Meskipun lebih dari dua puluh tahun berlalu, rasanya ayah masih ingat sebuah pesan yang ibuku, atau uti kamu, sampaikan. Sebagai manusia, kita boleh saja kurang dalam banyak hal, tapi tidak boleh fakir akan nilai kejujuran.
Seperti umumnya para orangtua di desa ayah, mungkin tak banyak kompetensi yang uti miliki sebagai bekal pengetahuan untuk mendidik ayah waktu kecil. Tetapi, dalam hal perilaku berbuat jujur, dia lebih dari kompeten untuk menasehati ayahmu ini. Dan ayah selalu mengingat petuahnya sampai hari ini.
Seumur hidupnya sampai kini, kami melihat dia sebagai sosok yang hidup dengan memegang teguh nilai kejujuran. Dengan perilaku itu, dia termasuk orang yang layak mendapat rasa hormat dan kepercayaan dari orang lain.
Ajaran yang ayah terima dari lingkup pendidikan di keluarga sederhana itu, ingin —dan memang seharusnya— juga ayah turunkan kepadamu, sedari sekarang atau nanti. Sampai hari ini, kening ayah masih berkerut mencari cara, bagaimana formulasi yang tepat untuk menanamkan value tersebut pada dirimu. Untuk menjadi orangtua yang baik, ayah memang masih harus banyak belajar. Begitupun dalam berperilaku jujur, ayah bukan pembelajar yang baik, berkali ayah pernah gagal.
Pengajaran Terbaik Adalah Dengan Mencontohkan
Dalam sebuah bukunya yang berjudul Tarbiyatul Aulad fil Islam, Dr. Abdullah Nashih Ulwan menjelaskan bahwa pengajaran terbaik adalah dengan mencontohkannya. Mendidik dengan keteladanan, istilah yang sering didengungkan. Seperti yang sudah uti kamu lakukan, ayah pun harus lebih terdepan dalam berperilaku jujur sebelum mengajarimu tentang kejujuran. Jujur kepada siapa pun, terutama kepadamu.
Sebagai komitmen, sejauh ini ayah berusaha untuk tidak berbohong kepadamu. Sekecil apa pun itu. Termasuk kebohongan sepele yang biasa orangtua lakukan, semisal ketika anaknya merengek untuk ikut saat hendak berangkat kerja, orangtua kadang berbohong dengan mengatakan hanya akan pergi sebentar saja dan akan segera kembali. Meskipun kadang kita dibolehkan untuk tidak jujur, tetapi selama itu bukan demi menghindari keburukan yang lebih jauh lebih besar, ayah akan memilih untuk berkata jujur.
Ayah pernah diajari seseorang, bahwa ketika kita berbuat tidak jujur, sejatinya kita sedang berbohong pada diri kita sendiri. Karena setiap manusia memiliki hati nurani, hati nurani tidak pernah berkompromi dengan ketidakjujuran. Perilaku tidak jujur hanyalah perbuatan lisan yang menghianati teriakan hati nuraninya sendiri.
Dalam dunia kerja yang selama ini ayah geluti, mungkin juga di dunia kerja lain, seseorang itu dinilai dari tiga hal yang melekat pada dirinya: Knowledge, Skill, dan Attitude. Perilaku untuk berbuat jujur itu ada pada yang ketiga. Kita boleh lemah pada dua hal pertama, tapi tidak ada toleransi untuk attitude.
Kelemahan kita pada keterampilan atau pengetahuan, dapat tertutupi oleh perilaku dan sikap kita yang baik. Namun sebaliknya, meskipun pengetahuan dan keterampilan kita sundhul langit, jika cacat dalam attitude, di mana pun kita tidak akan dihargai.
Nilai Kemenangan yang Bermodal Kejujuran
Ayah ingin kelak kau menjadikan kejujuran sebagai value dasar yang kau genggam erat dalam setiap apapun bidang yang kau geluti nanti. Sebagai contohnya, ayah bisa ceritakan kepadamu sebuah kisah tentang pelari berkebangsaan Spanyol bernama Iván Fernández Anaya.
Dalam sebuah perlombaan lari, hanya beberapa meter menjelang garis finish, Pelari Kenya Abel Mutai yang tampak bingung dengan rambu garis finish memutuskan berhenti. Dia berada di posisi terdepan dan mengira telah menyelesaikan lomba. Padahal garis finish yang sebenarnya masih beberapa meter lagi.
Iván Fernández yang saat itu di posisi kedua, berjarak agak jauh namun menyadari apa yang sedang terjadi pada Abel Mutai. Dia berteriak kepada Abel Mutai itu untuk terus berlari. Mutai yang tidak mengerti bahasa Spanyol tetap ragu dan mengira telah menyelesaikan perlombaan. Fernández akhirnya mencapai Mutai sebelum garis finish, namun alih-alih menyalipnya, dia malah mendorong bahu Mutai untuk berlari lagi menuju kemenangan.
Selesai perlombaan, kepada wartawan yang mempertanyakan aksinya tersebut, Fernández menjawab, “Dia yang seharusnya menjadi pemenang. Dia membuat jarak yang tidak dapat saya lampaui jika saja tidak membuat kesalahan. Ketika saya melihat dia berhenti —karena ketidaktahuan— saya tahu bahwa saya tidak boleh menyalipnya.”
Seorang wartawan bersikeras, “Tapi Anda bisa menang!” Fernández memandangnya dan menjawab, “Tetapi apa makna kemenangan saya? Di mana kehormatan medali ini? Bagaimana menurut ibu saya?”
Iván Fernández mengajari kita salah satu pelajaran hidup terbesar, bahwa tidak ada kemenangan yang lebih berharga daripada kejujuran. Dia telah memilih untuk melakukan apa yang dia yakini itu benar, bukan sekadar memenangkan perlombaan.
Bahkan dia tetap melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak harus dia lakukan dalam sebuah perlombaan. Dia begitu terpuaskan dengan hasil maksimal bermodal kejujuran, dibanding kalungan medali kemenangan dengan memanfaatkan kelemahan orang lain.
Tantangan Berperilaku Jujur
Di zaman ayah sekarang ini, tantangan untuk berperilaku jujur tidak mudah. Mungkin begitu juga kelak di zamanmu. Kejujuran akan selalu menemukan tantangannya tersendiri. Namun seberat apapun tantangan itu, kita tidak boleh kalah. Karena sebuah kejujuran akan selalu menemukan tempatnya, dan akan selalu diterima di mana pun.
Terakhir, Nak, sebagai orangtua dan jika kau berkenan menerima, ayah ingin menjadikan value kejujuran itu sebagai pemberian untukmu. Seperti yang William Shakespeare katakan, “No legacy is so rich as honesty.”
Terus berperilaku jujurlah, niscaya hal-hal baik akan kamu temui di sepanjang kehidupanmu; Kepercayaan, Rasa Hormat, dan Cinta.
Editor: Zahra