Perkembangan Islam dan tasawuf di Nusantara tidak lepas dari Peran Wali Songo dan Syekh Siti Jenar (W. 1517 M). Pemahaman keagamaan sufistik keduanya memiliki banyak perbedaan. Ajaran Syekh Siti Jenar yang bercorak falsafi dianggap sesat, sehingga terjadi konflik yang menyebabkan ia dihukum mati oleh Raden Fatah.
Hamzah Fansuri (W.1527 M) termasuk orang yang pertama mengembangkan ajaran tasawuf di Nusantara. Corak tasawufnya tasawuf falsafi seperti yang dikembangkan oleh Ibn Arabi, ajaran utamanya mengenai Wujudiyah.
Tokoh tasawuf yang lain yang memiliki peran besar adalah Syamsuddin Sumatrani (W. 1630 M) murid Hamzah Fansuri yang turut menyebarluaskan ajaran wujudiyah. Selain keduanya, sufi yang memiliki pengaruh besar di Nusantara adalah Nuruddin al-Raniri (W. 1658 M) tasawufnya bercorak tasawuf akhlaqi, kedua aliran ini memiliki perbedaan yang menyebabkan terjadinya konflik.
Pertikaian antara aliran tasawuf falsafi dan akhlaqi sangat panjang dan rumit. Keduanya mengklaim dirinya benar. Keduanya berpegang pada pedoman ‘aqidah-syariat-tasawuf yang benar. Akan tetapi sebagian aliran tasawuf dianggap sesat. Ajaran wujudiyah dianggap sesat dan bertentangan, selain Syekh Siti Jenar, ajaran Hamzah Fansuri ditolak dan tidak boleh diajarkan. Para pengikut wujudiyah dihukum dan diusir oleh sultan Aceh atas pengaruh al-Raniri.
Profil Nuruddin al-Raniri
Nuruddin al-Raniri seorang sufi Nusantara yang berasal dari India. Dalam catatan yang ditulis oleh R. Hoesein Djajadiningrat, ar-Raniri pertama kali berkunjung ke Aceh pada masa Sultan Iskandar Muda, tetapi tidak menetap lama.
Pada masa Aceh berada dibawah kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, ar-Raniri kembali ke Aceh dan langsung mendapatkan jabatan sebagai Mufti dan perlindungan serta dukungan dari Sultan. Kedudukan ar-Raniri sebagai Syaikhul Islam mempengaruhi budaya politik berorientasi Islam menjadi lebih Islam (versi ar-Raniri).
Kitab yang ditulisnya adalah Durrat al-Faraid bi Syarh al-Aqaid, al Shirath al-Mustaqim, Lata’if al-Asrar dan Bustan as-Salatin fi dzikr al-Awwalin al-Akhirin. Yang terakhir merupakan magnum opus dari Nuruddin al-Raniri karena di dalamnya mencakup sejarah kerajaan Aceh, sistem sebuah daulat dan sikap bagi seorang raja.
al-Raniri dan Paham Wujudiyah
Nuruddin al-Raniri dikenal sebagai ulama ortodoks yang mengkritik bahkan tak kenal kompromi dengan ajaran tasawuf Hamzah Fansuri. Sikap tak kenal kompromi terhadap ajaran Wujudiyah, berasal dari latar belakang dan lingkungan Hindu di India yang penuh konflik sosial dan keagamaan antara kelompok Muslim minoritas dan Hindu mayoritas. Ketidak-kompromian yang dilakukan ar-Raniri terlihat dari karyanya yang menuduh penganut ajaran wujudiyah terutama Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani sebagai kafir dan sesat.
Bahkan para pengikut wujudiyyah disebut sebagai orang zindiq, mulhid, kafir dan musyrik. Al-Raniri sering kali melakukan perdebatan dengan pengikut aliran wujudiyah, bahkan perdebatannya pernah terjadi di Istana dan disaksikan oleh sultan. Namun sultan terpengaruh oleh pemikiran al-Raniri sehingga ia mendapatkan dukungan dari kerajaan.
Nuruddin Al-Raniri berulang kali mengajak pengikut aliran wujudiyah untuk bertobat dari kesesatan mereka, namun mereka menolak dan tetap teguh atas pendiriannya. Sehingga lahirlah doktrin raja agar para pengikut wujudiyah dihukum dengan dibunuh dan dilakukan pembakaran karya Hamzah Fansuri dan Syamsuddin Sumatrani di masjid Bayt al-Rahman Aceh.
Salah satu kritikan al-Raniri terhadap kaum wujudiyah mengenai konsep syatahat yang merupakan ungkapan yang dilontarkan seorang sufi ketika dalam keadaan fana. Menurutnya, pelaku syatahat harus dihukum, walaupun orang yang bersyahadat tersebut beriman, hukumnya berupa pengkafiran dan darahnya halal untuk dibunuh dan di akhirat berada di neraka yang kekal.
Ada argumen yang menguatkan, bahwa pembunuhan yang terjadi pada pengikut Wujudiyah berkaitan dengan politik. Hal ini didasarkan pada adanya sekelompok orang yang ingin menggeser kekuasaan Sultan Iskandar Tsani, karenanya keputusan hukuman tersebut ditindak secara tegas. Peristiwa pembunuhan ini ditulis sendiri oleh ar-Raniri dalam kitab yang Ia tulis Bustan al-Salathin.
Kitab yang ditulis ar-Raniri banyak mengutip tokoh yang masyhur dan karya para tokoh tersebut dan dijadikan dasar argumen dari tulisan-tulisannya. Hal ini menjadi dasar dari penyebaran gagasan pembaharuan yang dilakukannya di kawasan Nusantara khususnya Aceh. Kontribusi lainnya, al-Raniri mendorong kelahiran serta perkembangan pembaharuan Islam di Melayu.
Editor: Soleh