IBTimes.ID – Buya Syafii Maarif meyakini bahwa Alquran bukan kitab hukum, melainkan buku tentang moralitas dan etika. Persoalan terkait dengan politik, sejarah, dan hukum adalah derivasi dari pemahaman tentang etika itu sendiri.
Menurut Ahmad Najib Burhani, pemahaman di atas membuat Buya Syafii menjadi sosok yang sangat terbuka dan bisa bergaul dengan semua kalangan.
“Apa yang diperlukan untuk menjadi progesif seperti ini? Yang diperlukan adalah hermeneutika Alquran. Ini diperlukan untuk membaca Alquran agar tidak terjebak pada pemahaman seperti kelompok-kelompok radikal di sekitar kita,” ujar Najib Burhani dalam Muktamar Pemikiran Ahmad Syafii Maarif di Universitas Muhammadiyah Surakarta, Sabtu (12/11/2022).
Hermeneutika, imbuhnya, dapat membantu umat Islam memahami makna Alquran secara keseluruhan, bukan hanya sebagai teologi, namun juga sebagai etika.
Najib Burhani menyebut bahwa sebagian pemikir muslim menekankan pembacaan Alquran dari aspek teologi. Sebagian lagi menekankan aspek hukum. Sementara Buya dan Fazlurrahman mencoba menjembatani penekanan aspek hukum dan teologi, yaitu dengan menekankan aspek etika.
“Inti daripada keberadaan Alquran adalah bagaimana hubungan manusia menjadi terjaga, baik, dan teratur. Itu adalah inti dari Alquran. Etika adalah esensi Alquran dan menjadi jembatan yang menghubungkan teologi dan hukum,” ujar Najib mengutip Fazlurrahman.
Elan vital Alquran, imbuhnya, adalah menciptakan masyarakat yang adil dan setara di hadapan Tuhan. Etika, moralitas, dan kemanusiaan telah dibawa oleh Islam sejak dilahirkan. Islam mengajarkan perlawanan terhadap politeisme, termasuk dalam bentuk eksploitasi terhadap kelompok miskin dan praktik perdagangan yang tidak adil. Buya bersama Fazlurrahman meyakini bahwa Islam adalah agama moralitas dan kemanusiaan.
Buya juga mengkritik mufassir-mufassir yang tidak memiliki latar belakang ilmu sosial yang kuat. Padahal, untuk dapat memahami Alquran, diperlukan pemahaman yang mendalam terhadap persoalan-persoalan sosial. Dalam hal ini, Buya mengkombinasikan pengetahuan sejarah, ilmu sosial kontemporer, serta persoalan riil di masyarakat untuk menafsirkan Alquran.
“Itu cara kita untuk bisa membaca agama secara kontekstual. Yang tidak hanya menggunakan kacamata kuda. Ini tidak dilakukan oleh orang-orang tertentu yang sering demonstrasi di jalan, jang tidak mengkoneksikan problem riil di masyarakat,” imbuhnya.
Reporter: Yusuf