Susah dikasih tahu (Jawa: ngeyel) adalah salah watak dasar dan salah satu ciri masyarakat di negeri +62. Istilah dan simbol ini terus menjadi perbincangan nitizen dan menyeruak dalam ruang-ruang virtual, dunia maya yang menyusup dalam masyarakat tanpa sekat oleh ruang dan waktu.
Sikap Ngeyel
Sikap ngeyel ini, dalam istilah Madura , jika dikasih tahu malah memberi tahu (mon ebelein, malak ennah). Bukan pekerjaan mudah memberi tahu kepada orang yang sudah tahu. Memberi pengertian kepada orang yang sudah mengerti (ngeyel) seperti membangunkan orang yang berpura-pura tidur, sungguh susah. Dalam konteks ini, tampaknya susah bagi masyarakat Indonesia untuk menjalankan kebijakan tentang social distancing
Faktanya, meskipun ada fatwa ulama, baik MUI, PP Muhammadiyah, dan PBNU terbukti masyarakat tidak menggubrisnya. Padahal, kita memahami masyarakat Indonesia yang paternalistik. Sikap dan perilaku loyal apa yang disampaikan pemimpinnya selalu diikuti. Tetapi dalam konteks Covid-19 tidak sesuai dengan harapan.
Merebaknya wabah Covid-19 di Kota Wuhan sungguh membelalakkan mata dunia. Tak ada dunia yang tidak terkena Covid-19. Wabah ini tak mengenai Negara Adidaya, maju, dan berkembang, bahkan negara terbelakang . Hanya saja teknis dan kesigapan dalam penanganannya yang berbeda.
Jika negeri +62, wabah ini masih dinilai enteng-enteng saja. Elit politik sekelas menteri saja menilai bahwa Covid-19 tak lebih berbahaya ketimbang flu. Alih-alih akan sigap, cekatan, dan antisipatif dengan merebaknya Covid-19. Justru, nada berkelakar di tengah nestapa publik lantaran Covid-19 keluar pernyataan kelakar dari seorang Menteri Kesehatan dan Menteri Perhubungan. Tampaknya, gejala masyarakat di negeri +62 itu tidak hanya menjangkiti masyarakat kalangan bawah (grass root), tetapi masyarakat elit pun juga memiliki perilaku yang sama.
Pentingnya Pola Hidup Bersih dan Sehat
Banyak hikmah yang bisa diambil dari Covid-19. Salah satunya adalah tentang pentingnya pola hidup bersih dan sehat (PHBS).Tampaknya, sudah mafhum di masyarakat kita, ungkapan yang mengatakan bahwa kebersihan itu menjadi bagian dari iman (an-nadzafatu minal iman).
Kita tentu tidak memperdebatkan konteks apakah itu termasuk hadits sahih atau palsu atau sekadar pepatah Arab. Tetapi jika dilihat subtansinya, maka ungkapan itu menemukan ruangnya di tengah menyebarnya Covid-19. Ungkapan masyhur itu kemudian dipertegas dengan hadist Nabi yang mengatakan bahwa bersuci itu separuh dari keimanan (atthuru syatrul iman-HR. Muslim).
Saat covid-19 melaju deras seperti air bah yang sulit dibendung pergerakannya. Maka salah satu cara memutus mata rantai gerakan wabah ini dengan berdiam di rumah. Karena wabah ini menular yang diakibatkan oleh manusia yang bergerak, maka jika manusia itu berhenti, wabah itu berhenti juga tidak akan menular. Tentu juga cara memproteksi penyebaran virus ini dengan mencuci tangan menggunakan sabun atau Hand Sanitizer. Dengan mencuci tangan dengan sabun selama 20 detik maka virus itu akan mati
Tengoklah saat ini, banyak orang yang sudah menggunakan masker, meskipun tidak semua. Dan hampir semua area publik seperti pertokoan, Bank, pom bensin tersedia tempat untuk mencuci tangan. Seringkali kesadaran bagi masyarakat akan muncul dengan sendirinya jika ada bukti riil tentang pentingnya menjaga kebersihan.
Ekspresi Religius Neo-Jabariyah
Pepatah mengatakan bahwa satu keteladanan lebih dahsyat pengaruhnya atau dampaknya ketimbang seribu ceramah. Tentu dengan adanya Covid-19 ini masyarakat dengan sendirinya sadar bahwa pola hidup sehat dan bersih itu adalah salah satu anjuran dan dogma agama. Dogma agama seringkali menguap bersama dengan waktu jika belum ada bukti riil mengenai doktrin tersebut. Padahal jika dikatakan masyarakat ateis atau tidak percaya Tuhan karena seringkali abai dengan perintah Tuhan, pastilah akan marah. Lha wong religius, kok dibilang ateis!
Manusia Indonesia itu sangat religius, meskipun kadang miris karena saking religiusnya sampai salah kaprah. Ungkapan tidak usah takut kepada Corona, tetapi takut kepada Tuhan. Ungkapan sesat dan menyesatkan dan egois ini muncul dari tokoh agama. Meminjam bahasa Fathurrahman Kamal, Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa pernyataan itu sebagai ekspresi teologi Neo-Jabariyah, dungu, dan menyesatkan.
Religius yang membabi buta. Atau mungkin sok religius. Terbukti, fatwa Ulama diabaikan. Anjuran para Ustadz, Kiai yang sanad keilmuannya tak terbantahkan, masih diragukan. Lantas keberagamaan semacam apa yang dianut jika para ulama yang termaktub dalam kitab suci sebagai pewaris Nabi masih tidak dipedulikan?
Keselamatan Manusia
Itulah realitas keberagamaan yang jumud, seenaknya sendiri (Jawa: sak karepe dewe) di mana praktik keberagamaan jauh dari dimensi ilmu pengetahuan. Makanya, dikisahkan dalam satu riwayat, Setan lebih tertarik dan suka menggoda orang yang ahli ibadah tetapi dungu, bodoh. Spirit beragamanya melampaui kadar pengetahuannya. Manusia seperti ini pasti tersiksa menjalankan perintah agama.
Tentu kita saling menjaga dan mengerti, bahwa rukhsah, keringanan dalam menjalankan perintah agama. Karena ada halangan yang dibenarkan secara syar‘i maka boleh–boleh saja tidak dilakukan. Seperti tidak shalat berjamaah di Masjid, mengganti shalat Jumat dengan shalat Dhuhur. Hal ini dilakukan untuk keselamatan jiwa manusia agar tidak terkena wabah Covid-19. Mengedepankan kepentingan manusia di atas kepentingan Tuhan lebih utama dan pertama, karena pada hakekatnya kita ini sebagai perwakilan Tuhan di muka bumi ini.
Editor: Arif