IBTimes.ID – Tafsir al-Manar memiliki nama asli Tafsir al-Quran al-Hakim. Ia ditulis oleh Syeikh Muhammad Abduh dan muridnya, Sayyid Rasyid Ridha. Namun, menurut Kang Boy dalam Ngaji Kitab Bareng Kang Boy, ada satu lagi penulis Tafsir Al-Manar, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani.
Kang Boy menyebut bahwa Jamaluddin al-Afghani adalah seorang pembaharu yang datang ke Mesir dan menjadi guru Muhammad Abduh. Ia hidup pada tahun 1839 – 1897 M. Sedangkan Muhammad Abduh menjadi guru bagi Rasyid Ridha. Al-Afghani adalah pencetus gagasan pembaharuan yang mempengaruhi Muhammad Abduh dan kemudian Rasyid Ridha.
“Al-Afghani tidak menulis Tafsir al-Manar secara langsung. Tetapi pengaruh gagasan al-Afghani bagi Abduh sangat besar. Sehingga Ibnu Asyur menyebut bahwa al-Afghani juga merupakan penulis al-Manar,” ujarnya.
Muhammad Abduh adalah pemikir dan pembaharu dari Mesir. Abduh menghabiskan masa kecil di sebuah desa yang sangat terpencil. Keluarganya berprofesi sebagai petani. Di masa itu, Abduh belajar secara langsung kepada bapaknya.
Ketika sudah dewasa, Abduh sering memberikan ceramah di berbagai tempat selama kurang lebih lima tahun. Ceramah-ceramah Abduh itu ditulis oleh muridnya, Rasyid Ridha. Setelah ditulis oleh Ridha, tulisan-tulisan tersebut diterbitkan di sebuah Majalah bernama Majalah al-Manar
Namun, menurut Kang Boy, yang ada di dalam Tafsir al-Manar tidak hanya ucapan dari Abduh, namun juga ada tambahan-tambahan dari Rasyid Ridha. Abduh menulis 5 juz, sementara Ridha menulis 7 juz.
Menurut Kang Boy, resonansi pembaharuan yang dibawa oleh Tafsir al-Manar sangat kuat. Tafsir rasional tersebut menjadi penting untuk mengembangkan rasionalisme umat Islam. Menurut Abduh, akal adalah prasarat untuk memahami agama.
Kategorisasi Tafsir al-Manar
Dalam kategorisasi Mustafa Dib al-Bugha dan Muhyiddin Dib, kitab tafsir dibagi menjadi 4 bagian. Yaitu at-Tafsir bi al-Ma’tsur (teks), at-Tafsir bi ar-Ra’yi (rasio), at-Tafsir bi al-Bathini (batin, sufi), dan at-Tafsir bi al-Isyari (isyarat). Tafsir al-Manar lebih banyak dirujuk sebagai at-Tafsir bi ar-Ra’yi atau tafsir yang menggunakan pendekatan rasional.
Tafsir bi ar-ra’yi menurut Mustafa Dib dan Muhyiddin Dib adalah “tafsiru al-Qurani al-karimi bi al-ijtihad, ba’da ma’rifati al-mufassiru li kalami al-‘arabi wa ma’rifati al-alfadz al-‘arabiyyah wa wujuhu dalalatiha.” (Tafsir al-Quran dengan ijtihad, setelah mufassir mengetahui kalam Bahasa Arab, lafal-lafalnya, dan lain-lain).
Sementara itu, menurut Fadhl Hassan Abbas dalam buku Al-Tafsir wa al-Mufassirun, tafsir dibagi menjadi empat. Yaitu Al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Ijtima’iyyah (mazhab tafsir rasional yang berorientasi pada isu-isu kemasyarakatan), Al-Madrasah al-‘Ilmiyyah fi al-Tafsir (pendekatan saintifik dalam tafsir), Al-Madrasah al-Tarbawiyah al-Wijdaniyah (pendidikan), dan Madrasah al-Jumhur. Dalam kategorisasi ini, Kang Boy menyebut bahwa Tafsir al-Manar masuk ke dalam mazhab al-Madrasah al-‘Aqliyah al-Ijtima’iyyah.
Di sisi lain, menurut Subhi al-Shalih dalam Mabahits fi Ulumi al-Quran, kitab tafsir dibagi menjadi 4 aspek. Yaitu Al-Tafsir bi al-Ma’tsur, Al-Tafsir bi al-Ra’yi, Al-Tafsir al-Isyari, dan Tafsir al-Mu’ashirin. Subhi al-Shalih memasukkan Tafsir al-Manar ke dalam tafsir al-mu’ashirin.
Menurut Kang Boy, dalam Tafsir al-Manar, penggunaan akal relatif bebas. Pada saat yang sama, umat Islam sedang memiliki proyek besar berupa pembaharuan Islam sehingga tafsir tersebut sangat relevan.
“Apakah penggunaan akal yang bebas itu terlarang? Prof. Quraish Shihab menyebut bahwa tafsir yang terlalu rasional terkadang tidak memberi ruang kepada hal-hal yang gaib. Tetapi sebenarnya tidak. Tafsir ini audiensnya adalah Barat, sehingga wajar jika pendekatannya rasional,” ujar Kang Boy.
Banyak pembaharu Islam yang pergi ke Paris, termasuk Abduh dan Al-Afghani. Dari kehidupan Abduh di Paris, muncul kalimat yang cukup masyhur yang berbunyi:
Dzahabtu ila bilad al-gharbi, roaitu al-Islam wa lam ara al-muslim. Wa dzahabtu ila bilad al-‘arabi, roaitu al-muslim wa lam ara al-Islam. (Aku pergi ke Barat, aku melihat Islam, tapi tidak melihat muslim. Dan aku pergi ke Arab, aku melihat muslim, tapi tidak melihat Islam).
Muhammad Abduh
Kang Boy menyebut bahwa ada kemiripan antara Abduh dengan Kiai Dahlan. Yaitu tidak konfrontatif melawan Barat, namun kompetitif.
“Abduh melakukan penataan kehidupan sosial atas hidayah al-Quran. Namun, menurut beberapa ulama, Abduh sedikit lebih rasional, sedangkan Ridha sedikit lebih atsari,” tutup pria kelahiran Lamongan tersebut.
Reporter: Yusuf