Berikut isi lengkap pidato Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat berjudul “Agenda Strategis Umat Islam Membangun Indonesia Maju, Adil, Makmur, Berdaulat, dan Bermartabat” :
Agenda Strategis Umat Islam Membangun Indonesia Maju, Adil, Makmur, Berdaulat, dan Bermartabat
Oleh: M. Din Syamsuddin
Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat
Bismillahirrahmanirrahim
Latar Belakang
Masalah utama yang dihadapi Bangsa Indonesia dewasa ini adalah adanya pertemuan sekaligus persilangan antara permasalahan bangsa dan permasalahan umat Islam. Walau antara umat dan bangsa berhimpit maka seyogyanya tidak dibedakan (bangsa adalah umat, dan umat adalah bangsa), namun dalam wacana ini dibedakan, karena ada perbedaan gatra tanggung jawab untuk penyelesaian masalah. Permasalahan bangsa merupakan resultante dari kegagalan rejim demi rejim yang berkuasa, yang tidak mengatasi masalah bawaan rejim sebelumnya, bahkan justeru membawa masalah baru, sehingga terjadi penumpukan masalah dalam bentuk kerusakan akumulatif/accummulative damages). Pada sisi lain, umat Islam sebagai pemegang saham kebangsaan mayoritas, baik sosiologis, historis, maupun kultural), tidak cukup memiliki kuasa politik dan ekonomi, baik karena dirinya sendiri maupun akibat rekayasa diri lain. Sebagai akibatnya, umat Islam kurang dapat menampilkan peran kebangsaan secara optimal, dan bangsa terhilang peluang besar dari sebuah kekuatan nasional. Masalah demikian tidak segera disadari, bahkan “politik sektarian”, yang dihantui imaginasi semu terhadap umat Islam dan hasrat untuk mengalahkannya, telah mendorong perpolitikan Indonesia melibatkan semacam Islamofobia politik yang mendorong “perang dingin” berkepanjangan di bawah permukaan.
Permasalahan serius itu adalah masalah bersama dalam kongres umat Islam ini, dan merupakan tanggung jawab kolektif segenap elemen bangsa untuk menanggulanginya. Sebagai pemegang saham kebangsaan mayoritas, umat Islam perlu memperoleh nisbah secara berkeadilan. Keadilan ini, yang merupakan pengejawantahan dari Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia, akan menjamin keseimbangan nasional (national equilibrium), dan pada giliran berikutnya akan meneguhkan Sila Persatuan Indonesia. Ketakadilan, seperti dalam bentuk kesenjangan ekonomi, ataupun ketimpangan politik, hanya akan memunculkan ketakseimbangan nasional (national disequilibrium) yang pada ujungnya potensial meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama.
Sayangnya, perpolitikan nasional Indonesia selama ini cenderung menampilkan “politik sektarian” oleh semua pihak tanpa terkecuali dengan identitas masing-masing, baik manifest maupun laten, dan pengerahan sumber daya politik yang dimiliki masing-masing, baik materi, informasi, maupun massa untuk berkuasa. Langkanya kepemimpinan negarawan pada semua lini telah menimbulkan kehidupan nasional yang dialektik dan antagonistik, tinimbang kehidupan nasional yang dialogis dan kolaboratif. Inilah problematika kebangsaan besar Indonesia saat ini. Pada latar demikianlah umat Islam harus merasa memiliki tanggung jawab besar, dan untuk kemajuan bangsa menuju cita-citanya agenda strategis umat Islam Indonesia perlu ditingkatkan.
Perumusan agenda itu menjadi mendesak dalam kongres umat Islam ini, karena bangsa Indonesia tengah menghadapi pergeseran geoekonomi dan geo-politik yang dinamis, di tengah peradaban dunia yang mengalami disrupsi, ketakteraturan, dan ketakpastian (the world with disruption, the world of disorder, and uncertainty). Agenda strategis umat Islam tentu merupakan bagian tak terpisahkan dari, dan harus sejalan searah dengan, perwujudan Visi Kebangsaan Indonesia yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa dan negara seperti termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
Kontekstualisasi Visi Kebangsaan
Peradaban dunia sejak paruhan kedua abad kedua puluh mengalami perubahan cepat. Terjadi perubahan geoekonomi dan geo-politik dunia dengan adanya pergeseran pusat gravitas ekonomi dunia dari Kawasan Atlantik ke Kawasan Pasifik. Hal ini ditandai oleh kebangkitan Kawasan Asia Timur (the emergence of East Asia), di mana Indonesia berada. Indonesia harus menghadapinya, baik dengan menyiapkan mekanisme pertahanan diri (self defence mechanism) yang berjangka pendek, maupun strategi kebudayaan/peradaban (strategy of culture) yang berjangka panjang. Sejalan dengan itu maka Visi Kebangsaan Indonesia memerlukan penyesuaian diri. Maka tidaklah salah kalau Visi Kebangsaan yang ada dalam Konstitusi, visi yang tidak berjangka waktu, diberi tafsir kontekstual, yang merupakan visi strategis dan tentu bersifat tentatif.
Tafsir itu tidak mengubah dan merupakan kontekstualisasi dari Visi Kebangsaan Konstitusional menjadi “Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat”. Selain adil dan makmur yang menjadi harapan segenap rakyat, visi strategis kontekstual juga menekankan cita kemajuan, kedaulatan, dan kemartabatan. Sebenarnya cita kemajuan sudah tersirat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, seperti dalam frasa “memajukan kesejahteraan umum”, dan “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Yang pertama lebih berhubungan dengan kemajuan lahiriah dalam bentuk kesejahteraan jasmaniah terkait dengan pemenuhan sandang, pangan, dan papan; Sedangkan yang kedua berhubungan dengan kemajuan batiniah meliputi derajat rasionalitas, emosionalitas, dan spiritualitas, yang kesemuanya terkait dengan pemenuhan kebutuhan akan nilai-nilai keagamaan, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur kebahagiaan lainnya. Pertautan dinamis kedua alur kemajuan itu merupakan prasyarat bagi terwujudnya Indonesia Maju, yakni Indonesia dengan kebudayaan utama dan peradaban tinggi.
Pembangunan Nasional yang diselenggarakan bangsa sejak awal kemerdekaan, sejatinya, adalah proses pemajuan untuk menciptakan masa kini harus lebih baik dari masa lalu, dan masa mendatang harus lebih baik dari masa sekarang. Itulah dinamika kebudayaan dan peradaban yang harus dilalui bangsa untuk menjadi bangsa terbaik di kalangan bangsa-bangsa, dan pemain utama dalam perlombaan antar bangsa di dunia.
Proses pembangunan sebagai proses pemajuan, dengan demikian, perlu menekankan proses pemanusiaan manusia. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa manusia adalah subyek kehidupan, dan dirinya sendiri secara bersama-sama yang akan melanjutkan pembangunan itu. Maka terjadilah siklus dinamis pembangunan ke arah keberlanjutan yang bermakna (sustainable development with meaning).
Perjuangan menuju Indonesia Maju adalah long march yang harus terus menerus ditempuh bangsa dari satu generasi ke generasi. Perjuangan itu menuntut persatuan, kebersamaan, dan kekompakan. Dalam hal ini, kemajemukan bangsa, sebagai anugerah Tuhan, harus dijelmakan sebagai kesatuan yang membawa kekuatan, bukan perpecahan yang mendatangkan kelemahan. Motto Bhineka Tunggal Ika perlu dijelmakan dalam nilai keutamaan “bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”.
Begitu pula, penegakan kedaulatan perlu mendapat perhatian serius. Sejatinya eksistensi sebuah bangsa dan negara meniscayakan tegaknya kedaulatan. Sejarah kebangsaan Indonesia telah menampilkan tonggak-tonggak penegakan kedaulatan yang signifikan. Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928 merupakan penegakan kultural (cultural sovereignty) yang penting bagi Indonesia yang majemuk. Proklamasi Kemerdekaan Negara pada 17 Agustus 1945 adalah penegakan kedaulatan politik (political sovereignty) yang menentukan nasib bangsa dan era penjajahan panjang. Ada satu lagi tonggak penting penegakan kedaulatan namun terlupakan yakni Penegakan Dekrit Perdana Menteri Juanda pada 13 Desember 1957 yang menyatakan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari darat dan laut yang mengitarinya.
Inilah penegakan Kedaulatan Teritorial (territorial sovereignty) yang menentukan apa yang disebut NKRI dan Wawasan Nusantara. Sayangnya pemerintah menjadikan 13 Desember hanya sebagai Hari Kelautan dan peringatannya diserahkan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan. Pada era globalisasi yang ditandai dengan keharusan persaingan antar bangsa dan negara dewasa ini, maka ada tuntutan bagi Bangsa Indonesia untuk menegakkan kedaulatan yang menyangkut harkat dan martabat diri (dignity sovereignty).
Kedaulatan dan kemartabatan menjadi penting ditegakkannagar bangsa tidak terjerembab ke dalam penjajahan dan penguasaan baru (neo kolonialismeimperialisme) oleh bangsa-bangsa lain, baik dalam bidang ekonomi, politik, maupun budaya. Di sinilah letak pentingnya kriteria berdaulat dan bermartabat ditambahkan pada visi strategis kebangsaan Indonesia.
Problematika Kebangsaan Indonesia
Kehidupan bangsa sejak kemerdekaan memang telah menunjukkan berbagai macam perubahan dan kemajuan. Harus diakui bahwa kesejahteraan rakyat meningkat, banyak desa baru terbentuk dan banyak desa lama menjadi kota. Ibu kota negara dan banyak kota lain menjadi metropolitan bahkan kosmopolitan. Banyak sarana dan prasarana umum dapat terbangun, dari jalan raya hingga jalan bebas hambatan, dari pasar hingga pasar raya (mall), dari pelabuhan hingga bandara. Begitu pula, dunia pendidikan berkembang dan tingkat buta aksara berkurang.
Banyak anak bangsa bisa melanjutkan studi ke luar negeri, dan banyak pelajar dari mancanegara datang belajar ke negeri dalam. Tidak sedikit anak bangsa yang mengukir prestasi di luar negeri, menjadi juara dalam berbagai lomba. Ini hanyalah sekelumit bukti kemajuan yang patut disyukuri. Namun, tidak dapat pula dipungkiri, bahwa masih banyak masalah di depan mata. Pembangunan Nasional Indonesia selama ini berlangsung mengikuti arus modernisasi yang berorientasi pada developmentalisme yang lebih berwajah fisikal-material. Tolok ukur kemajuan diletakkan pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) dengan indikator-indikator kapitalistik. Parameter non-fisik kurang diperhatikan. Pembangunan infrastruktur lebih bersifat fisikal, sementara aspek mental-spiritual menjadi terpental.
Perekonomian nasional menghadapi masalah serius antara lain adanya paradigma ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi yang dualistik, kebijakan fiskal yang tidak mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak, dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Pembangunan ekonomi demikian tidak akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perekonomian yang timpang seperti itu akan membawa hasil pembangunan hanya dinikmati oleh segelintir orang, melebarnya kesenjangan sosial, dan melemahnya fondamen ekonomi itu sendiri.
Dalam keadaan demikian, seyogyanya politik dapat menjadi instrumen penyelesaian masalah. Politik nasional sesungguhnya merupakan menejemen nasional untuk mengelola sumber daya nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Demokrasi yang dijadikan sarana politik seharusnya bersifat fungsional dan instrumental dalam rangka mewujudkan kesejahteraan dan kemajuan bangsa. Namun, perpolitikan nasional menghadapi masalah baik yang bersifat struktural maupun kultural.
Pada tingkat struktur, kita masih menghadapi masalah kerancuan sistem ketatanegaran dan pemerintahan, kelembagaan negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung, sistem pemilihan yang liberal, dan budaya politik yang pragmatis -oportunistik. Dalam keadaan demikian, demokrasi berubah menjadi oligarki (yaitu kekuasaan oleh segelintir orang) bahkan kleptokrasi (yakni kekuasaan oleh orang-orang yang bermaksud jahat), sehingga bangsa mengalami deficit of democracy, kalau tidak democracy bancrupty. Semua hal tersebut menjadikan politik lebih sebagai bagian dari masalah (a part of the problem) tinimbang pemecah masalah (problem solver) bangsa.
Dalam bidang budaya juga terdapat masalah, yaitu ketika sebagian anak-anak bangsa terjebak ke dalam budaya hedonisme dan pragmatisme dalam menghadapi masalah. Nilai-nilai keutamaan bangsa yang membentuk jati diri utama seperti keramahtamahan, kegotongroyongan, kesopanan dan kesantunan, serta adanya daya juang tergerus oleh zaman. Sebagian generasi bangsa terpapar permisifisme budaya dan kedenderungan membanggakan budaya luar.
Aneka masalah bangsa tadi adalah juga masalahmasalah umat Islam. Maka selain harus mengatasi masalahintrinsik dalam dirinya, umat Islam harus juga menanggulangi masalah nasional yang keduanya berkelit berkelindan dan memerlukan penyelesaian simultan.
Kongres Umat Islam dan Problematika Keumatan
Masalah utama yang dihadapi umat Islam di Indonesia adalah terdapatnya kesenjangan antara faktor demografis dan peran strategis umat di pentas nasional. Indikator kuantitatif umat tidak sebanding dengan indikator kualitatif, khususnya dalam bidang ekonomi, pendidikan, dan politik. Dalam bidang ekonomi, angka demografis umat sekitar 88% dari total penduduk Indonesia tidak menjelma dalam angka riil penguasaan umat akan aset nasional (diduga di bawah 20%), mengingat 1% penduduk dengan afiliasi agama dan etnik lain menguasai aset nasional lebih dari 60%.
Terdapat pardoks bahwa Islam sebagai agama pendorong usaha dan laba, dan masuk ke Nusantara melalui perdagangan, serta sempat memunculkan sentra-sentra ekonomi dan perdagangan di beberapa daerah, kini terpuruk bahkan terempas ke pinggir arena. Upaya pemberdayaan ekonomi umat oleh Organisasi-organisasi Islam tertatih-tatih dan mengalami kendala mendasar antara lain lemahnya permodalan dan akses ke dunia perbankan.
Pembangunan ekonomi nasional yang membuka pintu lebar bagi kapitalisme global, di samping tidak adanya kebijakan affirmatif (affirmative policies) dari negara berpengaruh bagi keterpurukan umat dalam bidang ekonomi. Keadaan demikian membawa dampak sistemik terhadap kehidupan umat dalam sektor-sektor lain seperti pendidikan, kesehatan, dan politik. Infrastruktur kebudayaan umat Islam dalam bidang fisikal-materiil rapuh dan inefektif. Jalan keluar dari umat Islam sendiri tidak cukup berhasil karena dakwah Islamiyah belum terlalu kuat mendorong kebangkitan ekonomi. Terdapat jarak lebar antara asumsi penunaian zakat oleh wajib zakat potensial (menurut Ketua BAZNAS Prof. Dr. Bambang Sudibyo) diperkirakan lebih dari 300 Triliyun Rupiah, sementara realisasi pembayarannya per tahun di bawah 20 Triliyun Rupiah.
Problematika keumatan dalam bidang ekonomi membawa dampak sistemik terhadap kondisi umat dalam bidang politik. Di tengah budaya politik pragmatismaterialistik dengan praktek politik uang (money politics) yang merajalela, ketakberdayaan ekonomi telah membawa umat kepada ketakberdayaan politik lantaran umat Islam tidak berdaya terhadap tipu daya dan pemperdayaan politik sistematis. Terjadilah lingkaran setan permasalahan, dari ekonomi ke politik dan dari politik ke ekonomi dan merambah ke sektor-sektor lain. Seyogyanya mata rantai lingkaran setan (vicious circle) ini dapat diputus dengan mengedepankan lingkaran keutamaan (virtous circle). Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan agenda strategis dengan sungguh-sungguh dan secara bersama-sama dalam kongres umat Islam ini.
Agenda Strategis Keumatan
Agenda strategis merupakan penjelmaan dari Strategi Kebudayaan atau Strategi Perjuangan yang lebih luas. Umat Islam Indonesia, melalui permusyawaratan tertinggi seperti kongres umat Islam Indonesia ini, seharusnya sudah memiliki Strategi Kebudayaan ataupun Strategi Perjuangan yang menjelaskan interrelasi antara aspek-aspek kebudayaan dan perjuangan umat Islam dalam membangun diri dan membangun bangsa. Dalam Strategi Kebudayaan ini perlu dipastikan aspek-aspek kebudayaan apa yang bersifat primer dan aspek-aspek lain bersifat sekunder, aspek mana yang bersifat sentral dan aspek-aspek mana yang instrumental.
Aspek-aspek kebudayaan (cultural universal), yang merupakan keseluruhan dari kebudayaan masyarakat, menampilkan sejumlah gatra nilai, seperti nilai rohani dari agama, nilai kebersamaan dari sosial, nilai materi dari ekonomi, nilai kuasa dari politik, nilai keindahan dari seni, nilai pengetahuan dari pendidikan. Kesemuanya saling berkait dan harus dikaitkan. Selama ini kebudayaan umat Islam terlalu menonjolkan nilai rohani dari keberagamaan yang bersifat ritualistik-spritualistik sehingga lebih melahirkan kesalehan individual, bukan kesalehan sosial. Khutbah keagamaan lebih banyak berorientasi ukhrawi dan kurang banyak berorientasi duniawi. Islam kurang diperlakukan sebagai agama etik (etnical religion) yang memosisikan ibadat lebih sebagai jalan dari pada tujuan (tujuan ibadat mahdhah khususnya adalah pembentukan akhlak). Menempatkan nilai rohani sebagai prime mover (penggerak utama) kebudayaan/ peradaban menuntut adanya keberagamaan dinamis dan progresif.
Banyak yang memandang bahwa pembangunan kebudayaan dan peradaban sesuatu bangsa, termasuk pembangunan nasional mewujudkan visi kebangsaan, meniscayakan adanya Sumber Daya Manusia yang berkualitas. Bangsa dengan kekayaan Sumber Daya Alam pun tidak akan mengalami kemajuan tanpa SDM yang berkualitas yang dapat mengelola SDA tersebut. Jalan strategis utk pembentukan SDM berkualitas adalah pendidikan. Maka, pendidikan harus menempati posisi sentral dalam strategi kebudayaan, tentu dalam hal ini perlu adanya sistem pendidikan yang holistik yang memadukan pengembangan berbagai kecerdasan manusiawi, baik emosional, intelektual, maupun spiritual.
Tapi bagi sebagian yang lain, pembangunan nasional sesuatu bangsa menuntut pembangunan ekonomi sebagai prime mover, karena kebutuhan mendasar manusia dan masyarakat sejatinya terletak pada pemenuhan kebutuhan ekonomi sehingga mereka bisa hidup bahagia dengan kecukupan sandang, pangan, dan papan. Inilah yang melahirkan developmentalisme, teori tentang pembangunan yang menekankan pembangunan aspek fisikal-material masyarakat. Kemajuan suatu bangsa, dari perspektif developmentalisme, ditentukan oleh indikator pertumbuhan ekonomi (economic growth). Pembanguan infrastruktur, dengan demikian, difokuskan pada infrastruktur fisik dan sering mengabaikan pembangunan infrastruktur non-fisik.
Developmentalisme, yang merupakan turunan dari sistem ekonomi kapitalistik (kapitalisme global) sering menciptakan kesenjangan sosial-ekonomi dalam masyarakat. Maka, terakhir ini muncul koreksi terhadap developmentalisme dengan penambahan predikat menjadi pembangunan berkelanjutan (sustainable development), dan bahkan ditambah dengan with equity atau dengan pemerataan (sustainable development with equity). Namun, mimpi pemerataan tidak selalu menjelma khususnya di negara-negara di Dunia Ketiga (istilah ini pun dibuat oleh negaranegara kaum kapitalis). Inilah yang mendorong PBB meluncurkan program MDGs (Millennium Development Goals) dan kemudian SDGs (Sustainable Development Goals).
Bagaimana Bangsa Indonesia dengan umat Islam di dalamnya menghadapi semua masalah dan tantangan global tersebut. Mempertimbangkan faktor eksternal itu dan memperhatikan problematika kebangsaan dan keumatan, maka pertama dan utama sekali perlu adanya Strategis Kebudayaan Nasional yang tiada lain berorientasi pada pencapaian visi kebangsaan yang ada. Umat Islam yang memiliki tanggung jawab besar dituntut untuk dapat merumuskan Strategi Kebudayaan dari perspektif Islam dalam momentum kongres umat Islam ini. Strategi Kebudayaan dan Perjuangan Umat Islam bukanlah sesuatu yang berada diselenggarakan di luar kerangka pembangunan nasional.
Pertama, sesuai tema kongres umat Islam Indonesia kali ini, maka agenda strategis pertama yang perlu dirumuskan adalah Konsep Indonesia Maju, Adil, dan Beradab dari sudut pandangan Islam. Atau, jika Kongres menyetujui tiga kriteria tersebut dapat dikembangkan menjadi Indonesia Maju, Adil, Makmur, Berdaulat, dan Bermartabat atau IMAM BerDAMAR (salah satu arti dari kata “damar” adalah lampu atau pelita, sehingga dapat diidealisasi sebagai bangsa maju yang memimpin dunia dengan cahaya cemerlang). Umat Islam berhak bahkan berkewajiban mengajukan konsep pembangunan dalam kerangka visi kebangsaan yang disepakati. Perspektif Islam tentang pembangunan akan menjadi acuan atau salah satu acuan pembangunan nasional. Umpamanya, menarik untuk dielaborasi konsepkonsep Islam tentang ummah dan madinah, sebagai piranti lunak dan piranti keras dari masyarakat ideal.
Prinsip- prinsip ummah seperti persamaan (al-musawah), keadilan (al-‘adalah), dan permusyawaratan (al-syura), serta konstitusi (al-qanun), dapat merupakan kriteria utama dari wawasan kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai piranti keras (dimensi eksoterik) madinah merupakan manifestasi dari peradaban tinggi yang terwujud dan menjadi kriteria utama dari Indonesia Maju.
Konsep pembangunan Islami dapat pula digali dari konsep yang diajukan oleh filosuf Muslim seperti Ibnu Khaldun dengan ‘umran (pembangunan), atau Al-Farabi dengan al-Madinat al-Fadhilah (Negara Utama). Lebih lanjut, isyarat korelasi antara aspek Trilogi Pembangunan dapat dielaborasi dari Surah Quraisy, bahwa jatuh bangun peradaban dalam dinamika dimensi ruang dan waktu sangat tergantung kepada orientasi kerohanian bangsa terhadap Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid (falya’budu Robba hadza al-bayt), yang membawa dampak sistemik terhadap terwujudnya kesejahteraan atau prosperity (ath’amahum min ju’in), dan keamanan serta pertahanan atau security (wa amanahum min khauf). Konsep pembangunan demikian perlu dirumuskan dengan baik dan diajukan serta diperjuangkan oleh partai-partai politik khususnya yang mendasarkan diri pada Islam.
Agenda Strategis kedua adalah revitalisasi pendidikan Islam. Umat Islam, melalui organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga Islam, terutama melalui kongres umat Islam ini, perlu merumuskan Sistem Pendidikan Islam yang relevan dengan tuntutan zama. Sitem Pendidikan ini perlu memadukan tiga konsep yang disebut sumber-sumber Islam, yaitu konsep tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib. Pemaduan ini perlu juga dilanjutkan pada integrasi pemahaman terhadap ayat-ayat qauliyah (wahyu) dan ayatayat kauniyah (ilmu). Dengan pemantapan landasan ontologis, kerangka epistemologis, dan orientasi aksiologis ilmu-ilmu pengetahuan maka Sistem Pendidikan Islam akan dapat menghilangkan dikotomi antara ilmu-ilmu keagamaan dan ilmu-ilmu keduniaan. Agenda revitalisasi pendidikan ini perlu menjadi agenda prioritas umat Islam. Hal itu dapat dimulai dengan membangun proyek-proyek percontohan untuk adanya Pusat Keunggulan Pendidikan (Centre for Educational Excellence).
Ketiga adalah agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi umat. Agenda ini sama pentingnya dengan agenda revitalisasi pendidikan Islam, bahkan antara keduanya terjalin hubungan kausalitas (dengan kekuatan ekonomi dapat dikembangkan pendidikan yang bermutu, dan dengan pendidikan yang bermutu akan dapat mendorong ekonomi yang kuat). Agenda pemberdayaan ekonomi umat sudah dimulai terutama dengan adanya program pemberdayaan ekonomi oleh organisasi-organisasi Islam, dan penggalakan ekonomi syariah. Namun yang terakhir terlalu berfokus pada pengembangan keuangan dan lembaga keuangan syariah.
Agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi umat perlu melibatkan antara lain pengembangan etos kewiraswastaan di kalangan generasi penerus, peningkatan derajat pengusaha Muslim, pemudahan akses peminjaman modal, dan perluasan jejaring koneksi dan kolaborasi baik domestik maupun internasional. Agenda pemberdayaan dan kebangkitan ekonomi ini meniscayakan soliditas dan solidaritas lintas batas organisasi, bahkan bila perlu dapat dilakukan melalui pengembangan sentimen pasar ekslusif.
Agenda prioritas keempat dalam kongres umat Islam ini adalah agenda politik. Bidang politik merupakan bidang yang paling krusial bagi umat Islam, padahal politik menentukan keberadaan suatu kelompok dalam kehidupan nasional. Politik menjadi sarana efektif bagi suatu kelompok dalam perlombaannya dengan kelompok-kelompok lain untuk merebut posisi strategis di arena nasional. Keadaan umat Islam dalam bidang ini melahirkan dampak baik positif maupun negatif terhadap kiprah umat Islam dalam bidang-bidang lain.
Masalah utama yang dihadapi umat Islam (baca: pendukung politik Islam formal yang diwakili oleh pendukung partai-partai politik berdasarkan Islam, dan partai-partai politik yang berbasis massa Islam) adalah adanya kesenjangan antara angka demografis umat Islam dan perolehan partai-partai tersebut dalam politik elektoral. Kenyataan tersebut pada tingkat tertentu mempengaruhi kekuatan kalangan Islam dalam proses pengambilan strategis kenegaraan, baik di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Faksionalisasi politik Indonesia berbasis aliran, khususnya antara apa yang disebut sebagai golongan Islam dan golongan kebangsaan/nasionalis (walaupun terminologi ini tidak tepat), kut mempengaruhi dinamika politik kekuasaan (power politics) dan politik alokasi nilai (value allocative politics). Interaksi antara kedua golongan, walaupun sempat mencair dengan munculnya neo-santri sejak 1990an, masih berlanjut terutama pada Era Reformasi yang membawa kebebasan politik. Perubahan struktural melalui amandemen konstitusi di awal Era Reformasi lebih lanjut mempengaruhi iklim politik dan positioning politik Islam formal. Pemilihan langsung berdasarkan satu orang satu suara (one person one vote), umpamanya, telah mengubah realitas politik khususnya di lembaga legislatif. Hal demikian ikut dipengaruhi oleh budaya politik pragmatis dengan politik uang (money politics) yang dikendalikan oleh kaum pemodal dan mulai mendiktekan politik.
Dalam suasana demikian, maka agenda politik umat Islam perlu mengambil beberapa opsi pendekatan: 1. Mendorong adanya partai politik Islam tunggal yang secara formal berfungsi sebagai kendaraan politik tokoh-tokoh umat Islam dan sarana artikulasi aspirasi politik umat Islam. 2. Mendorong diaspora para aktifis Islam ke dalam berbagai partai politik sebagai sarana dakwah politik (al-da’wah bi alsiyasah). 3. Mendorong organisasi-organisasi Islam untuk berfungsi efektif sebagai agen penguatan landasan budaya (cultural foundation) bangsa, khususnya penguatan literasi politik umat.
Penutup
Masih banyak agenda strategis lain yang dirumuskan dalam kongres umat Islam ini mendesak dilakukan. Namun, empat agenda di atas perlu mendapat prioritas. Pelaksanaan agenda strategis keumatan memerlukan strategi dasar (basic strategy) berjuang menghadapi (struggle for/ al-jihad li al- muwajahah) dari pada berjuang melawan (struggle for/ al-jihad li almu’aradhah). Yang pertama mengandalkan otak, sedangkan yang kedua mengandalkan otot.
Perjuangan umat Islam untuk Indonesia yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat lewat kongres umat Islam ini perlu menempuh “Jalan Tengah” sesuai prinsip Wasathiyat Islam. Pelaksanaan agenda strategis keumatan menuntut kekompakan dan kebersamaan segenap elemen umat Islam. Untuk itu diperlukan kearifan, kebijaksanaan, dan kenegarawanan para tokoh umat Islam. Tidak ada satu kelompok yang bisa menyelesaikan masalah sendiri, maka hendaknya tidak ada satu kelompok yang boleh jalan sendiri. Perjuangan umat Islam sangatlah berat, jalan di hadapan terjal dan keras. Perjuangan tidak mengenal titik kembali (we are at the point of no return). Arkian, bukan waktunya lagi setiap diri membanggakan diri sendiri.
Catatan: