Tajdida

Muhammadiyah: Menerima Kebhinekaan, Menolak Pluralisme

4 Mins read

Oleh: Alpha Amirrachman

AL–QUR’AN surah al-Hujurat jelas memberikan pengakuan terhadap kebhinnekaan dimana umat manusia diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan kita diperintahkan untuk saling mengenal satu sama lain. Kita juga menemui berbagai keragaman mulai dari agama, kepercayaan hingga ideologi sosial maupun politik di antara umat manusia yang berbangsa-bangsa dan bersuku-suku itu.

Sebagai organisasi Islam yang selalu merujuk kepada al-Qur’an dan al-Hadits, Muhammadiyah sudah dapat dipastikan menggunakan ayat ini sebagai landasan dalam menyikapi kebhinnekaan yang kita temui di tengah umat manusia. Merujuk kepada Tanfidz Keputusan Muktamar Satu Abad Muhammadiyah (2010), bagi Muhammadiyah yang melakukan gerakan Islam dengan melaksanakan misi dakwah dan tajdid untuk terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, Islam merupakan nilai utama sebagai dasar dan pusat inspirasi yang menyatu dalam seluruh denyut-nadi gerakan.

Namun tantangan yang dihadapi juga besar, karena gesekan, ketegangan dan konflik antar umat beragama dan peradaban dunia tidak pernah lepas dari perputaran dinamika kehidupan relasi antar manusia. Bahkan samapai saat ini pun ketegangan dan konflik itu pun mengambil bentuk yang berbeda-beda namun jika tidak dikelola dengan baik tetap akan menimbulkan daya hancur yang luar biasa bagi pencapaian peradaban manusia.

Memilih Kebinnekaan, Menolak Pluralisme

Dalam perspektif hubungan antar umat beragama, Islam menghargai kebhinnekaan sebagaimana dinyatakankan dalam al-Qur’an surah al-Hujurat 49:13 “Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” Setiap orang harus saling menghargai atau saling mengenal satu sama lain sebagaimana kata lita’arafu tersurat di dalam ayat tersebut.

Baca Juga  Kontribusi Lembaga Pendidikan Muhammadiyah untuk Kemajuan Indonesia

Sebelumnya, sebagian kalangan intelektual Muhammadiyah gencar menggunakan istilah “pluralisme”. Diana L. Eck (2003) sendiri membedakan “pluralisme” dengan “pluralitas”, di mana “pluralisme” adalah respon yang aktif dan positif terhadap pluralitas. Menurutnya, pluralisme bukanlah sebatas pluralitas, namun keterlibatan yang energik terhadap keberagaman, pluralisme bukan toleransi, namun keingintahuan yang aktif untuk memahami melampaui garis perbedaan, pluralisme bukan relativisme, namun perjumpaan berbagai komitmen, dan pluralisme didasari pada dialog (Eck, 2015).

Penulis sependapat dengan definsi tersebut, namun sedapat mungkin berusaha menghindari penggunaan kata “pluralisme” karena ternyata dalam konteks Indonesia dalam beberapa diskusi dan perdebatan seringkali lebih banyak menimbulkan kontroversi yang tidak membawa maslahat daripada kesepemahaman yang bermakna.

Di kalangan umat Islam sendiri memang terbagi dua pandangan mengenai pluralisme. Kelompok yang pertama, memahami pluralisme sebagai sebuah realitas dengan demikian menghormati keragaman atau pluralitas di mana terdapat unsur kebenaran juga terdapat di agama lain. Kelompok yang kedua menganggap gagasan pluralisme agama sebagai perpaduan antara Islam dan yang bukan Islam. Karena perspepsi seperti inilah bisa dipahami banyaknya pertentangan dari kalangan umat Islam.

Penulis beranggapan berdebatan antara kedua kelompok ini tidak banyak memberikan manfaat karena sebagai Muslim tentu saja kita meyakini Islam sebagai agama yang “final” dan “sempurna”, namun bahwa unsur kebenaran bisa saja kita dapatkan di agama lain atau kepercayaan apapun. Karena itu penulis lebih memilih kata “kebinnekaan”, dan walaupun di dalam tulisan ini ditemukan penggunaan kata “pluralisme” itu pun tidak harus menimbulkan perdebatan berkepanjangan  yang tidak perlu.

Pada hakekatnya, penulis memaknai bahwa kata “kebinnekaan” sebagaimana ditemukan dalam “bhinneka tunggal ika” juga mengandung makna keyakinan yang positif akan hidup dalam keberagaman atau pluralitas.

Baca Juga  Pandangan Islam Tentang Kehidupan

Terlepas dari perdebatan konseptual, pada tataran praksis jelas Muhammadiyah menerima kebhinnekaan sebagai sunnatullah, seperti dicermati oleh Mitsuo Nakamura (2012) , “The plurality in religion, culture and ethnicity as a basic social reality of the Indonesian state seems to be well accepted among the Muhammadiyah circles today. Morever, there are some arguments to recognize this reality as ‘sunnatullah’ (God’s law, i.e. natural law). Accordingly, Muhammadiyah seems tobe getting less reactive, or defensive, to the presence of non-islamic groups among the same local communitythan before. Warnings against active missionary works by certain demonications of Christianity are still heard. Generally speaking, however, amiable relationship with other religious groups is sought from the Muhammadiyah side as well” (h. 313).

Membangun relasi antar umat beragama begitu juga merajut aliansi antar peradaban dunia, tidak berarti menghilangkan identitas seseorang sebagai Muslim, sebagaimana ditegaskan cendekiawan Muhammadiyah Zuly Qodir (2007) “…tidak berarti menghilangkan identitas keislaman ketika bergaul dan bertgur sapa dengan orang yang beragam agama” (h. 449).

Sikap Inklusif: Teladan KH Ahmad Dahlan

KH Ahmad Dahlan sendiri memiliki sikap yang inklusif dan menghargai  kebhinnekaan kelompok agama di mana beliau tidak sungkan datang ke gereja untuk berdialog dengan pendeta Kristen maupun Katolik dan juga aktif di organisasi sekuler Budi Utomo. Sikap KH. Ahmad Dahlan seperti itu di tunjukkan pada Muhammadiyah awal. Pada saat itu sikap inklusif dan toleran dari KH Ahmad Dahlan tidak menimbulkan kontroversi. Bahkan sikap ini tidak hanya ditujukan pada kebhinnekaan agama, namun juga pada kebhinnekaan ideologi politik, sebagaimana ia tunjukkan ketika mempersilahkan pimpinan Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) untuk menyampaikan gagasan sosialisme dalam forum yang diselenggarakan oleh Aisyiyah.

Baca Juga  Kontribusi Muhammadiyah: Peletak Dasar Budaya Bangsa

Sementara kerukunan sendiri mengandung makna hidup berdampingan dengan damai, dengan kata lain hidup bersama dalam masyarakat dengan kebulatan hati dan memegang teguh kesepakatan untuk tidak membuat perselisihan dan perseteruan. Sebagai sebuah prinsip, kerukunan adalah sesuatu yang ideal. Namun melihat kenyataan yang ada, umat manusia tidak pernah lepas dari perselisihan, pertengkaran, perseteruan, bahkan perang. 

Mulai dari perseteruan antara Qabil dan Habil yang berakhir dengan terbunuhnya Habil, peperangan antara Israel dan Palestina, hingga perseteruan antara Korea Utara dan Korea Selatan yang lebih banyak didominasi oleh persaingan memperebutkan kekuasaan dan wilayah atau perseteruan politik-ideologis. Namun, terlepas dari hasrat “saling melenyapkan” karena persaingan dan perselisihan, manusia juga ditakdirkan sebagai makhluk sosial yang membutuhkan kehadiran pihak atau orang lain, baik untuk memenuhi kebutuhan material maupun spiritualnya. Islam, dalam hal ini, mengajak manusia untuk saling bekerja sama dan tolong menolong (ta’awun) dalam kebaikan.

Dalam hidup bermasyarakat dan interaksi sosial (hablun min an-nass), umat Islam dapat berinteraksi dengan siapa saja tanpa mempersoalkan suku, bangsa dan agama. Ini dimanifestasikan selain dalam bentuk kerjasama intern umat beragama yang lintas suku dan bangsa, juga kerjasama antar umat beragama dan peradaban terutama antara Islam dan Barat.

Editor: Azaki K
Alpha Amirrachman
4 posts

About author
Wakil Ketua Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional Majelis Ulama Indonesia dan alumni PPRA LX Lemhannas RI
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds