Mulanya, ucapan terimakasih teruntuk penulis essay dengan judul “Menjaga Ukhuwah Muhammadiyah-NU.” Sebagai upaya klarifikasi yang cukup membuat pembaca percaya sejenak. Menulis sekaliber tentang apa, mengapa, dan bagaimana sikap NU yang katanya berbuntut panjang serta berbagai proposisi menarik! Cukuplah buntut panjang itu berakhir meruncing dan menjadi buntut, agar sekilas tentang NU tidak menjadi tafsiran sepihak belaka.
Sebagai pemuda kampung yang berkhidmat di NU, dari jauh melihat tulisan itu, sejenak teringat bagaiman permintaan maaf itu dengan tulus dan mulus. Cair dengan pembuka tertib administrasi, tidakkah memahami bahwa NU adalah jam’iyah yang santun dan damai? Mengingat NU memilih Manhajul Fikr al-‘Adalah (keadilan) secara masif disampaikan dalam pelatihan-pelatihan NU, baik dari Banom NU kalangan pelajar, Mahasiswa, dan Pemuda bahkan para asatidz yang kami hormati. Konsep itu menjadi bagian cara pandang melihat bagaimana kita menghargai sebuah konsensus hukum serta mekanisme berwarga negara. Kalau dikatakan sebagai tertib organisasi dalam tubuh Muhammadiyah, secara tegas itu sudah menjadi pola pikir dalam NU.
Menjadi hal yang tidak menarik ketika narasi tersebut bersanding dengan pemaparan keberadaan Masjid Gede yang berada di lingkungan mayoritas Muhammadiyah. Mungkin ini maksud tersiratnya? Bukankah ada berbagai gelar acara yang telah dilakukan Muhammadiyah di kandang NU, utamanya di Jawa Timur, BANSER dengan setia membantu mengawal agar acara tersebut lancar? Bukan karena takut warga Nahdliyyin menyerang, justru itulah wujud penerimaan sebagai teman. Lagi-lagi, sikap semacam itu sudah ada di Manhajul Fikr kita, yaitu Tasamuh (Toleran), Tawasuth (Tengah-tengah), Tawazun (Seimbang), dan Ta’adul (Keadilan). Ini semua tertuang dalam Manhajul Harokah NU sebagai laku tindak dan bersikap “menjaga ukhuwah.” Ini sudah menjadi ruh NU.
Sekali-kali, ikutilah berbagai acara NU, termasuk seminar-seminar yang dilakukan oleh kalangan millenials NU, seperti PMII, IPNU-IPPNU, ISNU, ANSOR, dan giat santri di pesantren-pesantren NU yang tengah asik mengasah diri menjadi orang yang alim dan kepo terhadap disiplin keilmuan.
Terakhir, marilah jalin Ukhuwah Islamiyah dengan baik. Berlomba-lombalah dengan cara yang baik. Bukankah sudah menjadi ketentuan bahwa kita naik tanpa menjatuhkan? Lagi-lagi, kami tidak menuang seruan ini dalam bentuk surat terbuka, tapi menuangnya menjadi ruh sebagai pola pikir dan pola bertindak. Semoga terus terjaga ukhuwah ini.
Editor: Arif