Secara historis, negara Islam telah terbentuk dan sempat menguasai berbagai wilayah di Nusantara. Berdirinya bentuk pemerintahan model kesultanan merupakan bukti paling nyata. Sebagai contoh, sejak abad ke 7 hingga abad ke 19, kerajaan Islam silih berganti bermunculan hingga menjelang kemerdekaan. Bahkan, Sejarawan Belanda H.J. de Graaf dalam bukunya Islamic States in Java (1500-1700) menjelaskan secara detail bagaimana kerajaan Islam (negara Islam) menggulingkan kekuasaan kerajaan Hindu-Budha sebelumnya (de Graaf 1976).Â
Berdasarkan laporan CNN Indonesia, setidaknya terdapat 5 kesultanan yang masih eksis hingga saat ini, di antaranya Kesultanan Yogyakarta, Kesultanan Surakarta, Kesultanan Cirebon, Kesultanan Ternate, dan Kesultanan Deli (Indonesia, 2021). Masing-masing kesultanan tersebut menjadikan Islam bagian dari kerajaan. Sebagai contoh, Sri Sultan Hamengku Buwono X, Sultan dari Kesultanan Yogyakarta saat ini, mendapatkan gelar Khalifah fil Ardl yang sangat kental dengan istilah Islam (Fanani 2020).
Keberadaan kesultanan yang masih berdiri hingga saat ini telah mengakui eksistensi bentuk negara-bangsa Indonesia dan telah banyak berkontribusi dalam pembangunan negara Indonesia yang diklaim oleh kelompok tertentu sebagai negara thogut, justru mendapatkan dukungan penuh dari kesultanan-kesultanan Islam yang masih ada.
Ambiguitas Negara Islam
Pasca kemerdekaan Indonesia, salah satu upaya pendirian Negara Islam pernah dilakukan oleh kelompok negara Islam Indonesia pada tahun 1949 dengan serangkaian pemberontakan DI/TII-nya. Upaya pemberontakan itupun berhasil diredam meskipun melahirkan banyak gerakan Islam baru termasuk Jamaah Islamiyah (JI) yang telah melebarkan sayapnya hingga trans-nasional.
Tetapi, pasca berhasilnya Revolusi Iran tahun 1979, secara masif juga menginspirasi munculnya gerakan sosial pan-Islamis dari berbagai penjuru dunia. Doktrin ad-diin wa daulah (agama dan negara) semakin mencuat. Namun, apakah negara Islam Iran versi pasca revolusi adalah model yang seluruh umat Islam inginkan selama ini? Ternyata tidak. Iran dianggap sebagai negara Islam yang ‘Syiah’ bukan dalam versi ideal Sunni.
Berbagai upaya juga dilakungan oleh banyak kalangan Sunni fundamentalis untuk menjalankan misi terbentuknya dar al-Islam (negara Islam) yang ideal. Termasuk cara ekstrem dengan menggunakan ajaran Islam yang sangat fundamental yakni jihad yang diinterpretasikan menjadi perlawanan terhadap musuh jauh (far enemy) yakni negara-negara Barat, khususunya Amerika dan musuh dekat (near enemy) negara-negara muslim yang menurut mereka thoghut. Sebagai contoh, munculnya ajakan global jihad versi al-Qaeda pada tahun 1997 oleh Osama Bin Laden yang secara yakin akan mampu menggulingkan Amerika seperti yang telah mereka lakukan sebelumnya ketika menjatuhkan kekuasaan Negara Uni Soviet di Afghanistan (Tibi 2008).
Bagaimanapun al-Qaeda telah gagal melakukan propaganda global jihad-nya, satu-satunya yang berhasil dari serangan 9/11 adalah melahirkan Islamophobia di Eropa dan di Negara-Negara Barat secara umum hingga saat ini. Bom Bali juga menghasilkan ketakutan terhadap kelompok Islam tertentu. Meskipun begitu, beberapa kelompok yang masih menginginkan negara Islam versi mereka sendiri justru terus melakukan upaya-upaya jihad dan perekrutan-perekrutan secara massif baik online maupun offline seperti yang dilakukan ISIS (Schulze and Liow 2018).
Sampai saat ini, negara Islam yang mereka inginkan bersumber pada persamaan presepsi tentang visi penerapan hukum Islam secara penuh dengan kepemimpinan khalifah. Tetapi, adanya kerajaan dan kesultanan Islam, serta model negara Islam moderen yang telah ada, ternyata belum memenuhi kriteria negara Islam yang mereka inginkan. Versi negara Islam pada akhirnya tidak lagi menjadi tafsir tunggal di kalangan kelompok Islam fundamentalis, tetapi juga terfragmentasi dengan versi masing-masing.
Dejavu Negara Islam
Buya Syafi’i Ma’arif dalam buku Ilusi Negara Islam menyebutkan setidaknya ada tiga faktor yang melatarbelakangi gerakan fundamentalis Islam muncul. Di antaranya; kegagalan merespon modernitas, persamaan rasa tertindas dengan apa yang dialami oleh muslim di Palestina dan negara lainnya, dan anggapan bahwa pemerintah muslim (kasus di Indonesia) gagal dalam memberikan kesejahteraan sosial yang layak (K. A. Wahid 2009). Oleh karena itu, kaum fundamentalis menginginkan negara Islam yang pernah dipimpin oleh Nabi Muhammad sebagai negara yang tidak memisahkan agama sebagai solusi atas persoalan-persolan tersebut.
Di sisi lain, mereka juga menolak sistem negara sekuler sebagai konsekwensi dari modernitas secara mentah-mentah. Bagi mereka, Negara sekuler jelas merupakan produk Barat yang berupaya menggerus nilai-nilai Islam. Tetapi, di Timur Tengah, ketika Arab Spring terjadi pada tahun 2011, perlahan negara-negara Timur Tengah justru mengadopsi sistem negara demokrasi yang lahir dari rahim modernitas dan mulai meninggalkan sistem monarki. Hal itu terjadi di Tunisia dan Mesir. Bahkan, secara tegas, Abdullah an-Naim dalam bukunya Islam and the Secular State Negotiating the Future of Shari’a menyatakan adanya potensi penerapan syariah di negara-negara sekuler (Abdullahi Ahmed An-Na’im 2008). Bagi kelompok fundamentalis, hal itu sama sekali tidak terlihat.
Perasaan pernah memiliki negara Islam yang ideal dan ingin diulang kembali pada masa sekarang terus menghantui secara ideologis pada umat Islam. Momentum ini dimanfaatkan secara politik oleh kelompok jihadis maupun kelompok non-jihadis. Dengan iming-iming negara Islam mampu menjawab segala persoalan sosial dan problematika di era modernitas terbukti jitu hingga saat ini. Walaupun pendirian negara Islam terbukti gagal dan menjadi cita-cita utopia belaka tetapi harus diakui berhasil menarik banyak simpatisan dari berbagai kalangan.
Tidak heran, iming-iming negara Islam di Indonesia dengan berbagai variasinya akan terus hidup. Serta menjadi langkah politik paling akurat. Mengingat Negara Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Tentu, bagi banyak muslim, menolak doktrin ad-diin wa daulah sangatlah berat dari pada menolak modernisme. Padahal menolak modernitas adalah sebuah langkah cepat untuk bunuh diri. Seperti yang dikatakan oleh Anthony Giddens bahwa modernitas layaknya roda besar yang terus berputar jika tidak mampu mengendalikannya maka siap-siaplah terlindas.
*Artikel ini merupakan hasil kerjasama antara IBTimes.ID dan INFID
Editor: Yahya FR