Oleh: Ahmad Faizin Karimi
Setiap waktu, ruang publik kita dipenuhi dengan perbincangan yang tidak terlalu produktif. Perdebatan soal hukum mengucapkan salam kepada pemeluk agama lain adalah contoh perbincangan publik yang tidak produktif. Nanti akhir tahun akan muncul lagi perdebatan soal hukum mengucapkan selamat natal, dilanjut awal tahun hukum merayakan tahun baru. Pada bulan selanjutnya muncul perdebatan hukum merayakan Hari Valentine. Belum lagi soal celana cingkrang, cadar, penentuan awal Ramadhan dan hari raya, serta soal halal-haram yang lain. Bagi Muhammadiyah yang mengusung konsep Islam Berkemajuan, seharusnya perdebatan itu sudah usang.
Muhammadiyah perlu memproduksi wacana yang lebih visioner di sektor publik, alih-alih ikut terjebak perdebatan soal privat. Mengikuti Foucault, wacana (discourse) tidaklah muncul secara tiba-tiba. Wacana adalah arena pertarungan yang diproduksi oleh pemilik kuasa dengan melibatkan pengetahuan. Ketika sebuah wacana diproduksi, maka akan ada wacana dominan yang membuat wacana lain terpinggirkan (marginalized).
Penganut wacana terpinggirkan ini akan melawan balik, dari situlah kemudian terjadi pertarungan wacana di ruang publik.
Muhammadiyah perlu melampaui perdebatan wacana lama itu dengan cara memproduksi wacana baru. Harus ada wacana alternatif yang dilempar oleh Muhammadiyah ke ruang publik. Wacana yang diproduksi menyangkut persoalan-persoalan publik yang hari-hari ini kurang mendapat perhatian serius. Misalnya saja terkait persoalan sosial, lingkungan, ekonomi, hukum, kebudayaan, dan sebagainya.
***
Sesungguhnya produksi wacana berkemajuan semacam itu bukanlah barang baru di Muhammadiyah. Beberapa elite persyarikatan telah melahirkan gagasan progresif. Sebut saja Kuntowijoyo dengan Ilmu Sosial Profetik, Amien Rais dengan Tauhid Sosial, atau Din Syamsuddin dengan Jihad Konstitusinya. Pimpinan Pusat Muhammadiyah juga telah memproduksi fikih-fikih progresif seperti fikih lingkungan, fikih kebencanaan, atau fikih informasi. Artinya, produksi wacana berkemajuan yang mencerdaskan telah dilakukan.
Persoalannya bukan pada produksinya tapi distribusinya, dan di sinilah tantangan Muhammadiyah. Sebagai gerakan yang dianggap dikelola secara modern, Muhammadiyah harus mampu menyinergikan elemen persyarikatan baik secara vertikal (pimpinan pusat hingga pimpinan ranting) maupun secara horisontal (antar majelis, antar organisasi otonom). Tanfidz keputusan di setiap muktamar sebagai refleksi sekaligus strategi dakwah Muhammadiyah terhadap perkembangan mutakhir tidak efektif implementasinya sampai tingkat akar rumput.
Agar wacana-wacana berkemajuan yang diproduksi itu bisa menjadi perbincangan, maka perlu dilakukan strategi pengarusutamaan. Muktamar Muhammadiyah ke-48 yang akan diselenggarakan di Surakarta pada tahun 2020 depan perlu merumuskan sinergi tiga majelis dalam gerakan pengarusutamaan wacana berkemajuan ini, yakni Majelis Tarjih, Majelis Tabligh, serta Majelis Pustaka dan Informasi.
***
Majelis Tarjih bisa memperkuat wacana yang diproduksi itu melalui otoritasnya menerbitkan fatwa. Fatwa Majelis Tarjih, sebagaimana disertasi Pradana Boy yang diterbitkan Amsterdam University Press dengan judul “Fatwa in Indonesia : An Analysis of Dominant Legal Ideas and Mode of Thought of Fatwa-Making Agencies and Their Implications in the Post-New Order Period” siginifikan pengaruhnya dalam pembentukan opini keagamaan. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi warga Muhammadiyah, bahwa buku Himpunan Putusan Tarjih (HPT) adalah publikasi yang paling populer sebagai rujukan tindakan. Jika wacana yang diproduksi Muhammadiyah itu diperkuat melalui fatwa maka akan menambah magnitudo persebarannya.
Pengarusutamaan wacana melalui komunikasi massa akan sangat efektif jika Majelis Tabligh menggerakkan para mubalig untuk menyampaikan di masjid-masjid. Di satu sisi, ini akan cepat membuat wacana menyebar melalui jejaring sosial tradisional di sisi lain juga memudahkan para mubalig dalam mendapatkan konten dakwah yang menarik. Majelis Pustaka dan Informasi juga perlu memperluas distribusi wacana itu dengan cara memproduksi konten untuk disebar melalui jejaring sosial digital.
Karena wacana yang diproduksi menyangkut urusan publik dan bukan urusan privat, maka ini akan menciptakan adanya demokrasi deliberatif. Demokrasi deliberatif mengacu Habermas adalah adanya partisipasi publik tidak hanya dalam kontestasi pemilihan namun juga dalam proses pengambilan kebijakan melalui diskusi di ruang publik. Inilah lahan dakwah baru Muhammadiyah dalam mencerdaskan bangsa.