonesia (2018). Di kota-kota lain, PSHW tumbuh subur, termasuk yang dalam bentuk sekolah sepakbola.

Melalui lapangan sepakbola pula, Muhammadiyah membangun relasi dan toleransi dengan berbagai golongan. Sebuah berita di De Locomotief tanggal 29 Oktober 1929 berjudul Lomba Amal membuktikan hal ini. Beritanya sebagai berikut,

Pada hari Sabtu, pertandingan Union dan  Hizbul Wathan akan dimainkan di lapangan Union di Seteran, sedangkan Siod dan Hizbul Wathan akan saling berhadapan di lapangan yang sama pada Minggu sore. Kedua perlombaan yang dimulai pukul empat kurang seperempat ini diselenggarakan oleh Pengurus Muhammadiyah, Departemen Pendidikan, untuk kepentingan sekolah Muhammadiyah, Poliklinik Tionghoa, Poliklinik Mardi Waluyo.

Berita di atas jelas menunjukan bahwa melalui lapangan, interaksi dan toleransi Muhammadiyah dengan berbagai golongan, diantaranya dengan Tionghoa telah lama terjalin. Jauh sebelum organisasi Islam yang lain melakukannya. Gagasan berkemajuan Muhammadiyah terejawantahkan melalui sepakbola.

Dari Shalat Id hingga Sepakbola

Di Yogyakarta, lapangan Asri menjadi situs penting. Di lapangan inilah, Muhammadiyah secara aktif menggelar salat Id. Di hari-hari lain, lapangan Asri anak muda di Yogyakarta menggunakannya sebagai tempat berlatih sepakbola bersama Hizbul Wathan.

Di lapangan Asri, kegembiraan dirayakan setiap hari melalui sepakbola dan dua kali salat Id di setiap tahun.

Aktivis Muhammadiyah selain mengolah bola di lapangan, juga aktif mendirikan federasi sepakbola. Abdul Hamid menjadi sosok yang menonjol dengan menjadi salah satu pendiri Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) yang dideklarasikan pada 19 April 1930. Kini lapangan Asri berada di komplek Rumah Sakit Asri Medical Center.

Baca Juga  Sejarah Panjang Hisab dalam Islam

Lapangan seharusnya menjadi ajang perayaan. Lapangan yang menjadi ruang publik, berhak dimanfaatkan oleh publik. Pelarangan oleh perangkat pemerintah terhadap penggunaan lapangan publik untuk salat Id jangan sampai terjadi lagi. Di lapangan, umat Islam merayakan Idul Fitri dengan sukacita.

Editor: Soleh

Avatar
4 posts

About author
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Olahraga Pimpinan Pusat Muhammadiyah
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds