Perspektif

Mungkinkah Rahmatan lil Alamin tanpa Rahmatan lil Muslimin?

4 Mins read

Rasulullah sedang bersama para sahabat. Tiba-tiba, seorang Yahudi bernama Zaid bin Sihnah nyelonong masuk tanpa salam, “Muhammad, mana pembayaran utangmu?” hardik Yahudi itu kepada Rasulullah. “Kalian Bani Hasyim memang sudah dikenal kalau bayar utang selalu molor.”

Para sahabat mengangkat muka. Sahabat yang paling gusar tentu Umar bin Khaththab. Duduk di sebelah Nabi, Umar bergegas bangkit dan menghunus pedang, “Izinkan saya memenggal leher orang yang sudah berani kurang ajar kepada Baginda Rasulullah ini. kata Umar tegas.

Tapi sang Baginda bermuka manis, “Bukan itu yang diperlukan, wahai Umar. tutur beliau lembut. “Ajarkan kepada orang ini akhlak yang baik dalam menagih, dan kepadaku agar juga cepat kalau membayar utang.”

Bukan marah, Nabi justru menampakkan keteduhan sikap. Semua yang hadir saat itu tercengang, dan kagum melihat sikap Nabi yang benar-benar di luar dugaan mereka.

Tiba-tiba Zaid memecah keheningan, “Demi Allah!” tutur penagih utang itu dengan suara gemetar. Saya tidak lupa bahwa waktu membayar utang memang belum tiba.”

Suasana masih hening. Zaid, penagih utang itu, kemudian melanjutkan, “Sengaja saya tagih lebih cepat, dengan cara yang kasar pula. Saya ingin menguji dan membuktikan apakah Muhammad benar-benar Nabi seperti yang dikabarkan Taurat. Segala sifat beliau di kitab suci kami telah saya pelajari dan buktikan, kecuali satu yang belum.”

Semua menyimak, dan Zaid menggenapkan kalimat, “Yaitu bahwa Muhammad ini bijaksana ketika marah. Hari ini telah saya buktikan, dan saya puas sekali.”

Kemudian, di hadapan Nabi dan para sahabat, Zaid bin Sihnah, rabi Yahudi itu, langsung luruh dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Zaid bin Sihnah memeluk Islam, bukan karena ceramah atau khotbah, melainkan kelembutan akhlak Rasulullah. Subhanallah, begitulah akhlak pribadi junjungan kita, sosok pedoman umat rahmatan lil alamin.

Baca Juga  Gus Hayid: Belajar Toleransi Untuk Dunia yang Lebih Damai

Teknik Dakwah Ulama Rahmatan lil Alamin

Kisah di atas mengingatkan penulis tentang cerita lain di zaman kekinian.

Puluhan tahun silam, di sebuah masjid di Jakarta. Seorang ulama hendak mengimami salat tarawih. “Bapak-Bapak sekalian, biasanya di sini tarawihnya berapa rakaat?” tanya ulama bersangkutan sebelum memulai salat.

“Dua puluh tiga rakaat, Pak Haji. jemaah menjawab hampir serentak.

“Baiklah. timpal sang ulama. “Hanya saja, salat ini adalah komunikasi dengan Allah. Kita sedang berdialog dengan Sang Maha Segala. Karena itu, nanti kita harus khusyuk dan meresapi. Bukan kilat. Bacaan kita juga tidak boleh tergesa-gesa. Gimana, apakah Bapak-Bapak setuju?”

Mendengar jawaban persetujuan jemaah, segera sang ulama mengangkat takbir. Bacaan demi bacaan dilantunkan secara tartil. Doanya tidak cepat seperti biasa. Rakaat demi rakaat ditunaikan. Genaplah 23 rakaat. Benar-benar salat tarawih kali ini cukup lama. Jemaah sampai meruntus.

Selesai salat tarawih, jemaah mengadu, “Kalau begini, besok 11 rakaat saja, Pak Haji. Tidak usah 23 rakaat.”

Sejak malam itu, sang ulama berhasil mengubah tarawih 23 rakaat menjadi 11 rakaat. Tanpa perdebatan. Bahkan, perubahan jumlah rakaat justru diusulkan para jemaah sendiri.

Anda tahu siapa ulama yang dimaksud? Dialah Buya Hamka, sosok ulama rahmatan lil alamin. Kisah di atas dituturkan Afif Hamka, putra kesembilan Buya Hamka, dalam Seminar Pemikiran Buya Hamka yang pernah diadakan di International Islamic University Malaysia.

Buya Hamka, Sosok Rahmatan lil Alamin

Hamka (1908-1981) adalah salah satu ulama Muhammadiyah yang namanya kondang hingga ke mancanegara. Dalam kelas PhD di kampus IIUM, misalnya, pemikiran dan karya Hamka dikaji dan dipelajari.

Buya kelahiran Sumatra Barat ini memang ulama sekaligus penulis dan sastrawan terkemuka. Ilmunya luas lagi mendalam. Buku-buku karyanya, hingga kini, diminati tidak hanya di dalam negeri. Belum banyak tokoh Indonesia yang menyamai Hamka.

Baca Juga  Islam: Rahmatan lil 'Alamin, bukan lil Mu'minin

Ciri pemikiran Hamka, menurut M. Amin Abdullah, ialah toleran, moderat, inklusif, dan baik sangka. Karena, di samping sudah bersentuhan dengan banyak tokoh hebat di Yogyakarta sejak berumur 17 tahun, Hamka merupakan sosok pembelajar sejati.

Bahan bacaannya multi, bukan mono. Itulah yang bikin cakrawala pandangan Ketua MUI pertama ini terbuka. Belum lagi ditambah kekayaan pengalaman dan pengamalan. Yang sumbu pendek biasanya karena kurang wawasan minus pengalaman dan pengamalan.

Dalam konteks Muhammadiyah, dakwah Islam rahmatan lil alamin secara lembut dan menyentuh hati semacam itu penting terus dikemukakan. Konon, belakangan kita sedang diuji dengan munculnya sekelompok orang yang menyangka bahwa Allah tidak menurunkan petunjuk kecuali kepada mereka.

Terjadi fenomena salah hijrah. Dalam artian, sebelum hijrah, mereka kerap meratapi dosa dan kesalahan sendiri, begitu sudah hijrah, mereka justru sibuk mengintai dan menghakimi orang lain dengan menyebutnya penuh dosa, ahli bidah, pelaku syubhat, sesat jalan, dan semisalnya.

Kenapa muncul sikap arogan dalam beragama? Ekstremitas semacam itu barangkali lahir akibat pemahaman terhadap ajaran agama secara tidak utuh. Ibarat orang belajar Aritmatika, ketika baru tahu penambahan, begitu ditanya bilangan berapa yang jika dioperasikan akan ketemu hasil 10, pasti akan ngotot menyodorkan dua angka yang lebih kecil dari 10, seperti 5 + 5 atau 8 + 2.

Berbeda sekali dengan orang yang, selain penambahan, sudah mengenal pengurangan, perkalian, pembagian. Jawaban yang diajukan untuk pertanyaan “bilangan berapa yang jika dioperasikan akan ketemu hasil 10” tentu lebih banyak pilihan.

Aspek Penting dalam Beragama yang Patut Diperhatikan

Syarat pertama untuk beragama adalah pikiran yang benar. Al-Quran, Hadis, dan seterusnya itu bahan-bahan untuk mencari dan mendapatkan petunjuk dari Allah. Namun demikian, yang pertama tetap bagaimana mendayagunakan pikiran. Al-Quran dan Hadis tidak akan mampu mencapai hakikat suatu peristiwa manakala kita tanggalkan pikiran dalam mencari kebenaran, mengolah informasi, dan memahami relasi-relasi.

Baca Juga  Kemenlu: Jadikan Indonesia Sebagai Contoh Penerapan Islam Rahmatan lil Alamin

Bahkan, kunci kesehatan adalah juga berpikir secara benar. Pikiran yang salah-salah membuat disorganisasi otak. Perintah yang datang dari otak ke organ-organ tubuh lain, seperti saraf, jantung, ginjal, dan lainnya akan kacau, kemudian menimbulkan sakit-sakit. Karena itu, harus terus kita usahakan untuk berpikir yang benar dalam segala urusan, kendati kita belum mampu untuk mewujudkan kebenaran itu.

Ilmu pengetahuan juga tidak langsung dapat ditemukan di lembaran-lembaran Kitab Suci, kendati kita kerap terinspirasi darinya. Untuk mencapai puncak-puncak hikmah, kita harus menyingsingkan lengan baju untuk kembali bekerja keras di laboratorium dan observasi jagat semesta raya. Dan, tentu saja itu mensyaratkan pikiran yang benar dan waras.

Bagaimana mungkin ‘rahmatan lil alamin’ kalau ‘rahmatan lil muslimin’ saja sering gagal kita praktikkan? Muhammadiyah, sekali lagi, harus mengemas dakwah, terutama di era digital yang serba bebas ini, secara ramah, halus, sejuk, dan menyentuh hati. Bukan dakwah yang sangar dan menakutkan. Kerap orang tertarik pada sesuatu karena cara penyajiaanya yang baik dan sopan.

Beragama harus membentuk manusia menjadi lebih baik. Islam bukan sebatas seberapa pintar dalam penafsiran, tetapi tadabur Al-Quran. Tafsir, kata Emha Ainun Nadjib, adalah pengaruh Barat, karena yang unggul adalah yang paling pintar. Tadabur tidak begitu. Output dari tadabur haruslah seberapa manfaat kita untuk umat manusia setelah bergaul dengan Al-Quran.

Editor: Shidqi Mukhtasor
Avatar
11 posts

About author
Kandidat Doktor di International Islamic University Malaysia (IIUM), anggota Pimpinan Cabang Istimewa Muhammadiyah (PCIM) Malaysia
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds