Bukan Indonesia namanya jika para pemangku kebijakannya tidak pernah melakukan sesuatu yang terkadang membuat warganya terheran-heran. Baru-baru ini, Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Sultan Bachtiar Najamudin melontarkan sebuah statement yang cukup menggelitik terkait dengan program makan bergizi gratis (MBG).
Dalam sebuah wawancara, ia menyebutkan kepada awak media terkait dengan sumbangan dana dari masyarakat. Instrumen zakat yang menurutnya perlu dilibatkan untuk menyukseskan program tersebut.
Sebagaimana dalam teori soal kedaulatan negara (Sovereignty Theory) yang disebutkan oleh Thomas Hobbes, bahwa negara harus menjamin keamanan dan kesejahteraan warganya sebagai bagian dari kontrak sosial.
Dengan melihat prinsip tersebut, tentunya setiap pemerintahan mungkin saja akan melakukan cara apapun untuk melaksanakan programnya tersebut. Termasuk tanpa memperdulikan kondisi rakyatnya. Hal tersebut yang juga telah digambarkan oleh James Scott dalam bukunya “Seeing Like a State: How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed”.
Selain soal pemerasan berlebih yang dianggap oleh masyarakat sebagai usaha pemerintah dalam mewujudkan programnya tersebut. Yang menarik untuk dibahas ialah perihal pelibatan zakat dalam mewujudkan program tersebut. Karena dalam pandangan masyarakat umum–khususnya muslim di negeri ini–secara familiar menganggap bahwa distribusi zakat hanya diperuntukkan bagi delapan golongan saja. Sebagaimana yang telah termaktub dalam Al-Qur’an.
Lantas, apakah dalam konteks kenegaraan sebenarnya zakat dapat dialokasikan untuk menunjang program suatu pemerintah negara seperti makan bergizi gratis?
Distibusi Zakat dalam Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat
Ekonomi Islam, dalam ruang wacana di negeri ini memang telah mendapatkan panggungnya sejak pertengahan abad ke-20 lalu. Tokoh-tokoh seperti Moh Hatta, Sjafruddin Prawinegara, Ahmad Azhar Basyir, hingga M Dawam Rahardjo, telah turut mengisi dan meramaikan diskursus-diskursus seputar ekonomi Islam dalam konteks keindonesiaan.
Hasil kerja-kerja intelektual dari para cendekiawan tersebut dilatarbelakangi dari adanya kegersangan berpikir umat Islam pada zaman tersebut, khususnya ketika berbicara soal ilmu terapan seperti ekonomi.
Gagasan-gagasan perihal ekonomi Islam yang diintegrasikan dengan konsep sosial dan kemasyarakatan bangsa ini telah keluar dari rahim beberapa sosok yang telah disebutkan di atas. Begitu juga perihal zakat. Sebagai instrumen yang memiliki spirit kemanusiaan.
Zakat menjadi ciri dari keilmuan ekonomi Islam yang turut masuk dalam arena diskursus para intelektual muslim. Terutama menyoal tentang kesejahteraan masyarakat. Begitu kira-kira yang disebut oleh Dawam Rahardjo dalam buku, “Islam dan Transformasi Budaya”.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, bahwa zakat harus dijadikan bagian dari kebijakan negara dalam menciptakan sistem sosial yang adil dan merata. Menurutnya, zakat juga tidak hanya berfungsi untuk membantu individu yang membutuhkan, tetapi juga untuk mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi di tingkat makro.
Kemudian, dalam pandangan Nejatullah Siddiqi–ekonom muslim asal India, dalam bukunya “Role of the State in the Economy”, menyebut bahwa zakat adalah bagian integral dari sistem keuangan publik Islam. Negara memainkan peran sentral dalam memastikan distribusi zakat yang efisien dan efektif untuk mengurangi kemiskinan. Baginya, zakat harus dimaknai secara lebih luas, yang pendistribusiannya digunakan untuk menghapuskan kesenjangan ekonomi dan memberikan perlindungan sosial kepada yang lemah.
Dari sini lah kita melihat, bahwa zakat dalam ekonomi Islam sejatinya memegang peranan penting dalam mata rantai distribusi pendapatan dan kekayaan, serta berpengaruh pada tingkah laku dan pola konsumsi masyarakat. Karena secara sosiologis, menurut Muflih Saefuddin, perintah zakat merupakan refleksi sikap empati (kepedulian terhadap sesama dan sangat kental dimensi kemanusiaannya).
Zakat Menunjang Makan Bergizi Gratis
Terlepas dari pro-kontranya, program makan bergizi gratis jika dilihat dari sudut pandang konsep welfare state yang pernah penulis geluti dalam mata kuliah Hukum Tata Negara, merupakan salah satu bentuk upaya yang dilakukan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya sebagai penjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Kesejahteraan yang dimaksud dalam konteks program tersebut lebih mengerucut pada aspek kesehatan; yakni pencegahan stunting pada anak-anak dan ibu hamil yang cenderung disebabkan karena faktor kurangnya asupan gizi yang baik. Secara tujuannya, zakat dalam hal ini seharusnya juga bisa memainkan peran dalam menyukseskan program tersebut.
Namun, dari segi sasaran keduanya–zakat dan makan bergizi gratis –memiliki sasaran yang agak berbeda. Jika pendistribusian zakat dalam teks al-Quran disasarkan pada delapan golongan saja (mustadh’afin). Maka, dalam makan bergizi gratis sasarannya tidak memandang mampu atau tidak dari sasaran pendistribusiannya. Tidak memandang apakah ia merupakan orang yang secara finansial kurang mampu atau tidak.
Secara umum, stunting disebabkan oleh beberapa hal, seperti asupan gizi baik yang kurang, sanitasi yang buruk, kurangnya akses air bersih, kesehatan lingkungan yang buruk, terbatasnya layanan kesehatan, dan lain-lainnya. Faktor-faktor tersebut oleh Amin Abdullah lebih cenderung melekat pada masyarakat yang kurang mampu. Beliau menyebutkan bahwa hal tersebut dipicu karena faktor ketidaksetaraan sosial dan ekonomi.
Dari sini lah bisa penulis katakan bahwa zakat bisa menjadi penyokong program makan bergizi gratis jika sasaran pada program tersebut lebih spesifik dikerucutkan pada mereka yang membutuhkan. Karena secara rasional mereka yang mampu akan lebih bisa untuk mendukung kesehatan diri dan keluarganya. Dibandingkan mereka yang kurang mampu. Mereka yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai kaum mustadh’afin tersebut dilatarbelakangi oleh kondisi ekonomi yang menghantuinya.
Lembaga Zakat dan Program Makan Bergizi Gratis
Pernyataan Ketua DPD RI tentang pengalokasian zakat untuk mendukung program makan bergizi gratis memang tidak bisa dibenarkan sepenuhnya. Kendati demikian, jika negara ini mau serius, pemanfaatan instrumennya. Sebagai upaya pencegahan stunting sebenarnya sudah ada dalam program milik lembaga zakat nasional ataupun swasta. Seperti Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), dan Dompet Dhuafa.
Lembaga BAZNAS misalnya, mereka memiliki program bernama Zakat Community Development (ZCD), yang berfokus pada pemberdayaan masyarakat miskin. Termasuk intervensi gizi untuk mencegah stunting. Ditinjau berdasarkan tujuannya pun baik program makan bergizi gratis ataupun BAZNAS memiliki keselarasan. Tinggal pemaksimalan akan program tersebut yang perlu untuk digalakkan. Agar wajah Islam bisa terlihat serius dalam memainkan perannya untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat di negeri ini.
Tanpa turut harus masuk dalam mekanisme program makan bergizi gratis. Seharusnya lembaga-lembaga zakat di Indonesia bisa memaksimalkan pendistribusian zakat tersebut kepada pihak-pihak yang membutuhkan dengan turut melihat aspek jangka panjangnya.
Dengan pengelolaan yang sudah terlembagakan. Menurut Fazlur Rahman, sudah semestinya dan sudah saatnya pendistribusian zakat melalui institusi yang ada bukan lagi sekadar bantuan sosial semata. Melainkan, bergerak sebagai alat transformasi sosial pada masyarakat.
Sehingga dalam hal ini ummat Islam bisa menunjukan keterlibatannya dalam menjawab masalah-masalah sosial di negeri ini dengan basis keilmuan yang diaplikasikan dengan spirit kebersamaan dan kolektifitas.
Editor: Assalimi
ngeri banget banyak referensi nya jadi