Okky Madasari melalui novelnya yang berjudul Maryam berhasil menunjukkan bagaimana kebebasan beragama di Lombok menjadi hak yang sulit didapatkan oleh umat minoritas di sana. Sedangkan Mahfud Ikhwan dalam novel Kambing dan Hujan memperlihatkan fenomena kehidupan masyarakat Indonesia melalui tokoh-tokoh yang memilih antara Islam tradisional dan Islam modern. Keduanya, memperlihatkan bagaimana cara kita beragama.
Sebelum melanjutkan membaca tulisan ini, alangkah lebih baik untuk pembaca juga menelaah karya Maryam dan Kambing dan Hujan. Kemudian pembaca bebas menginterpretasikan imaji-imaji terhadap dua karya ini.
Maryam Bukan Orang Kafir
Novel Maryam karya Okky Madasari adalah sebuah novel yang berangkat dari kisah nyata. Bagaimana kehidupan minoritas di Lombok mendapat perlakuan tidak adil dan hidup dalam kesengsaraan. Mungkin sampai saat ini kehidupan mereka tidak berubah dan tidak mendapat perhatian dari pemerintah.
Tokoh utamanya adalah Maryam, seorang perempuan asal Lombok yang merantau ke Jakarta untuk bekerja. Memiliki keluarga di Lombok dan menjadi penganut Ahmadiyah ternyata membawa Maryam ke dalam mimpi buruk yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
***
Awalnya kehidupan Maryam kecil dan keluarganya terasa damai dengan muslim-muslim lain di Lombok. Ayahnya yang seorang nelayan sukses, tidak segan membantu muslim lain walau bukan berasal dari satu masjid yang sama. Semua berubah ketika Maryam beranjak dewasa dan memilih kembali pulang ke Lombok. Berusaha menenangkan diri dari permasalahan yang ia rasakan di Jakarta.
Maryam merasakan cinta kepada pemuda Jakarta yang bukan seorang pemeluk Ahmadiyah, kedua orang tua Maryam sudah khawatir dengan pilihan anaknya. Tetapi Maryam tetap nekat untuk menjalankan kisah asmaranya. Sang kekasih tidak pernah mempermasalahkan iman Maryam.
Sedangkan orang tua sang kekasih tidak setuju dengan hubungan mereka. Sampai akhirnya luluh lantaran pendirian cinta Maryam dan sang kekasih yang kukuh. Hingga membawa mereka ke pelaminan, dengan satu syarat. Maryam harus membaca syahadat.
Tentu saja syarat ini membuat Maryam heran, mengapa ia harus membaca syahadat? Ia adalah muslim sejak lahir. Kedua orang tua Maryam juga muslim yang taat. Sebagai pemeluk Ahmadiyah, Maryam heran terhadap stereotip orang-orang. Maryam dianggap kafir karena ia berbeda dengan masyarakat sekitar. Ia dikatakan sesat karena memiliki tempat dan peribadatan sendiri.
Tekanan yang ditujukan kepada Maryam di Jakarta membuatnya tidak tahan dan memilih pulang ke Lombok. Berkumpul bersama keluarga yang sudah lama ia tinggalkan.
Betapa terkejutnya Maryam yang melihat bagaimana kondisi keluarga dan pengikut Ahmadiyah di kampungnya; mereka terusir, teraniaya, dan terampas hak-haknya. Peristiwa yang dialami oleh Maryam ternyata tidak hanya terjadi di kampungnya, namun malapetaka ini meluas ke berbagai daerah lain di Lombok.
Pengikut Ahmadiyah di Lombok harus terusir dari kampung halamannya, mereka kehilangan harta, benda, bahkan anggota keluarga terdiskriminasi. Mereka harus hidup di kamp pengungsian dengan keadaan trauma. Kobaran api, teriakan amarah massa, dan mayat korban-korban tidak bersalah, tidak akan pernah hilang dari ingatan pemeluk Ahmadiyah di Lombok.
Islam Tradisional dan Islam Modern
Kisah ini dimulai dengan percintaan sepasang sejoli, Mif dan Fauzia. Anak desa yang kuliah di Kota. Pertemuan singkat di bus ternyata membawa mereka untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Namun kisah cinta mereka harus terbentur kisah masa lalu kedua orang tua yang rumit dan belum terselesaikan.
Mif sarjana sejarah lulusan kampus di Yogyakarta. Ia jatuh cinta kepada Fauzia anak desa Centong yang kuliah di Surabaya. Perkenalan singkat mereka di bus dan saling berkirim surel telah memantapkan hati mereka untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Tetapi cinta mereka tidak direstui oleh kedua orang tua masing-masing.
Masa lalu Pak Is, ayahnya Mif dan Pak Fauzan, ayahnya Fauziah, harus terseret dalam kisah hidup anak-anaknya. Pak Is yang merupakan tokoh masjid Utara dan Pak Fauzan (Mat) adalah tokoh masjid Selatan di Centong. Mereka adalah tokoh pembaharu dan tokoh Nahdiyin di desanya.
Dari surat-surat lama yang disimpan oleh Pak Fauzan, juga cerita dari Pakde Anwar, Mif dan Fauzia akhirnya mengetahui sejarah dua kelompok muslim yang berseberangan di Centong sejak tahun 1960-an, sekaligus mengetahui latar belakang hubungan ayahnya.
Keadaan itu membawa tokoh Is dan Mat ke dalam konflik. Mereka tidak saling menyapa selama puluhan tahun. Mereka hidup dalam kesalahpahaman yang belum terselesaikan oleh keduanya.
***
Is kecil yang pandai, tidak mampu melanjutkan pendidikan di pesantren. Setelah lulus SR (Sekolah Rakyat) ia lebih memilih belajar di masjid dan berguru kepada Cak Ali.
Sedangkan Mat yang berasal dari keluarga berkecukupan memilih belajar di pesantren. Sepeninggal sahabatnya, Is mulai menjadi pribadi yang terkagum-kagum dengan Cak Ali gurunya. Gurunya tersebut membawa pengaruh yang luar biasa bagi Is.
Setelah melihat perkembangan sahabatnya. Mat merasa janggal. Pemikiran Is sangat bertentangan dengan Mat dan masyarakat di Centong. Begitu pula dengan Is, Cak Ali, dan teman-temannya yang merasa bahwa masyarakat Centong perlu diluruskan kembali dalam hal beragama. Niat baik Cak Ali, Is, dan kawan-kawannya adalah permulaan yang mengantarkan mereka menuju konflik.
Masyarakat yang tidak suka dengan Is dan Cak Ali mengusir mereka, mereka dilarang beribadah di masjid lagi karena menimbulkan kerusuhan. Akhirnya Is dan Cak Ali mendirikan masjid di Utara. Perkembangan masjid Utara dan pengikut yang semakin bertambah, menyebabkan persaingan bagi kedua masjid. Mereka saling menunjukkan eksistensi dengan mendirikan madrasah di wilayah masing-masing.
Persaingan tersebut akan semakin terasa dengan kehadiran bulan ramadan dan lebaran di desa Centong. Perbedaan pemahaman dan tradisi membuat mereka sulit untuk melaksanakan malam takbiran dan salat ied bersama. Padahal takbiran dan salat ied bersama adalah mimpi yang diharapkan oleh Mif dan Fauzia.
Editor : Dhima Wahyu Sejati