Rivalitas Abadi NU dan Muhammadiyah
Dalam akun facebooknya, Prof. Sumanto Al Qurtuby menulis sebagai berikut:
Warga NU dan Muhammadiyah itu yang rukun (atau pura-pura rukun) dan harmoni (atau pura-pura harmoni) itu hanya segelintir elite atau kalangan terdidik saja. Banyak juga dari mereka yang sering berantem, baik karena persoalan politik, agama, ekonomi, pendidikan dan lainnya. Apalagi, massa akar rumput atau “arus bawah” itu lebih sering eker-ekeran dari pada temenan, lebih parah dari Tom and Jerry.
Tulisan Prof. Sumanto tersebut tak lahir dari ruang hampa, jauh dari tanah Arab sana, beliau memperhatikan dinamika muslim di Indonesia melalui media sosial. Kebetulan isu yang sedang hangat saat ini adalah ketegangan antara NU dan Muhammadiyah di Yogyakarta. Penulis tidak sepenuhnya setuju dan tidak sepenuhnya menolak pernyataan Sumanto tersebut.
Kita harus jujur dengan fakta bahwa ada rivalitas antara NU dan Muhammadiyah. Namun menurut penulis berlebihan juga jika dikatakan bahwa massa akar rumput lebih banyak yang eker-ekeran dibanding yang damai-damai saja. Di era media sosial seperti sekarang ini, jika ada satu gesekan saja antara Muhammadiyah dan NU seperti di Yogyakarta, akan cepat untuk di blow up. Nyatanya kita tak banyak menemukan gesekan semacam itu selain yang sekarang sedang hangat.
Jika dikatakan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah entitas yang sama dan satu pemikiran, hal ini tidak dapat diterima. NU dan Muhammadiyah adalah dua entitas yang berbeda yang lahir dalam konteks kesejarahan masing-masing. Keduanya mempunyai paham agama yang berbeda, yang lahir dari perbedaan metodologi pemahaman agama. Perbedaan ini tak dapat kita ingkari dan tak perlu kita tutup-tutupi. Namun perlu kita pahami dan ketahui.
Namun jika dikatakan bahwa NU dan Muhammadiyah adalah dua entitas yang bermusuhan, penulis pikir tidak tepat juga. Penulis lebih memilih istilah rival dibandingkan musuh. Permusuhan meniscayakan sebuah entitas menghilangkan dan melenyapkan musuhnya. Sementara rival adalah lawan tanding dalam sebuah perlombaan, yakni berlomba-lomba dalam kebaikan.
Problematika Konflik NU dan Muhammadiyah
Sebenarnya penyebutan konflik NU versus Muhammadiyah mengandung beberapa hal yang problematis. Pertama siapakah yang sebenarnya berkonflik? Institusinya atau warganya? Penyebutan konflik NU dan Muhammadiyah mengisyaratkan bahwa yang berkonflik adalah organisasi NU dan Muhammadiyah. Namun benarkah yang berkonflik adalah PP. Muhammadiyah versus PBNU? Atau boleh jadi pimpinan di bawahnya atau ortomnya? Namun seringkali kita menyederhanakan masalah menjadi konflik Muhammadiyah versus NU.
Kedua, boleh jadi yang sebenarnya terjadi adalah konflik warga NU dan Muhammadiyah. Masalah selanjutnya adalah baik di NU maupun di Muhammadiyah, tipologi warganya ini bermacam-macam. Ada yang memang aktif struktural, ada yang simpatisan kultural. Ada yang garis lurus, ada yang garis lucu. Kita perlu lebih memetakan sebenarnya yang konflik ini warga tipologi yang mana?
Ketiga mengenai latar belakang konflik, apakah murni karena benturan ideologi atau ada faktor ekonomi, sosial politik di belakangnya? Ada anekdot mengatakan, beda pendapat itu biasa, yang bahaya adalah beda pendapatan. Seringkali perbedaan ideologi tak sampai menimbulkan konflik, namun perebutan sumber daya ekonomi bisa menjadi latar belakang yang sebenarnya. Maka alangkah baiknya jika kita petakan terlebih dahulu hakikat konflik Muhammadiyah dan NU agar dapat ditemukan juga penyelesaiannya.
Upaya Rekonsiliasi Muhammadiyah dan NU
Selama hampir satu abad ini, rivalitas NU dan Muhammadiyah menjadi dinamika yang dapat kita temui di masyarakat. Contoh kecilnya saja, yang tidak mau ikut tahlilan akan dikucilkan. Yang keluarganya meninggal tidak mau ditahlilkan, dibilang seperti menguburkan kucing. Sebaliknya yang tahlilan dan yasinan dikatakan melakukan amalan bid’ah dan tidak ada tuntunannya. Maka sebaiknya ditinggalkan.
Akhirnya, ada sebagian pihak yang mencoba membangun narasi-narasi rekonsiliasi guna mendamaikan konflik satu abad tersebut. Misalnya Ustaz Adi Hidayat membuat narasi bahwa KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari itu satu guru dan satu nasab, keduanya adalah keturunan Rasulullah SAW. Bedanya kata UAH, Kiai Dahlan lebih senang beramal membangun amal usaha, sementara Kiai Hasyim Asy’ari lebih senang menulis kitab.
Muncul juga narasi bahwa NU dan Muhammadiyah harus bersatu dan bersama-sama menghadapi beragam pengaruh organisasi transnasional yang sangat pesat perkembangannya. NU dan Muhammadiyah adalah benteng moderasi di tengah banyaknya ideologi ekstrem yang masuk ke Indonesia. Cak Nur menyebut Muhammadiyah dan NU adalah bak sepasang sayap garuda.
Terakhir adalah pembuatan film Jejak Langkah 2 Ulama yang tidak ditayangkan di bioskop, namun keliling Indonesia bagi yang berminat menayangkannya. Film ini berisi kisah Kiai Dahlan dan Kiai Hasyim dua tokoh besar pendiri Muhammadiyah dan Nahdhatul Ulama. Sayangnya saat film ini ditayangkan, muncul insiden di Yogyakarta.
Rekonsiliasi yang Otentik
Tentu saja upaya rekonsiliasi di atas menjadi sia-sia manakala hanya menjadi lip service semata. Karena itu yang mesti dilakukan adalah membangun hubungan baik yang otentik dan tulus. Caranya adalah dengan ta’aruf, tafahum dan tasaamuh. Muhammadiyah dan NU mesti mengenal metodologi dan corak berpikir masing-masing. Bahkan kalau perlu membenturkannya sampai menemukan titik dimana NU dan Muhammadiyah harus sepakat untuk tidak sepakat.
Persoalan sikap Muhammadiyah terhadap Takhayul, Bid’ah dan Churafat, juga persoalan sikap NU terhadap wahhabisme merupakan titik seteru abadi Muhammadiyah dan NU. Baik NU maupun Muhammadiyah perlu tahu alasan masing-masing pihak menolak TBC atau menolak wahhabisme. Dari sana akan timbul tafahum yakni saling memahami satu sama lain, tanpa harus meninggalkan pendirian dan identitas masing-masing.
Terakhir adalah tasamuh, yakni toleransi terhadap perbedaan pandangan. Hasan Al Banna pendiri Ikhwanul Muslimin pernah mengatakan, kita bisa bekerjasama dalam hal yang kita sepakati, dan bertoleransi dalam hal yang tidak kita sepakati. Muhammadiyah dan NU bisa bekerjasama menyelesaikan masalah sosial yang ada di masyarakat, walaupun tidak akan pernah sepakat dalam soal tahlilan, yasinan dan qunut subuh dengan NU.
Tentu saja, walaupun sudah rekonsiliasi, namanya adik kakak, adakalanya bertengkar. Namanya juga kakak dan adik, yang penting dalam ajaran Rasulullah SAW, bertengkar jangan lebih dari tiga hari. Walaupun bertengkar, namanya kakak adik tetap jadi saudara selamanya.