Prinsip-prinsip Buruh dalam Islam
- Prinsip keadilan adalah prinsip saling menepati janji (QS. Al-Baqarah: 177). Majikan/investor sebagai pemilik menawarkan suatu pekerjaan dengan memberi besaran gaji dan fasilitas lainnya. Buruh adalah pelaksana pekerjaan berhak menerima sejumlah gaji dan fasilitas lainnya. Masing-masing harus loyal terhadap perjanjian yang sudah disepakati itu.
- Prinsip kesetaraan adalah kerja sama yang baik antara penyedia jasa (buruh), dan pengguna jasa (majikan). Buruh mengharapkan gaji sebagai sarana kebahagiaan hidupnya; sedangkan buruh mengharapkan terlaksanakannya pekerjaan sebagai sarana berkembangnya perusahaan itu. QS. Al-Hujurat ayat 13 menyatakan bahwa mereka harus lita’aruf (saling mengenal/saling kerjasama) dan mengutamakan kemulian.
Syarat-syarat Perburuhan
Akad buruh pengusaha ini bisa dianggap sah apabila memenuhi beberapa syarat:
- Kerelaan kedua belah pihak bahwa buruh sebagai pelaksana pekerjaan dengan senang dan rela hati menerima sejumlah tugas yang harus dikerjakan dengan konsekuensi menerima upah/imbalan sesuai kesepakatan. Demikian pula, investor sebagai pemilik pekerjaan menerima jasa kerja dengan konsekuensi membayar sejumlah upah yang sudah dispekati bersama. Kesepakatan dua belah pihak ini ditulis oleh sekretaris dan disokumentasikan sebagai pedoman untuk kedua belah pihak.
- Tidak mengandung riba, besar kecilnya upah sudah pasti.
- Tidak mengandung gharar (spekulasi). Kerja sama antara buruh dan investor tersebut, tidak mengandung sesuatu yang bersifat untung-untungan (spekulasi).
- Tidak mengandung dharar (mara bahaya). Artinya, kerjasama itu tidak saling membahayakan fisik dan jiwa masing-masing. Jika pekerjaan itu dipandang membahayakan bagi pekerja, maka harus ada tambahan upah sebagai jaminannya.
- Tidak ada pemerasan. Artinya, tidak ada salah satu pihak yang merasa dirugikan. Karena itu, besar kecil upah harus selalu dikoreksiulang sesuai zamannya).
Lapangan Kerja yang Dipekerjakan
Lapangan pekerjaan yang digarap pada masa hidup Rasulullah adalah yang berkaitan dengan pengembangan kitabullah. Hal ini sesuai dengan tugas yang diberikan Allah kepadanya sebagai nabi dan rasul.
Rasulullah bersabda:
وَعَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم ( إِنَّ أَحَقَّ مَا أَخَذْتُمْ عَلَيْهِ حَقًّا كِتَابُ اَللَّهِ ) أَخْرَجَهُ اَلْبُخَارِيُّ
Dari Ibnu Abbas Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Hal yang paling patut kamu ambil upahnya ialah Kitabullah.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadis di atas, keumumannya memberi arti boleh, malah patut seseorang mengambil upah untuk:
- Membaca Al-Qur’an
- Mengajar membaca Al-Qur’an
- Mengajarkan isi-isi Al-Qur’an
- Mentablighkan pelajaran-pelajaran a\Alqur,an
- Mencetak Al-Qur’an
- Menjual nuskhah Al-Qur’an
- Mengobati dengan Al-Qur’an
- Menghukum dengan Al-Qur’an
Mengobati dengan Al-Qur’an
Kesehatan dalam Islam adalah hal yang sangat penting. Oleh karena itu, pekerjaan yang banyak disebut dalam Al-Qur’an dan hadis adalah masalah pengobatan atau jampi-jampi, maka banyak para shahabat yang berijtihad sendiri.
Sebuah hadis dari sahabat Abu Said Al Khudry
عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ نَ سًا مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانُوا فى سَفَرٍ فَمَرُّوا بِحَىٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَاسْتَضَافُوهُمْ فَلَمْ يُضِيفُوهُمْ. فَقَالُوا لَهُمْ هَلْ فِيكُمْ رَاقٍ فَإِنَّ سَيِّدَ الْحَىِّ لَدِيغٌ أَوْ مُصَابٌ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنْهُمْ نَعَمْ فَأَتَاهُ فَرَقَاهُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَبَرَأَ الرَّجُلُ فَأُعْطِىَ قَطِيعًا مِنْ غَنَمٍ فَأَبَى أَنْ يَقْبَلَهَا. وَقَالَ حَتَّى أَذْكُرَ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-. فَأَتَى النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَذَكَرَ ذَلِكَ لَهُ. فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَاللَّهِ مَا رَقَيْتُ إِلاَّبِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ. فَتَبَسَّمَ وَقَالَ « وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ ». ثُمَّ قَالَ خُذُوا مِنْهُمْ وَاضْرِبُوا لِى بِسَهْمٍ مَع
“Bahwa ada sekelompok sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu berada dalam perjalanan safar, lalu melewati suatu kampung Arab. Kala itu, mereka meminta untuk dijamu, namun penduduk kampung tersebut enggan untuk menjamu. Penduduk kampung tersebut lantas berkata kepada para sahabat yang mampir, “Apakah di antara kalian ada yang bisa meruqyah karena pembesar kampung tersebut tersengat binatang atau terserang demam.”
***
Di antara para sahabat lantas berkata, “Iya ada.” Lalu ia pun mendatangi pembesar kampung tersebut dan ia meruqyahnya dengan membaca surat Al-Fatihah. Maka, pembesar kampung itupun sembuh. Lalu yang membacakan ruqyah tadi diberikan seekor kambing, namun ia enggan menerimanya, -dan disebutkan- ia mau menerima sampai kisah tadi diceritakan kepada nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Lalu ia mendatangi nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan kisahnya tadi kepada beliau.
Ia berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidaklah meruqyah kecuali dengan membaca surat Al-Fatihah.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam lantas tersenyum dan berkata, “Bagaimana engkau bisa tahu Al-Fatihah adalah ruqyah?” Beliaupun bersabda, “Ambil kambing tersebut dari mereka dan potongkan untukku sebagiannya bersama kalian” (HR. Bukhari dan Muslim).
- Dari riwayat tidak terlihat bahwa Rasulullah mengajarkan kepada shahabatnya hal mengobati dengan menggunakan Qur’an sebagai lapangan kerja, tidak bergantung ke pihak lain
- Riwayat-riwayat jampi itu menunjukkan bahwa shahabat menjampi dengan ijtihad mereka bukan ajaran Nabi saw.
- Media untuk mengobati adalah membacakan surat Alfatihah, tidak lainnya, materi yang dipakai sehari-hari, tidak mengada-ada.
- Upah mereka peroleh sesudah pasien sembuh, jampi-jampi mereka manjur, yaitu setelah pekerjaan selesai dan jelas hasilnya.
Editor: Yahya FR