Wacana pemberlakuan new normal yang mengemuka akhir-akhir ini perlu disikapi dengan jernih dan taktis. Terus terang saya agak risau dengan kondisi tersebut, terutama menyangkut perjalanan sekolah-sekolah Muhammadiyah di hari-hari mendatang.
New Normal di Depan Mata
Mungkin kita tidak pernah membayangkan mengalami situasi seperti saat ini sebelumnya. Kini kita harus hidup dalam “kungkungan” protokol kesehatan yang ketat dan selalu waspada dengan orang lain. Ini sungguh jauh di luar nalar dari kebiasaan kita di masa normal.
Apalagi membayangkan saat anak-anak masuk sekolah harus dengan prosedur ketat sejak dari rumah, dalam perjalanan, saat di sekolah, dan sampai kembali ke rumah. Tidak sanggup rasanya untuk melihat anak-anak harus serba dibatasi, tidak bisa berinteraksi secara wajar dengan sahabatnya. Bahkan, untuk sekedar bersalaman pun harus berpikir ribuan kali.
Namun, itulah yang akan kita hadapi di hari-hari mendatang. Sebuah tatanan kehidupan baru sebagai bentuk ikhtiar manusia dalam menghadapi ujian badai pandemi Covid-19 yang masih belum jelas kapan akan berakhir.
Apakah kerisauan saya terlalu berlebihan? Bisa jadi. Tapi saya mencoba memetakan kerisauan saya tersebut dalam batas rasional. Artinya, tatanan kehidupan baru mau tidak mau, suka tidak suka, harus dan akan tetap kita jalani. Namun, sebagai bagian dari pengelola sekolah Muhammadiyah harus memikirkan strategi terbaik dalam situasi serba sulit tersebut, untuk kemudian menghadapi kerumitan baru.
Kerumitan Baru
Berkaca dari para futurolog, bahwa siapapun yang akan bisa tetap eksis dan bertahan di masa depan adalah ia yang bisa mengantisipasi masa depan. Oleh karena itu, rasanya saya, anda, kita, dan sekolah Muhammadiyah perlu merumuskan antisipasi tersebut agar bisa tetap eksis di tatanan kehidupan baru. Bagaimana caranya?
Pertama, menyusun protokol kesehatan secara detail sebagai acuan tata kehidupan baru di sekolah. Protokol ini sangat penting dan sebisa mungkin disusun menjadi standar operasional prosedur (SOP) yang wajib dijalankan dengan disiplin oleh warga sekolah. Di sinilah arti penting kajian akademik dalam perspektif kesehatan.
Ada pengalaman pribadi di sekolah tempat saya berjuang saat ini, yaitu SD Muhammadiyah Program Khusus Kotabarat Surakarta. Beberapa waktu yang lalu saya mengadakan kajian daring komprehensif tentang kesiapan sekolah dalam menghadapi tatanan kehidupan baru. Kajian tersebut mengundang narasumber, akademisi, sekaligus praktisi kesehatan yang paham isu-isu Covid-19.
Hasil kajian akademik yang diikuti oleh pendidik, tenaga kependidikan, dan perwakilan komite tiap kelas kemudian dijadikan acuan sekolah dalam menyusun protokol kesehatan berupa Standar Operasional Prosedur (SOP) masa new normal.
Kedua, situasi pandemi yang berkepanjangan dan penuh ketidakpastian sudah barang tentu berpengaruh terhadap kondisi siswa. Untuk itulah kita perlu menyelami lebih jauh dampak pandemi tersebut terhadap perkembangan mereka. Baik dari sisi asupan materi pembelajaran, kelekatan komunikasi antara guru, siswa, dan orang tua, maupun kondisi stres yang mungkin terjadi karena aktivitas mereka yang serba dibatasi. Nah, di sinilah pentingnya kajian mendalam dari perspektif psikologi guna menyiapkan new normal.
Ketiga, sekolah Muhammadiyah akan benar-benar merintis pola tatanan kehidupan yang baru sebagai imbas pandemi Covid-19. Kita akan membangun budaya baru dari sisi interaksi antarmanusia, budaya belajar, ritual ibadah, dan model belajar mengajar.
Sekolah Harus Jeli
Ingat, yang kita hadapi adalah manusia dengan pola pemikiran yang beraneka ragam. Pandemi Covid-19 telah mengubah sistem tatanan sosial masyarakat. Kalau dulu ada sistem masyarakat paguyuban, kemudian berkembang menjadi sistem patembayan, maka saat ini dan ke depan bisa jadi akan terus berkembang menjadi masyarakat digital.
Membangun sebuah tatanan budaya baru di tengah sistem masyarakat yang terus berubah tentu bukan pekerjaan gampang. Oleh karena itu, dibutuhkan soliditas tim dengan pemahaman visi yang kuat.
Dan yang tidak kalah penting adalah mengasah kemampuan kita (sekolah Muhammadiyah) dalam memotret dinamika perubahan masyarakat tersebut. Jangan sampai kita gagap dan gagal menangkap dinamika tersebut karena konsekuensi terburuknya (sekolah) kita akan ditinggalkan masyarakat. Itulah mengapa perlu kajian dalam perspektif sosiologis.
Keempat, pandemi Covid-19 telah meruntuhkan sebagian sendi-sendi perekonomian masyarakat. Hampir semua sektor perekonomian mengalami keterpurukan yang menyebabkan turunnya daya beli masyarakat, PHK massal, bangkrutnya para pengusaha, dan munculnya orang miskin baru atau rentan miskin.
Kenyataan tersebut secara tidak langsung juga memukul sektor pendidikan. Terutama bagi institusi pendidikan (sekolah) yang bertumbuh dari masyarakat (swasta), tidak terkecuali sekolah Muhammadiyah.
Oleh karena itu, sedikit banyak kita perlu menyadari hal ini. Sekolah harus benar-benar jeli memetakan “pangsa pasar” yang menjadi “pelanggan” sekolah. Kelas ekonomi manakah yang paling terdampak, bagaimana pengaruhnya terhadap ketahanan sekolah, dan solusi apa yang perlu dilakukan perlu dirumuskan dengan matang.
***
Maka, kita semua harus siap menghadapi situasi terburuk. Misalnya, ketika sebagian (besar) orang tua siswa tidak mampu membayar SPP. Tentu akan berimbas secara tidak langsung kepada para pegawai yang ada di sekolah, baik guru atau karyawan.
Situasi-situasi tersebut perlu antisipasi dan pemahaman dari kita semuanya, tanpa terkecuali. Meskipun tentu tidak elok juga kalau respon kita terlalu berlebihan. Misalnya, terlalu khawatir berlebihan sehingga malah akan mengganggu produktivitas kinerja. Di sinilah pentingnya kajian dari perspektif ekonomi.
Ada sebagian sekolah Muhammadiyah yang sudah memulai kajian-kajian tersebut, ada yang masih tenang-tenang saja menunggu instruksi “atasan”. Oleh karena itu, dibutuhkan sinergi melalui fotum-forum informal untuk saling bertukar informasi dan sharing pengalaman. Sehingga semua lini bergerak untuk kemajuan bersama.
Editor: Nabhan