Perspektif

Nasib Polisi di Tengah Perang Asimetris di Jagat Maya

4 Mins read

Beberapa waktu belakang di beranda media sosial saya, sempat muncul tagline maupun meme berbunyi, “merokok dapat menyebabkan…kebakaran Gedung Kejaksaan Agung”.

Tagline yang cukup menggelitik sebenarnya. Namun bagi saya pribadi, tagline itu juga mengundang keprihatinan yang cukup mendalam.

Tagline bernada sarkas tersebut lahir dari konferensi pers Mabes Polri yang bertujuan memublikasikan progres penyelidikan terhadap insiden terbakarnya Gedung Kejaksaan Agung

Akan tetapi dari apa yang saya amati, alih-alih mendapat dukungan dan apresiasi dari publik, kepolisian justru mendapat respon negatif dan nyinyiran dalam berbagai bentuk. Salah satunya, tagline sarkas yang telah disebut di awal tulisan ini.

Tagline sebagai Respon Negatif Publik terhadap Penyelidikan

Respon demikian mencerminkan adanya ketidakpuasan dari publik terhadap penyelidikan yang dilakukan kepolisian atas insiden tersebut. Ketidakpuasan bisa jadi karena adanya anggapan bahwa hasil kinerja kepolisian kurang bisa “diterima” nalar bahkan “menggelikan”, yang pada akhirnya dijadikan bahan lucu-lucuan oleh publik. 

Ketidakpuasan juga boleh jadi berasal dari akumulasi stereotip negatif yang berakhir pada ketidakpercayaan sebagian publik terhadap kepolisian. Apapun kata-kata yang disampaikan oleh kepolisian, akan masuk telinga kanan dan langsung keluar dari telinga kiri. 

Fenomena demikian pun bukan terjadi baru akhir-akhir ini. Dari apa yang saya amati, hampir dalam semua kasus besar yang ditangani kepolisian dan mengundang perhatian publik, selalu muncul sarkasme yang menyiratkan ketidakpercayaan.

Sebut saja kasus penusukan terhadap Syaikh Ali Jaber pada September silam. Pada awal-awal diwartakannya insiden tersebut, sudah muncul sarkasme yang bernada tidak percaya pada keseriusan polisi. Bahkan saat itu, kepolisian baru memulai penyelidikan.  

Di antaranya, tidak sedikit masyarakat yang langsung melontarkan kalimat sarkas dan meyakini bahwa kepolisian akan memberikan gelar “orang gila” kepada pelaku penusukan sehingga bisa terbebas dari jeratan hukum.

Baca Juga  Mensyukuri Hidup Saat Momentum #DirumahAja

Sarkasme “orang gila” tersebut bisa jadi lahir dari akumulasi kekecewaan publik terhadap kinerja kepolisian dalam menangani kasus-kasus serupa sebelumnya.

Dengan demikian, andaikan ada lagi insiden penyerangan terhadap tokoh agama, saya yakin sarkasme “orang gila” pasti akan kembali muncul.

Sarkasme-sarkasme semisal pun banyak terdengar dan akhirnya tanpa disadari tertanam di alam bawah sadar sebagian publik kita. Fenomena inilah yang menurut saya cukup memprihatinkan.  

Dalam jangka panjang, stereotip negatif dan tren ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian bukan tidak mungkin akan terus meningkat.

Pada tahap yang akut, bisa jadi apapun yang disampaikan oleh kepolisian tidak lagi masuk telinga kanan keluar telinga kiri, melainkan mental, tidak masuk telinga sama sekali. 

Lantas, apa kata dunia jika institusi pengayom masyarakat tidak lagi dipercayai oleh masyarakat itu sendiri?

Kepolisian: Korban Perang Asimetris di Jagat Maya

Ramainya sarkasme bernada nyinyir dan ketidakpercayaan terhadap kepolisian tidak bisa dilepaskan dari kuatnya penetrasi media sosial di hampir seluruh lapisan masyarakat.

Pesan-pesan apa pun di media sosial, termasuk sarkasme nyinyir terhadap kepolisian, semakin sulit difilter. Alhasil, pesan-pesan ini pun bisa menjangkau siapa pun dengan mudahnya. 

Kondisi demikian diperparah dengan karakteristik sarkasme itu sendiri yang nyinyir tapi menggelitik. Karakteristik tersebut membuat sarkasme relatif lebih mudah tertanam di alam bawah sadar para audiens, dibanding tulisan-tulisan yang niatnya mencerahkan namun terlalu serius sehingga cenderung membosankan. 

Apabila saya mengibaratkan jagat dunia maya sebagai suatu “arena perang”, maka saat ini sedang terjadi “perang asimetris” yang sangat dahsyat utamanya dalam bentuk perang pemikiran. Tidak jelas siapa saja pihak yang berperang, namun yang jelas kepolisian telah menjadi salah satu “korban” dari perang asimetris tersebut. 

Baca Juga  Mencapai Kesehatan Otak dan Tubuh dengan Berdzikir

Perang asimetris itu sendiri, menurut Dewan Riset Nasional, adalah suatu model peperangan yang dikembangkan dari cara berpikir yang tidak lazim, dengan spektrum yang sangat luas. Perang asimetris selalu melibatkan peperangan antara dua aktor atau lebih, dengan ciri menonjol dari kekuatan yang tidak seimbang. 

Kemudian, M. Arief Pranoto dan Hendrajit dalam buku “Perang Asimetris dan Skema Penjajahan Gaya Baru”, menambahkan pola perang asimetris yang meliputi tiga tahapan, yakni “isu”, “tema”, dan “skema”.

Dalam perang konvensional, pola tersebut dianalogikan seperti “bombardir”, “masuknya pasukan kavaleri”, dan “pendudukan oleh infanteri”.

Bagaikan Battle Royale di Dunia Nyata

Berkaca dari konsep tersebut, maka tidak berlebihan apabila saya menganggap bahwa dalam jagat maya saat ini memang tengah terjadi perang asimetris. Peperangan yang terjadi tidak melibatkan senjata maupun hardpower lainnya, melainkan hanya melibatkan opini dan pesan-pesan yang saling “membantai” satu sama lain.

Pihak yang “berperang” pun tidak terdefinisi dengan jelas. Siapa saja berhak “menyerang” siapa saja layaknya sistem battle royale. Pihak-pihak yang superpower di dunia nyata, seperti kepolisian dan lembaga negara lainnya, bisa saja tidak berdaya dan jadi bulan-bulanan oleh mereka yang dianggap “lemah” di dunia nyata. 

Berkaca pada analogi tersebut, institusi kepolisian saat ini saya anggap tengah digempur habis-habisan dalam suatu perang asimetris.

Kepolisian saat ini terus diserang oleh peluru-peluru dalam bentuk opini, nyinyiran, dan sarkasme, yang bisa saja menghancurkan citra Korps Bhayangkara sekaligus merusak kepercayaan masyarakat.

Sayangnya, dalam kacamata saya, amunisi dan benteng pertahanan kepolisian dalam perang asimetris tersebut masih belum begitu kuat. Ketika dihantam gempuran sarkasme, kepolisian hanya bisa “membalas” dalam bentuk klarifikasi yang cenderung kurang mendapat atensi publik.

Baca Juga  Mengapa Buya Syafii Sering Dituduh Anti-Islam?

Apabila dianalogikan, sarkasme dan nyinyiran yang menyerang kepolisian adalah “rudal balistik” yang memiliki jangkauan luas dan cenderung “tepat sasaran”. Sementara klarifikasi dari kepolisian dapat diibaratkan hanya seperti “meriam”. Jelas kalah. 

Bahkan ketika kepolisian berupaya “menyerang balik” dengan cara menyebarluaskan kinerja positif guna meraih simpati masyarakat, tetap saja tidak cukup kuat.

Upaya “pencitraan” tersebut bisa dengan mudah dihancurkan hanya dengan satu skandal penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum perwira polisi, misalnya.

Bertahan di Tengah Kerasnya Perang Jagat Maya

Dengan demikian, institusi kepolisian perlu melahirkan strategi matang yang berkesinambungan, dalam rangka memenangkan perang asimetris di dunia nyata saat ini.

Apabila tidak mempersiapkan pertahanan yang tangguh, saya khawatir bisa datang masa dimana kepercayaan publik kepada institusi kepolisian sangat rendah.

Andaikan demikian, kekacauan terhadap tatanan berbangsa dan bernegara akan menjadi nyata. Kepolisian sebagai institusi milik negara, berperan penting dalam menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Di sisi lain, untuk menjalankan fungsi tersebut, mendapat kepercayaan dari masyarakat merupakan sesuatu yang mutlak. 

Tidak cukup hanya sampai di situ. Publik juga perlu memperkuat sikap objektif dan legowo dalam memberikan penilaian terhadap segala yang berkembang di dunia maya. Khususnya yang berkaitan kinerja lembaga-lembaga negara wabil khusus kepolisian. 

Bukannya apa, apabila lembaga-lembaga negara seperti kepolisian tumbang dalam perang asimetris di jagat maya, kita-kita juga sebagai rakyat yang akan menelan pil pahitnya. 

Editor: Zahra

Jauhari
2 posts

About author
Jurnalis di Wali-News.com
Articles
Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds