Banyak yang mengira bahwa pergulatan antara kaum muslim awal dengan kafir Quraisy adalah semata tentang penegakan keyakinan bahwa Tuhan itu ada. Seolah-olah masyarakat Arab pra-Islam adalah masyarakat dungu yang tidak dapat menangkap hal paling nyata: bahwa alam semesta ini pasti ada yang menciptakan. Mustahil masyarakat yang sudah maju dalam sastra dan perdagangan itu lantas menerima jika segala tatanan yang indah lagi rumit ini terjadi begitu saja.
Muhsin Labib, seorang filsuf muslim Sadrian, mengkritik keyakinan umum itu. Ia memahami bahwa bagi masyarakat Arab pra-Islam, Tuhan bukan sesuatu yang asing. Mereka bukan seperti masyarakat kini yang karena saintisme akut lantas menganggap Tuhan itu hanya ilusi. Tegasnya, masyarakat Arab itu belum mengidap suatu ateisme kronis modern yang menyatakan penegasian atas segala nilai dari Tuhan.
Artinya, ada problem hermeneutis dalam pembacaan atas sejarah Islam. Bahwa kondisi kemasyarakatan hari ini dijadikan sebagai kacamata dalam melihat masa lalu. Bah, suatu keliru yang amat besar! Tafsir sejarah yang benar harus dipugar agar pengertian kita atas iman kepada Allah atau tauhid itu tidak mengarah kepada makna-makna menyimpang atau kerdil.
Bahaya paling puncak menurut Muhsin adalah kemudian muslim mengabaikan misi terpenting yang terkandung dalam sejarah kemunculan agama Islam. Misi itu tidak lain adalah menyatakan bahwa Tuhan merupakan satu-satunya otoritas yang berhak mengatur manusia dan seisi alam semesta.
Islam dan Otoritas Tuhan
Muhsin Labib mengutip Al Ankabut Ayat 61 yang artinya,” Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi dan menundukkan matahari dan bulan?” Tentu mereka akan menjawab: “Allah”, maka betapakah mereka (dapat) dipalingkan (dari jalan yang benar).”
Melalui ayat itu, Muhsin menunjukkan bahwa masyarakat Arab pra-Islam sekalipun tahu bahwa ada Dzat yang menciptakan segalanya. Bahkan hingga sekarang pun, entah dengan nama God, Sang Hyang, dan sebagainya, semua orang pasti bersepakat mengenai hadirnya sesuatu yang menjadi sumber asal-mula segala hal.
Maka dari itu, sesungguhnya sejarah awal Islam bukan sekedar dakwah tentang Allah sebagai Tuhan atau sang pencipta. Jika demikian, maka tugas Rasul sudah tuntas sedari awalnya. Bahwa mengajak orang-orang Arab jahiliyah menyadari adanya Tuhan merupakan hal yang sia-sia. Toh mereka memang meyakini hal yang serupa.
Pemahaman yang tepat menurut Muhsin, bahwa semua Nabi dan Rasul diperangi musuh-musuhnya karena mereka mendakwahkan monoteisme yang sejati. Monoteisme ini tidak hanya menyatakan bahwa Tuhan itu ada dan satu, melainkan bahwa Tuhan adalah Sang Tuan. Dialah yang patut disembah karena ia mengatur semua sistem.
Dengan memahami ‘Tuhan sebagai Tuan’ maka monoteisme atau tauhid akan menjelma menjadi suatu sikap hidup, suatu pandangan, paradigma atau sistem nilai yang harus diresapi. Dus, monoteisme menciptakan kesadaran bahwa seseorang terikat pada tata-aturan. Disinilah kemudian terang bahwa Tuhan ialah sang otoritas.
Konsekuensi dari pengakuan atas suatu otoritas ialah kepatuhan. Sebabnya, relasi antara otoritas dan kepatuhan adalah niscaya. Bahwa sesuatu tidak dianggap otoritas jika tidak dipatuhi. Pun suatu tindakan bukanlah kepatuhan jika tidak diarahkan kepada otoritas. Keduanya eksis bersama-sama di realitas.
Kepatuhan dan Tuhan sebagai Tujuan
Namun Muhsin sadar bahwa kepatuhan adalah pilihan. Artinya, kepatuhan adalah tingkat tertinggi dari kesadaran atas otoritas Tuhan. Seseorang yang patuh tidak lagi melakukan sesuatu karena suka. Melainkan, ia memahami bahwa melakukan perintah-Nya merupakan konsekuensi logis dari penerimaan atas otoritas Tuhan.
Mereka yang patuh tidak lagi berharap-harap cemas. Tidak karena surga yang kelak diberi atau hukuman neraka jika mereka melanggar instruksi. Mereka secara otomatis melaksanakan tanpa berpikir panjang akan konsekuensi yang bakal mereka dapatkan.
Ini bukan berarti mereka menolak adanya surga dan neraka. Akan tetapi, keberimanan mereka telah sampai kepada suatu penghayatan bahwa akal mengetahui, menerima dan melakukan. Mereka bukan lagi selayaknya anak-anak yang bekerja hanya jika diberi iming-iming.
Meyakini otoritas Tuhan dengan kata lain menjadikan Tuhan sebagai tujuan. Bekerja, belajar, berkeluarga semuanya merupakan bentuk kepatuhan kita kepada Tuhan. Konsekuensinya, pekerjaan, ilmu pengetahuan dan keluarga hanyalah perantara, bukan tujuan itu sendiri.
Menyadari bahwa mereka bukan tujuan akan melapangkan jiwa. Tidak lagi ada kecewa ketika pekerjaan, guru atau keluarga tidak memberi apresiasi yang sepadan atas kerja keras kita. Sebabnya, kita sadar bahwa tujuan kita adalah sang otoritas atau Tuhan, bukan mereka yang sama-sama makhluk atau ciptaan belaka.
Kesimpulan
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, bagi Muhsin Labib tauhid atau monoteisme yang benar harusnya berimplikasi kepada tujuan kehidupan secara umum dan tujuan-tujuan tindakan kita yang bersifat khusus. Tauhid ini menyadari bila Tuhan bukan hanya sebagai satu-satunya pemilik eksistensi sejati dan locus eksistensi segalanya, melainkan juga Tuhan sebagai satu-satunya otoritas atau muara hidup dan tindakan.
Editor: Rivan