Perspektif

Al-Qur’an adalah Wahyu Allah: Tanggapan atas Tulisan Mun’im Sirry

4 Mins read

Dalam tulisan Mun’im Sirry berjudul Al-Qur’an: Kalam Allah dan Perkataan Nabi, sebenarnya fokus membicarakan tentang pengkategorian wahyu Allah di sisi manusia dan yang azali (Al-Qur’an Transenden). Pengkategorian ini memunculkan satu pernyataan yang cukup membingungkan dan seperti ambigu yaitu Al-Qur’an sebagai kalam Allah 100% dan perkataan nabi 100%.

Jika dikatakan kalam Allah 100%, maka seharusnya meskipun diucapkan nabi, tetap merupakan wahyu Allah. Lalu apa artinya perkataan nabi 100%?

Frasa “perkataan nabi 100%” mengandung konotasi bahwa nabi memiliki andil atau terlibat dalam penyusunan Al-Qur’an, lebih dari sekedar sebagai penerima wahyu. Sebagaimana argumen beliau bahwa nabi menerjemahkan atau menafsirkan “Al-Qur’an transenden” menjadi lafaz-lafaznya sendiri (Nabi). Sehingga Al-Qur’an yang sampai ke kita terkesan hanya sebagai hasil penafsiran nabi atas apa yang disebut sebagai kalam Allah.

Di bawah ini, saya kutipkan ungkapan Mun’im Sirry.

Pertanyaan yang tersisa, siapa yang menjelaskan atau menguraikan kitab transenden? Hanya ada dua opsi: (1) “Utusan” yang dikirim Tuhan untuk menyampaikannya kepada Nabi, atau (2) Nabi sendiri. Dua opsi itu dianut oleh sebagian ulama-ulama klasik sebagaimana diriwayatkan oleh Zarkasyi dan Suyuti. Hemat saya, opsi pertama dengan sendiri runtuh karena adanya ayat-ayat yang menyebutkan bahwa “utusan Tuhan” itu menyampaikannya ke dalam hati Nabi. Artinya, yang disampaikan adalah wahyu yang non-verbal, sebagaimana sudah dijelaskan di atas. Argumen lain kenapa opsi pertama tidak dapat dipertahankan adalah karena dalam banyak sekali ayat Tuhan mewahyukan kalam-Nya (awha) langsung kepada Nabi, tanpa perantaraan. Dengan demikian, opsi yang tersisa ialah Nabi-lah yang menguraikan wahyu non-verbal dengan lafaz-lafaznya sendiri.


***

Persoalan ini sebenarnya sederhana saja. Sebab hanya berkisar pada pemahaman tentang wahyu, saat di sisi Allah, malaikat Jibril sebagai perantara dan Nabi Muhammad sebagai penerima. Dari ketiga posisi wahyu yang dapat terjangkau oleh akal, adalah saat sudah dalam bentuk lafaz atau huruf-huruf yang dapat dibaca, sebagaimana Al-Qur’an yang kita kenal. Untuk menguraikan hal ini sekaligus sebagai tanggapan, saya bagi dalam dua bagian.

Baca Juga  Tak Hanya di Medsos, Kini Paham Radikalisme Juga Mengincar Pendidikan Kita

Pertama, membahas tentang proses pewahyuan dan dan kedudukannya saat dalam bentuk lafaz. Bagian kedua berkaitan wahyu berdasarkan tanda-tanda kebenarannya.

Memahami Proses Pewahyuan berdasarkan Transfer Data Modern

Problem pewahyuan yang dibahas oleh Mun’im Sirry dalam tulisannya, sebenarnya dapat diatasi dengan meminjam pemahaman mengenai proses transmisi/transfer data dari user ke server atau sebaliknya.

Ketika kita menyimpan sebuah dokumen ke dalam hardisk komputer atau server dalam suatu jaringan komputer, sebenarnya melalui proses yang cukup rumit, karena yang tersimpan bukanlah huruf apalagi kata.

Huruf-huruf dalam dokumen yang terbaca, dikonversikan ke dalam bilangan hexadecimal. Kemudian, diurai lagi ke dalam bilangan biner (0 atau 1). Dan yang benar-benar tersimpan di pusat penyimpanan (misalnya hardisk) adalah dalam bentuk biner, bukan huruf.

Demikian juga ketika kita mengakses data dari server. Pertama mengambil data dalam bentuk biner, lalu dikonversi ke bilangan hexadesimal terakhir diterjemahkan ke dalam huruf, angka, atau tanda baca sebagaimana yang bisa dimengerti oleh pengguna.

Jadi, dokumen di sisi pengguna adalah deretan huruf yang membentuk kata dan kalimat. Sedangkan di sisi perantara berbentuk bilangan hexadesimal dan di sisi penyimpan bentuknya biner. Selama tidak ada cacat dalam transfer data yang menyebabkan distorsi, maka bentuk biner di hardisk, hexademial pada perantara, dan huruf di sisi manusia, tidak ada bedanya.

Demikian juga dengan Al-Qur’an. Saat di sisi Allah, kita tidak tahu bentuknya seperti apa, dan yang dibawa oleh malaikat jibril. Tetapi yang jelas, Al-Qur’an yang disampaikan oleh Nabi Muhammad dalam bentuk ucapan/lafaz-lafaz itulah wahyu Allah/kalam Allah di sisi manusia dan untuk manusia.

Kita tidak perlu memperdebatkan seperti apa bentuk aslinya, karena memang tidak terjangkau oleh akal kita.

Baca Juga  Amerika dalam Pusaran Konflik Israel-Palestina

Seperti operator komputer saat mengakses data, tidak perlu tahu seperti apa bentuk binernya, tetapi dokumen yang dapat dibaca dan dipahami itulah yang penting. Demikian juga wahyu Allah untuk lebah, tentu sesuatu yang dapat dipahami oleh lebah yang berbeda dengan bahasa manusia, dan kedudukannya tetap wahyu/kalam Allah tidak berubah.

***

Wahyu Allah tidak berubah statusnya, meskipun terjadi perbedaan dari bentuk karena untuk menyesuaikan dengan “bahasa” target. Dalam hal ini, posisi Nabi tidak terlibat sedikitpun hanya sekedar penerjemah ke dalam bahasa manusia.

Persis seperti intepreter kode ASCII dalam komputer yang menerjemahkan data hexadesimal ke dalam bentuk huruf dan angka serta tanda baca. Atau seperti prisma yang mengurai cahaya yang datang. Output-nya berupa cahaya dengan beberapa warna bukanlah penafsiran dan tidak ada keterlibatan sang prisma dalam menyusun cahaya yang terurai.

Masalah selanjutnya yang dipaparkan oleh dalam tulisan Mun’im Sirry adalah apakah huruf atau ucapan juga termasuk wahyu? Huruf atau lafaz/ucapan yang membawa wahyu termasuk bagian dari wahyu karena tanpa itu tidak dapat dipahami.

Persis seperti rumah yang tersusun oleh batu, pasir, semen, kayu, besi, dan lainnya. Batu, pasir, dan semen bukanlah rumah tetapi ketika menjadi komponen penyusun sebuah rumah, maka ia termasuk bagian dari rumah yang tak dapat dipisahkan.

Jadi huruf atau lafaz yang terhimpun dalam Al-Qur’an termasuk bagian dari wahyu (untuk manusia) yang tak dapat dipisahkan.

Al-Qur’an dan Tanda Kebenaran

Yang jauh lebih penting bagi kita saat ini sebenarnya bukan proses pewahyuan, tetapi benarkah yang diucapkan oleh Nabi berupa Al-Qur’an itu benar-benar wahyu Allah? Apa jaminannya bahwa itu bukanlah ucapan yang berasal dari pemikiran nabi sendiri? Untuk menjawab persoalan ini, tidak cukup hanya menggunakan dalil, tetapi butuh fakta yang obyektif dan rasional agar memenuhi tuntutan pemikiran saat ini.

Baca Juga  Memahami Teks, Menyadari Konteks: Review Buku Interaksi Islam Karya Mun'im Sirry

Mustahil manusia dapat membedakan mana wahyu dan mana bukan kecuali terdapat tanda-tanda khusus yang membedakan. Tanda-tanda khusus yang menyertai proses pewahyuan biasanya disebut juga sebagai tanda kebenaran atau mukjizat. Hal ini menjadi bagian penting dalam pembahasan berkaitan dengan wahyu/kalam Allah, agar tidak terjadi spekulasi.

Dengan memperhatikan tanda-tanda kebenaran akan sangat membantu berbagai persoalan yang dikemukakan dalam tulisan Mun’im Sirry.

Setiap utusan Tuhan yang membawa wahyu biasanya disertai oleh sebuah tanda kebenaran, sebagai jaminan bahwa apa yang disampaikan adalah benar-benar kalam Allah. Dari semua utusan, hanya pada Nabi Muhammad yang tanda kebenarannya diletakan pada kitab yang diterima (Al-Qur’an). Sedangkan pada utusan lain, disertakan pada pribadi sang utusan.

Misalnya Nabi Ibrahim as dengan tidak mempan api, Musa as dengan Tongkatnya, dan Nabi Isa as memiliki berbagai kelebihan yang luar biasa.

Tanda-Tanda Kebenaran Obyektif Al-Qur’an

Tanda-tanda kebenaran obyektif Al-Qur’an terdiri dari 2 bagian penting. Pertama berkaitan dengan sistem transmisi, hal ini terkait dengan media transmisi, format, huruf, dan kata.

Bagian kedua berkaitan dengan konten yang tervalidasi sains mutakhir. Tetapi sayang pada kesempatan ini, tidak cukup leluasa untuk membahas lebih dalam. Namun demikian berdasarkan dua jenis keistimewaan di atas, dapat disimpulkan bahwa seluruh huruf, kata, dan kalimat yang dijamin oleh tanda kebenaran merupakan bagian dari wahyu Allah untuk manusia.

Dan tidak ada keterlibatan Nabi Muhammad dalam menyusun kata, kalimat, ataupun huruf. Karena mustahil tanda kebenaran Al-Qur’an yang sedemikian luar biasa dan dapat disaksikan oleh siapa saja hari ini, merupakan hasil pemikiran seseorang di masa lalu dengan keterbatasan teknologi, pemikiran, dan pengetahuan.  

Ahmad Hanif
1 posts

About author
Wiraswasta di bidang IT (konsultan IT) | Penulis pemikiran Islam | Karya pertama: Sistem Tunggal Semesta
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds