“Ulā’ika ka l-an‘ām [mereka seperti hewan]” ucap Dr Adian Husaini, Ketua Umum Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII), merespon pertanyaan seorang audien tentang sikap kritisnya terhadap sesama cendekiawan Muslim. Dr Adian sendiri memang dikenal amat berani dan outspoken terhadap berbagai pemikiran yang dia rasa jauh menyimpang dari garis Islam.
Sesi tanya jawab itu sendiri merupakan bagian dari diskusi yang diadakan di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM) beberapa waktu lalu. Tepatnya dalam periode 2014-2017, yaitu ketika Penulis masih menimba ilmu di sana.
Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) beserta berbagai komunitas diskusi lokal seperti Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU), dan Forum Tarbiyah (Fotar), biasanya sering ‘menculik’ para tokoh di tengah kunjungan intelektual mereka ke Malaysia. Di antaranya adalah Dr Adian itu sendiri.
Kritik keras beliau setidaknya terlihat dari judul sekian karyanya. Liberalisme di Perguruan Tinggi Islam; Wajah Peradaban Barat: Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekular-Liberal; Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya; dan Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi.
Jika terlalu sulit diarahkan, Adian berargumen, maka bersikap keras seperti yang ditunjukkan penggalan al-A’raf 179 di atas juga dibolehkan. Ayat itu sendiri merupakan respon al-Qur’an untuk melabeli orang-orang kafir yang hati dan pikirannya amat keras sementara kebenaran dakwah Islam amat nyata di hadapan mata mereka sendiri.
Tentu dibolehkan untuk tidak setuju terhadap pilihan sikap tersebut. Tapi, jelas kita harus mempertimbangkan dengan penuh kesungguhan dan kejujuran bahwa itu berakar dari pernyataan eksplisit al-Qur’an. Secara implisit, sikap kritis seperti ini sesungguhnya juga mempunyai basis teoritis-historis dalam satu konsep yang disebut nahi munkar.
Konsep Nahi Munkar
Secara teoritis, bersama amar ma’ruf, konsep nahi munkar oleh para sarjana dan organisasi keagamaan dianggap sebagai sebuah doktrin fundamental. Izz al-Din Ibn Abd al-Salam, sebagai contoh, mengklasifikasikannya sebagai tujuan utama diturunkannya syariat (maqashid al-shariah).
Dalam karyanya berjudul Qawa’id al-Ahkam wa Mashalih al-Anam, ulama kelahiran Damaskus ini menjelaskan bahwa beragam jenis hukum dan aturan keagamaan yang ada, baik yang detail maupun umum, semuanya berhulu pada spirit jalb al-mashalih (meraih kemaslahatan) dan dar’u al-mafasid (menolak kerusakan).
Dalampenyelidikan Penulis, di sepanjang ayat dan surat dalam al-Qur’an, memang tidak ditemukan konsep yang secara letterlijk menyebutkan kedua spirit di atas. Namun, secara substansial, keduanya terkandung dalam doktrin populer amar ma’ruf (memerintahkan kepada kebaikan) dan nahi munkar (mencegah keburukan) (Luqman 17; Ali Imran 114).
Dalam konteks nahi munkar, shalat diwajibkan untuk mencegah setiap Muslim terjerumus dalam lembah kekejian dan kemunkaran (al-Ankabut 45). Qashar shalat juga dilembagakan untuk menghindarkan mereka dari kesukaran dalam perjalanan (safar) (al-Nisa’ 101). Demikian juga zakat agar harta tidak beredar hanya dalam golongan tertentu (al-Hasyr 7).
Doktrin Nahi Munkar Muhammadiyah
Di level kelembagaan, menyadari urgensi dan sentralitasnya, doktrin nahi munkar ini telah diadopsi oleh Muhammadiyah ke dalam AD/ART-nya. Dawam Raharjo dalam Ensiklopedi Al-Qur’an melihat bahwa Muhammadiyah tidak saja berhasil menjadikannya sebagai doktrin teologis, namun juga doktrin aksi yang kemudian menjiwai amal usaha mereka.
Ribuan institusi pendidikan Muhammadiyah berhasil mengentaskan manusia Indonesia dari lembah kejahilan. Ratusan rumah sakitnya juga ikut membantu Pemerintah menghindarkan rakyat dari bala penyakit. Sejumlah BMT juga berkontribusi dalam mengurangi tingkat kemiskinan. Garis besar yang melandasi amal usaha ini adalah semangat nahi munkar.
Adapun secara historis, spirit nahi munkar sesungguhnya dapat kita temukan dalam perjalanan intelektual para tokoh bangsa. Mohammad Rasjidi, Menteri Agama pertama dalam sejarah Indonesia merdeka, dicatat oleh Prof Azyumardi Azra sebagai The Guardian of the Faith, sang Penjaga Akidah Ummat.
Sebagaimana Adian, spirit nahi munkar Rasjidi juga dapat dilihat dari judul karya-karyanya yang bernuansa outspoken. Koreksi terhadap Drs. Nurcholish Madjid tentang Sekuralisme, Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya. Bahkan, Rasjidi tidak segan untuk berpolemik secara terbuka jika memang dirasa perlu.
Antara Hakama dan Qadha
Dikisahkan, suatu hari Joseph Schacht, seorang tokoh orientalis, memberikan kuliah di Institute of Islamic Studies McGill University Kanada. Menurutnya, Rasulullah Saw hanya membangun komunitas Muslim yang berdasarkan ajaran Islam. Bukan sebuah negara Islam dengan otoritas politik dalam yuridiksi dan legislasi.
Halini dibuktikan dengan penggunaan Al-Qur’an istilah hakim (orang yang bijak), bukan qadli (seorang hakim dalam pengadilan) dalam penyelesaian suatu masalah. Karenanya, Rasulullah Saw lebih memilih metode arbitrasi yang merupakan warisan tradisi Arab sebelum kedatangan Islam.
Argumen utama yang ingin disampaikan oleh Schacht, tulis Azra dalam Guarding the Faith of the Ummah: The Religio-Intellectual Journey of Mohammad Rasjidi, adalah bahwa Rasulullah Saw lebih bertindak sebagai seorang pemimpin agama yang bijak bestari daripada seorang pemimpin politik.
Inilah yang ditolak Rasjidi yang ketika itu menjadi dosen di kampus yang sama. Baginya, Schacht salah dalam memahami kedua istilah tersebut berikut relasinya dengan ide dasar Al-Qur’an secara keseluruhan. Hakama dan qadha sesungguhnya sinonim dan digunakan secara bergantian dalam Al-Qur’an.
Memang benar hakama mengandung arti sebagaimana yang difahami oleh Schacht, tapi itu hanya terdapat dalam satu ayat al-Qur’an. Rasjidi melihat bahwa kesimpulan Schacht tersebut merupakan ancaman terhadap kemurnian dan keagungan risalah yang dibawa Rasulullah Saw.
Di antara implikasinya adalah pereduksian ajaran Islam menjadi hanya mencakup permasalahan ritual keagamaan. Padahal, ajaran Islam adalah holistik, integral, dan komprehensif termasuk di dalamnya permasalahan sosial dan politik.
Nahi Munkar Menurut Hamka
Spirit nahi munkar juga ditampilkan Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka). Pada 1958, beliau menulis sebuah buku berjudul Teguran Suci dan Jujur terhadap Mufti Johor. Sebagian besar isinya adalah pembelaan terhadap ideologi gerakan paderi Muhammadiyah dari tudingan Mufti Johor Sayyid Alwi bin Thahir al-Haddad.
Tuan Mufti Johor menyebutkan bahwa Muhammadiyah telah menjadi pintu gerbang kristenisasi bagi 10 juta rakyat Indonesia. Hamka, yang ketika itu menjadi pegawai Kementrian Agama, meluruskan, jumlah resmi umat Kristiani adalah 4 juta. Karena itu, klaim tersebut jelas tidak masuk akal.
Pernyataan bahwa Muhammadiyah adalah sumber kristenisasi jelas tidak benar. Sebab, salah satu alasan didirikannya organisasi ini adalah justru untuk menghindarkan umat Islam dari kemunkaran ideologi Kristiani tersebut.
Jika para misionaris memberikan bantuan berupa makanan, pengobatan, dan pendidikan, maka Muhammadiyah mengimbanginya dengan mendirikan panti asuhan dan yatim piatu, rumah sakit, dan lembaga pendidikan untuk rakyat Indonesia.
Ini semua merupakan bukti betapa penting spirit nahi munkar. Meski demikian, ia harus diimbangi dengan amar ma’ruf. Keseimbangan konsep two-in-one inilah yang merupakan karakteristik teleologis ajaran Islam. Karena itu, patut kita tanyakan; setelah Hamka, Rasjidi, dan Adian, siapakah ke depan pemegang tongkat estafet nahi munkar tersebut?
Editor: Yahya FR