Oleh: Ayub
Mungkin bagi kebanyakan orang, termasuk saya, kesempatan berbicara di hadapan presiden akan digunakan untuk menuntut perkara-perkara seperti harga-harga yang semakin mahal.
Bagi sebagian yang lain, mungkin kesempatan itu digunakan untuk menyebutkan nama-nama ikan. Tapi Prof. Syamsul Anwar, ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, justru memilih berbicara tentang perkara yang mungkin dianggap orang terlalu ngawang dan pastinya tidak akan dihadiahi sepeda.
Beliau berbicara tentang pentingnya membangun budaya ilmu yang sejati. Walaupun disampaikan di hadapan presiden, tapi sesungguhnya kontennya ditujukan untuk segenap anak bangsa. Jadi, kiranya tidak apa-apa bila isinya saya spoiler-kan di blog yang tidak begitu laku dibaca warganet yang mulia ini.
Prof. Syamsul memulai nasehatnya dengan menegaskan bahwa ilmu adalah kunci kemerdekaan hakiki. Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, kata beliau, akan memungkinkan kita untuk bisa “secara mandiri mengelola sumber daya alam yang melimpah tanpa banyak tergantung kepada pihak lain dalam rangka membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat”.
***
Di sini tampaknya Prof. Syamsul ingin mengingatkan kita dan para pemimpin kita tentang dua perkara penting; pertama, front perjuangan utama untuk merebut daulat setelah proklamasi ada di medan IPTEK. Bila masih kalah di medan ini, merdeka 100% seperti yang diimpikan seorang tokoh kiri itu akan tetap jauh di alam mimpi.
kedua, ilmu yang sejati haruslah berbuah amal yang membawa perbaikan (islah) serta memihak kepada mereka yang tertindas tersisih. Ilmu haruslah berakhir menjadi amal salih. Bila tidak, maka ia bukanlah ilmu yang diperintahkan agama untuk dicari.
Terkait dengan poin kedua di atas itulah, Prof Syamsul lalu mengingatkan kita pada konteks diutusnya Rasulullah saw. Masyarakat kafir Mekkah disebut jahiliyyah (bodoh) bukanlah kerena mereka dungu tak tahu apa-apa.
Mereka disebut demikian karena sistem hidup mereka dirancang untuk melanggengkan pendindasan pada yang lemah serta perbuatan-perbuatan amoral lainnya. Menurut beliau, keadaan ini muncul sebab pandangan hidup mereka yang materialistik; “kehidupan hanyalah kehidupan nyata yang sekarang dan tidak mempercayai adanya kehidupan sesudahnya”.
Alquran mendokumentasikan worldview ini di dalam al-An’am : 29, Dan mereka mengatakan, “hidup hanyalah kehidupan di dunia, dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan”.
Masyarakat yang pandangannya berhenti pada hal-hal duniawi sangat rentan untuk menyisihkan mereka yang dianggap tak punya posisi tawar duniawi. Dalam pembacaan Prof. Syamsul, dari sinilah lahir penindsan kepada mereka yang tak berdaya seperti anak yatim, janda, orang miskin, dan kaum perempuan.
Di dalam masyarakat yang seperti ini, IPTEK hanya akan menjadi instrumen penindasan dan kesewenang-wenangan. Dengan demikian, IPTEK perlu dibingkai di dalam kepekaan nurani. Apabila setiap orang bersedia mengelola batinnya untuk lebih peka, maka akan lahir pribadi-pribadi yang kokoh dan “masyarakat yang berkeadaban”.
***
Langkah pertama dan utama menurut beliau untuk mencapai hal itu adalah dengan menghayati dengan sungguh-sungguh ibadah salat. Ibadah ini diterima ketika Israk-Mikraj, sebuah peristiwa yang memang menjadi momen penguatan batin dan spritual Rasulullah sendiri yang ketika itu sedang dirundung duka.
Meskipun tidak beliau sebut dengan eksplisit, tapi alur logika ini tentu akan langsung mengingatkan kita pada Pancasila. Ketuhanan menjadi atap sekaligus pondasi bagi kemanusiaan yang adil dan beradab. Secara lebih detail, Prof. Syamsul mengurai bagaimana kepekaan nurani bisa berbuah keadilan dan keadaban dengan mengutip at-Taubah: 105;
Dan katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)
Ayat ini menurut Prof. Syamsul menunjukan adanya tiga lapis pengawasan bagi semua amal (yang merupakan buah ilmu) seorang Muslim; pengawasan nurani, pengawasan formal-institusional, dan pengawasan sosial. Jelaslah bahwa kepekaan nurani yang dimaksud oleh beliau adalah kesadaran bahwa amalnya selalu diawasi oleh Allah. Tapi tidak berhenti di situ, seorang Muslim yang baik harus sadar bahwa dia bertanggung jawab secara sosial dan formal-institusional atas segala perbuatannya.
Berdasarkan rumusan di atas, peran negara ada di lapis pengawasan formal-institusional. Terkait dengan hal ini, Prof. Syamsul mengingatkan bahwa hubungan negara dan agama (diwakili oleh umat beragama) sangat krusial untuk selalu dijaga agar harmonis dan produktif.
***
Menurut beliau, “hubungan yang baik antara negara dan agama dapat memberikan pengaruh yang positif kepada kemapuan perkumpulan-perkumpulan penggiat agama untuk menciptakan modal sosial bagi pengembangan dan pemberdayaan masyarakat”.
Kata kunci di nasehat beliau pada bagian ini adalah agama sebagai modal sosial yang penting. Guna mendukung argumennya ini, beliau mengutip berbagai riset empirik yang membuktikan bahwa religiusitas bila dikelola dengan tepat bisa menjadi basis positif bagi pengembangan kesejahteraan masyarakat.
Lebih lanjut, beliau mengingatkan presiden bahwa “falsafah pembangunan yang tidak menempatkan etika agama sebagai titik pusatnya akan berakibat degradasi moral, merajalelanya korupsi, dan produktifitas yang rendah”.
Nasehat ini tentu membuat kita terngiang lagu Indonesia Raya yang menyemangati semua untuk tidak hanya membangun badan tapi juga jiwa.
Ucapan senada di atas tentu akan langsung disambut dengan tanggapan pesimis semisal; ah banyak kok yang tampak religius tapi malah korupsi. Pemungkas sekaligus simpulan nasehat yang beliau sampaikan pada peringatan Israk Mikraj di Istana tersebut seolah mengantisipasi keberatan semacam itu. Beliau mengakui bahwa korupsi adalah persoalan yang multidimensional.
Sebabnya terbentang dari sistem tata-kelola yang buruk hingga mahalnya biaya politik. Oleh karena itu, korupsi juga harus digempur dari berbagai sisi. Peran terpenting agama adalah menguatkan kepekaan nurani dan kesadaran akan konsekuensi sosial bagi tiap perbuatan kita.
***
Sikap ideal ini muncul apabila setiap perbuatan dihayati sebagai amal salih yang oleh beliau disebut “kerja yang baik”. Kerja yang baik ini merupakan manifestasi iman yang benar dengan dibimbing oleh ilmu yang sejati. Sebaliknya, kerja yang koruptif lahir dari keberagamaan yang “mekanistik, sekedar kebiasaan baku, atau sekedar penampilan untuk pencitraan”
Demikianlah, semoga saya bisa mengamalkan nasehat beliau ini.Tentu saya tidak mengetik ulang keseluruhannya. Ini mungkin semacam ringkasan sekaligus syarah. Pembaca juga pasti sudah maklum bahwa kalimat bertanda petik bermakna kutipan langsung.
Jika ingin membaca naskah lengkapnya, serta tulisan-tulisan beliau tentang kaitan Islam, Ilmu dan Kebudayaan, silakan cari buku beliau dengan judul Islam, Ilmu dan Kebudayaan di toko buku Suara Muhammadiyah, atau online.
Di dalam sebuah hadis riwayat Imam Muslim, Rasulullah saw bersabda bahwa agama adalah nasehat; ad-Dinu an-Nashihah. Makna nasehat menurut para ulama adalah mengharapkan kebaikan bagi orang yang dinasehati. Di dalam hadis tersebut, Rasulullah SAW menyebutkan pemimpin kaum Muslimin sebagai salah satu yang dinasehati.
Maka semua pemaparan Prof. Syamsul ini adalah harapan bagi pemimpin kita, terutama Pak Jokowi. Namun tentu saja ini juga berlaku bagi siapa saja yang kelak diamanahi menahkodai kapal besar bernama Indonesia ini.
Sumber: santricedekia.com