Pernahkah terfikirkan di otak kita sebuah pertanyaan tentang yang manakah yang lebih mulia antara Nabi Isa dan Nabi Muhammad?
Problematika ini memiliki potensi menjadi titik perpecahan antar umat, khususnya dari golongan awam. Untuk menjawab ini, kita akan bawakan satu kisah dari zaman jauh setelah sepeninggal Nabi Muhammad yakni kisah karamah Syekh Abdul Qadir Jaelani.
Karamah merupakan suatu kelebihan yang dianugerahkan oleh Allah kepada hambanya yang mencapai level cinta dalam hidupnya. Cinta ini menjadikan Ia dan Tuhan bersatu dalam persatuan wujud. Sehingga ketika mereka melihat, ia melihat dengan penglihatan Allah. Ketika ia mendengar, ia mendengar dengan pendengaran Allah. Ketika ia berkata maka, ia berkata dengan perkataan Allah.
Suatu hari, dikisahkan dalam kitab Asrorut Thalibin diriwayatkan bahwa Syekh Abdul Qadir Jaelani pernah lewat pada satu tempat, beliau bertemu dengan seorang muslim yang bersilat lidah dengan seorang Nasrani. Lalu beliau mencoba meneliti dan memeriksa dengan seksama penyebab dari perdebatan sengit tersebut.
Seorang muslim berkata, “Sebenarnya kami sedang membanggakan Nabi kami masing-masing. Siapa di antara mereka yang paling baik dan saya berkata Nabi Muhammad lah yang paling sempurna.
Orang Nasrani menimpali, “Nabi Isa lah yang paling sempurna”.
Kemudian Syekh Abdul Qadir Jaelani bertanya kepada Nasrani, “Apa yang menjadi dasar dan dalilmu bahwa Nabi Isa lebih sempurna dari Nabi lainnya?”.
Orang Nasrani berkata, “Nabi Isa mampu menghidupkan orang yang telah mati.”
Syekh Qadir berkata, “Apakah engkau tahu bahwa aku bukan seorang Nabi, aku hanya sekedar pengikut dan penganut agama Nabi Muhammad?”.
Orang Nasrani berkata, “Ya, saya tahu”.
Syekh berkata, “Kalau sekiranya aku bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati, apakah kamu akan percaya dan beriman kepada agama Nabi Muhammad?”.
Orang Nasrani menjawab, “Baik, saya akan beriman kepada agama Islam dan Nabi Muhammad” jawab orang Nasrani itu. “Kalau begitu, mari kita mencari kuburan” serunya.
***
Setelah mereka menemukan kuburan tua yang sudah lima ratus tahun, lalu Syekh Qadir bertanya kembali, “Nabi Isa kalau akan menghidupkan orang mati bagaimana caranya?”.
Orang Nasrani menjawab, “Beliau cukup mengatakan qum bi idznillah (bangunlah dengan izin Allah)”.
“Nah, sekarang kamu perhatikan dan dengarkan baik-baik!” kata Syekh Qadir.
Syekh Abdul Qadir Jaelani lantas menghadap kuburan tadi sambil mengucapkan, “Qum bi idznii (bangunlah dengan izinku)”.
Mendengar ucapan itu, orang Nasrani tercengang dan belum habis herannya, ia melihat kuburan yang terbelah dua dan keluar mayat sambil bernyanyi karena dulu konon katanya mayat itu seorang penyanyi. Seketika itu orang Nasrani itu masuk agama Islam.
Para pembaca yang saya muliakan, bagaimanakah jawabannya?
Nabi Muhammad merupakan satu-satunya Nabi yang paling mulia dan penyempurna dari Nabi sebelumnya. Hal ini jelas diakui oleh Nabi lainnya dalam riwayat lain yang diceritakan bahwa para Nabi memohon kepada Allah untuk menjadi umat Nabi Muhammad.
Keistimewaan Nabi juga terlihat jelas karena segala sesuatu yang diikatkan dengan nama Nabi Muhammad maka ia menjadi sesuatu yang sempurna, apalagi seorang yang memiliki darah Nabi Muhammad mengalir di dirinya.
Sebagaimana seorang Syekh Abdul Qadir Jaelani yang masih memiliki ikatan darah keturunan Rasulullah dan penganut ajaran Islam dengan taat, maka Allah angkat derajatnya di dunia ini sebagai salah satu bukti keistimewaan umat Nabi Muhammad.
Bahkan karamah yang ditunjukkannya ialah karamah yang mirip seperti mukjizat Nabi Isa yakni menghidupkan kembali orang mati. Kisah ini bukan berarti menunjukkan bahwa Syekh Abdul Qadir setara dengan Nabi Isa atau bahkan lebih dari Nabi Isa.
Kisah ini dapat dimaknai bahwa kemuliaan Nabi bukan terletak pada mukjizatnya tetapi pada cinta Allah kepada mereka. Sehingga ketika ada perbandingan kehebatan mukjizat antara Nabi, itu sangat tidak pantas untuk diperdebatkan. Meskipun kenyataannya Nabi Muhammad adalah Manusia paling mulia.
Sungguh orang yang paling mulia adalah orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah. Dan kaidah ini berlaku untuk seluruh umat manusia, khususnya umat dari penghulu kemuliaan yakni Rasulullah. Sungguh betapa mulia kita menjadi Umat Nabi Muhammad.
Sumber: Buku Syekh Abdul Qodir Jaelani karya S. Ramadhani & S.T. Indarti.
Editor: Yahya