Opini

Nusyuz: Pengertian, Hukum, dan Tata Cara

4 Mins read

Dalam menjalani kehidupan rumah tangga, dinamika pasti terjadi. Tidak mungkin sebuah rumah tangga berjalan monoton tanpa bumbu dan warna yang menghiasinya. Namun, jika terjadi nusyuz, yaitu ketidakpatuhan atau pelanggaran terhadap kewajiban dalam rumah tangga, diperlukan komunikasi yang bijak untuk menyelesaikannya. Tafahum (saling memahami), tarahum (saling menyayangi), dan takamul (saling menyempurnakan) diperlukan untuk menjaga keutuhan dan keharmonisan rumah tangga.

Namun, ada faktor-faktor yang dapat menyebabkan ketidakharmonisan, seperti istri yang kelelahan menjalankan tugas rumah tangga, kehadiran orang ketiga (perselingkuhan), atau gangguan dari keluarga besar, seperti hasutan saudara yang mengadu domba. Faktor-faktor ini sering kali memicu pembangkangan (nusyuz) dalam perspektif Islam.

Bagaimana hukum nusyuz? Apa itu nusyuz? Bagaimana pandangan ulama mazhab terhadap masalah ini? Untuk memahami secara mendalam, kita perlu merujuk pada kitab-kitab turats dengan pembahasan sebagai berikut:

Definisi Nusyuz dan Tanda-Tanda Pembangkangan

Dalam kitab Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri menjelaskan:

  • Secara bahasa (lughatan): al-irtifā‘, yang berarti “meninggi” atau “meninggikan diri”.
  • Secara istilah syar‘i (syara‘an): keluarnya seorang istri dari ketaatan kepada suami dengan cara “meninggikan diri” (menolak) untuk memenuhi hak-hak yang wajib dipenuhi, yaitu:
  • Taat kepada suami dalam hal yang ma‘ruf (bukan maksiat).
  • Bergaul atau berinteraksi dengan baik.
  • Menyerahkan diri untuk hubungan suami-istri ketika tidak ada uzur syar‘i.
  • Tinggal di rumah yang disediakan suami dan tidak pergi tanpa izin atau alasan yang dibenarkan secara syariat.

Dalam literatur lain, yaitu kitab Al-Muqni‘ karya Imam Ibnu Qudamah, dinyatakan:
Definisi nusyuz: Maksiat istri terhadap kewajiban kepada suami. Tanda-tandanya meliputi menolak ajakan suami untuk berhubungan atau menurutinya dengan kebencian dan keterpaksaan.
Hukum nusyuz: Haram bagi istri melakukan nusyuz. Jika suami memiliki lebih dari satu istri, nusyuz menyebabkan gugurnya giliran istri tersebut, serta nafkah dan hak-hak yang menyertainya.
(Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, hlm. 227, Darul Minhaj)

Baca Juga  Sosialisme Islam Menurut H.O.S. Tjokroaminoto

Dalam literatur mazhab Hanbali, seperti kitab Akhsar Mukhtasarat dan Umdatu Thalib, pembahasan nusyuz tidak diuraikan secara rinci, melainkan secara ringkas. Matannya berbunyi:
“Wal-nusyuz haram, wa huwa ma‘siyatuha iyyahu fima yajibu ‘alaiha.”
Artinya, nusyuz adalah pembangkangan istri terhadap kewajiban syar‘i kepada suami, dan hukumnya haram.

Tata Cara Menangani Pasangan yang Melakukan Nusyuz

Ketika salah satu pasangan, baik suami maupun istri, melakukan nusyuz, ada beberapa tahapan yang perlu dilakukan untuk mendidik dan menegur guna menyadarkan pentingnya kehadiran pasangan. Langkah ini juga bertujuan mengembalikan suasana sakinah dalam rumah tangga. Berikut tahapan penanganan nusyuz:

Imam Mansur bin Yunus Al-Buhuti, ulama mazhab Hanbali, menjelaskan:
Jika muncul tanda-tanda nusyuz, langkah pertama adalah suami menasihati istri. Jika istri tetap menolak, suami boleh menjauhinya di tempat tidur dan tidak berbicara dengannya hingga tiga hari. Jika istri tetap keras kepala, suami boleh memukul dengan pukulan ringan. Suami juga diperbolehkan memukul secara ringan jika istri meninggalkan kewajiban kepada Allah.
(Umdatu Thalib, Imam Mansur bin Yunus Al-Buhuti, hlm. 199)

Dalam kitab Umdatul Fiqh karya Imam Ibnu Qudamah, ditambahkan:
Fasal (Nusyuz):

  • Jika seorang istri khawatir suaminya melakukan nusyuz atau menolaknya, ia boleh meminta damai dengan menggugurkan sebagian haknya, sebagaimana yang dilakukan Sayyidah Saudah r.a. ketika khawatir Rasulullah saw. akan menceraikannya.
  • Jika suami khawatir istrinya melakukan nusyuz, hendaklah ia menasihatinya.
  • Jika tanda-tanda pembangkangan tampak, suami memisahkan diri dari tempat tidur istri.
  • Jika belum berhasil mendamaikan, suami boleh memukul dengan pukulan yang tidak menyakitkan.
  • Jika situasi semakin runyam, hakim dapat mengutus seorang dari keluarga suami dan seorang dari keluarga istri yang terpercaya untuk mendamaikan. Keputusan mereka mengikat.
    (Umdatul Fiqh, Ibnu Qudamah, hlm. 96-97, Pustaka Al-Wadhi, Indonesia)
Baca Juga  Komunikasi Dakwah: Belajar dari Prof Nasaruddin Umar

Dalam literatur lain, Imam Ahmad Shawy, penulis kitab Bulghatus Salik, memaparkan tata cara penanganan nusyuz yang serupa dengan mazhab lain, namun lebih merinci makna hijr dan mubarrih:

  • Hijr: Suami mengasingkan istri di tempat tidur, dengan batas maksimal satu bulan. Pengasingan tidak boleh mencapai empat bulan.
  • Al-mubarrih: Pukulan yang mematahkan tulang atau melukai daging. Jika suami memukul hingga melukai, ia dihukumi bersalah (jani), dan istri berhak meminta cerai serta menuntut qishash.
    Kebolehan memukul hanya berlaku jika diperkirakan bermanfaat. Jika tidak, memukul dilarang. Ini berbeda dengan nasihat dan hijr, karena memukul memiliki dampak lebih keras.
    (Hasyiatus Shawy Ala Syarhis Shaghir: Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik, Jilid 2, hlm. 522)

Hak-Hak yang Gugur

Para ulama berbeda pendapat mengenai hak-hak yang gugur ketika istri melakukan nusyuz. Hal ini perlu menjadi bahan refleksi agar istri menghindari nusyuz.

Habib Salim bin Said Bukayyir Bagistan, pentahqiq kitab Al-Yaqut An-Nafis, memberikan catatan:
Hak-hak yang gugur meliputi pakaian, tempat tinggal, peralatan kebersihan, dan sejenisnya. Jika istri kembali taat, hak-hak seperti pakaian untuk periode nusyuz tidak kembali. Istri harus menyediakan sendiri kebutuhan tersebut hingga periode berikutnya. Suami akan memberikan pakaian pada periode berikutnya. Nafkah harian juga tidak wajib diberikan suami kecuali setelah hubungan suami-istri terjadi. Jika tidak ada hubungan, nafkah dan hak tempat tinggal kembali menjadi hak istri.
(Al-Yaqut An-Nafis, Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, hlm. 227-228, Darul Minhaj)

Dalam kitab Bulghatus Salik Liaqrabil Masalik, Imam Ahmad Shawy menjelaskan:
Para ulama berbeda pendapat mengenai kewajiban nafkah bagi istri yang nusyuz. Pendapat yang dianggap shahih menyatakan bahwa jika suami mampu mengendalikan istri (meski melalui putusan hakim) tetapi tidak melakukannya, kewajiban nafkah tetap ada. Namun, jika istri tidak terkendali karena fanatisme keluarganya atau hukum hakim tidak berlaku baginya, maka kewajiban nafkah gugur.

Baca Juga  Kenapa Gagasan Cendekiawan Muslim Selalu Gagal Mendobrak Dominasi Barat?

Perbaikan yang Dilakukan Berdasarkan EYD dan PUEBI:

  1. Penulisan Istilah Asing dan Transliterasi: Istilah Arab seperti nusyuz, tafahum, tarahum, takamul, ma‘ruf, syar‘i, dan lainnya ditulis dengan huruf miring sesuai PUEBI untuk istilah asing. Transliterasi disesuaikan dengan pedoman transliterasi bahasa Arab, misalnya syara‘an (bukan شرعاً), lughatan (bukan لُغَةً), dan al-irtifā‘.
  2. Konsistensi Penulisan Mazhab: Kata madzhab diperbaiki menjadi mazhab sesuai EYD.
  3. Tanda Baca: Tanda baca seperti titik, koma, dan tanda hubung diperbaiki untuk konsistensi dan kejelasan. Misalnya, tanda titik setelah kutipan matan Arab ditambahkan.
  4. Kapitalisasi: Huruf kapital digunakan untuk nama kitab (Al-Yaqut An-Nafis, Al-Muqni‘, dll.) dan nama tokoh (Habib Ahmad bin Umar Asy-Syatiri, Imam Ibnu Qudamah, dll.) sesuai aturan PUEBI.
  5. Klarifikasi Istilah: Istilah seperti hijr dan mubarrih diberi penjelasan singkat untuk memperjelas makna.
  6. Struktur Kalimat: Kalimat yang terlalu panjang atau ambigu disederhanakan tanpa mengubah makna, misalnya “ta’dib ini juga untuk mencoba menghadirkan kembali rasa sakinah” diperbaiki menjadi “langkah ini juga bertujuan mengembalikan suasana sakinah”.
  7. Konsistensi Ejaan: Kata seperti “menasehati” diperbaiki menjadi “menasihati” sesuai KBBI.

Editor: Assalimi

Aeger Kemal Mubarok
21 posts

About author
Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *