Secara bahasa, Lailatul Qadar dapat diartikan sebagai malam ketetapan. Secara umum, umat Muslim meyakini bahwa Lailatul Qadar adalah malam kemuliaan dimana amal manusia dinilai setara dengan seribu bulan (khairu min alfi syahrin). Sederhananya, amal kebajikan manusia yang dilakukan pada malam yang bertepatan dengan Lailatul Qadar, walaupun kebajikan itu dilakukan sesaat, nilai pahalanya akan mendapat ganjaran seperti halnya selama seribu bulan.
Lailatul Qadar Terjadi Siang Hari?
Pertanyaannya kemudian mungkinkah Lailatul Qadar itu terjadi di waktu siang hari? Secara sederhana tentu tidak bisa, sebab al-Qur’an menamakan peristiwa tersebut sebagai malam (lailān) bukan siang (naharan). Namun penting kiranya dipahami beberapa hal sebagai berikut;
Pertama, jika bumi dimaknai sebagai sebuah benda bulat seperti lingkaran dan titik tengahnya berada di Greenwhich Mean Time (GMT) London, Inggris, maka belahan waktu di muka bumi ini akan terbagi menjadi beberapa bagian. Indonesia (baca: Jakarta) misalnya, karena lokasinya berada pada belahan bumi bagian timur, maka Indonesia akan lebih dulu mendapati pagi dibandingkan dengan Timur Tengah (Middle East). Sebaliknya, jika dibandingkan dengan Canada maka perbandingan waktu itu berbalik selama 11 jam. Jika di Indonesia siang hari, maka Canada berada dalam posisi waktu malam dan begitu pula sebaliknya.
Untuk mempermudah logika tersebut, dapatlah diamati dan dibandingkan antara Indonesia dan Saudi Arabia dengan perbandingan waktu selama kurang lebih 4 Jam. Jika di Indonesia—dengan menggunakan ukuran waktu Jakarta—pukul 10.00 WIB maka di Saudi Arabia 06.00, begitu pula pada waktu-waktu belahan bumi yang lain.
Kedua, apakah kata “lail”dalam al-Qur’an selalu dimaknai sebagai malam secara mutlak? Sebab dalam beberapa ayat al-Qur’an, kata “lail” juga digunakan untuk menggambarkan kegelapan dan kesulitan, yang menunjukkan keadaan yang terjadi pada malam hari atau situasi yang gelap dan tidak jelas.
Misalnya, dalam Surah Al-Baqarah ayat 274, Allah berfirman: “Orang-orang yang bersedekah pada siang dan pada malam hari, secara sembunyi-sembunyi dan secara terang-terangan, akan mendapat ganjaran dari Tuhan mereka.” Dalam ayat ini, kata “Lail” digunakan untuk merujuk pada waktu di malam hari dan juga pada waktu yang tidak jelas atau tidak diketahui.
Pendekatan Logical Positivism dalam Memaknai Lailatul Qadar
Dalam surat al-qadr ayat ke-4 disebutkan bahwa pada saat terjadi peristiwa Lailatul Qadar, para malaikat turun bersama dengan ruh—yang umumnya dimaknai sebagai Jibril (Shihab, 2002: 429)—dengan izin Tuhan untuk mengurusi segala urusan manusia. Quraish Shihab menyebut kata tanazzalu awalnya terambil dari kata tatanazzalu yang dihapus “tā’” pada kata depannya, memberikan isyarat proses turunnya tersebut secara tersembunyi dan samar (Shihab, 2002: 429).
Disebabkan karena proses turunnya yang samar dan tidak diketahui secara benar dan pasti. Maka para cendekiawan Muslim yang berpandangan rasionalis mencoba menelaah dengan pendekatan logical positivism untuk memahaminya. Melalui pendekatan tersebut maka muncullah premis-premis seperti berikut;
Jika keberadaan Lailatul Qadar ditandai dengan turunnya malaikat, maka proses turunnya itu secara sekaligus atau berangsur-angsur? Apakah kedamaian (salām) yang terjadi pada malam itu hanya berlaku untuk satu Negara/wilayah atau untuk seluruh alam?
Kembali kepada pokok bahasan belahan waktu di awal, jawaban atas premis di atas akan memunculkan pandangan yang beragam. Sekiranya Lailatul Qadar terjadi dan turun di Arab Saudi pada pukul 03.00 pagi. Bukankah waktu di Indonesia pada saat itu pukul 07.00 WIB? Bagaimana jika Lailatul Qadar turun di Indonesia, bukanlah waktu yang ada di Canada adalah waktu siang hari? Apakah hal demikian menjadikan Lailatul Qadar dapat terjadi di siang hari. Tentu dengan menggunakan pendekatan logical-positivistic tidak mudah menjawab itu semua.
Memahami Malam secara Kebahasaan
Nasaruddin Umar, Guru Besar Ilmu al-Qur’an UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, berusaha memahami kosa kata “malam” dengan pelbagai pendekatan. Secara bahasa (lughawi), malam diartikan sebagai tenggelamnya matahari dan menyinsingnya kegelapan. Jadi waktu malam diartikan ketika matahari tenggelam dan dunia semakin gelap. Malam di sini merupakan lawan dari waktu di siang hari.
Adapun menurut makna majazi, malam (Arab; lail) dapat diartikan sebagai “keindahan”. Hal ini misalnya dalam sebuah syair Arab yang sering diungkapkan oleh pengantin yaitu “Yā Laila thūlan yā subkhi qif”, wahai malam/keindahan perpanjanglah dan subuh berhentilah. Malam di sini memiliki makna kesyahduan dan keindahan.
Selain kedua pendekatan lughawi dan majazi terhadapterm “malam” di atas, “malam” juga dapat difahami dalam pendekatan sufistik. Dalam istilah sufistik, “malam” diartikan sebagai “kedamaian” dan “kekhusyu’an”. Hal ini misalnya dilihat dalam ungkapan Imam Syafi’i “Man Thalaba al-ūla Sahira al-Layāli”, siapa yang hendak mendapatkan kemulyaan Tuhannya, maka hendaknya memperpanjang malamnya/kekhusyu’annya dalam menghadap Ilahi.
Jika malam dalam al-Qur’an tidak seluruhnya bermakna harfiah sebagai lawan dari waktu disiang hari. Lantas dapatkah malam dimaknai secara sufistik dalam peristiwa Lailatul Qadar? Tentu di sini akan memunculkan perbedaan pandangan di kalangan ulama.
Jika malam pada Lailatul Qadar diartikan dalam pemaknaan sufistik, maka dapat dimaknai bahwa kedamaian (salām) dalam surat al-Qadr akan turun kepada mereka yang memiliki “kekhusyu’an” kepada Tuhannya. Sebaliknya, kekhusyu’an tidak harus di waktu malam, namun dapat juga siang hari—walaupun secara umum kedamaian dan kekhusyu’an terjadi di malam hari seperti waktu di sepertiga malam.
Pemaknaan malam yang demikian dapat mempertemukan pelbagai pandangan logical-positivism soal belahan waktu bumi yang bermacam-macam. Sebab, yang terpenting adalah hati yang khusyu’, bukan pada malam yang gelapnya. Wallahu A’lam bi Shawāb. Tabik.
Editor: Soleh