Rangkaian Aksi Teror
Dua minggu yang lalu, kita kembali dikejutkan dengan aksi teror di Gereja Katedral, Makassar. Hanya berselang tiga hari dari peristiwa itu, aksi teror kembali terjadi di Markas Besar Polisi Republik Indonesia (Mabes Polri).
Kejadian ini menjadi pertanda sekaligus pengingat bagi kita bahwa teroris masih nyata adanya. Paham radikal masih menghantui kedamaian dan keharmonisan dalam kehidupan bangsa.
Menurut keterangan Polri, pelaku aksi teror di Mabes Polri adalah seorang mahasiswi dari salah satu perguruan tinggi (selanjutnya disingkat PT) di Jakarta yang sudah di “drop out”.
Kendati demikian, fakta ini memberikan pesan bahwa paham radikal-ekstrem masih mendapat ruang di PT. Sampai di sini, timbul sebuah pertanyaan, mengapa paham radikal masih bisa menyusup ke dalam PT? Sedangkan PT merupakan ladang produksi pemikiran akademis dan akal sehat. Lalu, di mana posisi PT dalam membendung arus pemikiran radikal-ekstrem?
Paham Radikal di Perguruan Tinggi
Menjalarnya paham radikal di lingkungan PT bukan kasus baru di Indonesia. Fenomena ini sudah lama terjadi dan masih berkembang sampai saat ini, baik di PT umum, maupun yang berlatar belakang agama.
PT menjadi salah satu lahan subur bagi para oknum pengusung misi ideologi radikal-sering disebut dengan istilah kelompok Fundamentalis atau Jihadis–untuk mengkader mahasiswa menjadi pengikut setia mereka.
Sebab, mahasiswa lebih mudah ditemui dan diorganisir melalui berbagai kegiatan yang bernuansa keagamaan. Semboyan “mari hijrah” menjadi ajakan ampuh yang kerap dikumandangkan.
Umumnya, kelompok fundamentalis bernampilan sangat rapih yang menjadi daya tarik tersendiri bagi para mahasiswa. Para mahasiswa yang sudah terpapar paham radikal ini kemudian mengajak para mahasiswa lainnya untuk mengikuti kegiatan seperti pengajian (liqo’).
Ada juga yang membuat sebuah forum atau organisasi yang di dalamnya terdapat kegiatan kaderisasi. Pada kegiatan pengkaderan itulah yang menjadi ruang untuk menebarkan paham keagamaan yang ekslusif dan kemudian mendoktrin pemikiran para mahasiswa secara perlahan dan terus menerus.
Doktrin radikal juga dilakukan melalui berbagai literasi seperti buku, majalah, dan bahan ajar. Korbannya pun tidak hanya mahasiswa. Di berbagai Kota di Indonesia, tidak sedikit anak-anak muda dan siswa turut terjangkit virus-virus radikal (Baca Noorhaidi Hasan dkk: Literatur keislaman Generasi Milenial, 2017). Bahkan dalam beberapa kasus juga banyak dosen yang terbukti terpapar dan turut menebar paham radikal terhadap mahasiswa di PT.
Fakta-fakta tersebut masih ada dan terus berkembang di lingkungan PT kita. Seluruh civitas akademika mesti menyadarinya sebagai salah satu ancaman yang sangat berbahaya bagi PT dan bangsa. Apabila itu dibiarkan, PT juga akan kehilangan fungsi sebagai tempat melahirkan generasi intelektual, malah justru dijadikan tempat produksi kelompok radikal. Oleh karena itu, program moderasi beragama adalah niscaya untuk digalakkan di PT.
Upaya Membendung Paham Radikal di PT
Di era globalisasi ini, PT mesti kembali memberikan perhatian penuh terhadap arus radikalisme. Kita sadari, belakangan ini aktivitas akademik PT cenderung disibukkan mengejar prestasi di bidang sains dan inovasi teknologi. Akhirnya, aspek penanaman nilai-nilai kearifan dan paham keagamaan terasingkan dari sekala prioritas. Kealfaan ini memberikan celah bagi perkembangan paham radikal di PT.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan di PT untuk membendung paham radikal melalui kegiatan moderasi beragama.
Pertama, penguatan pemikiran dan sikap moderat bagi para dosen dan mahasiswa melalui kegiatan akademik seperti seminar, forum group discussion (FGD), dan diksusi rutin seputar tema-tema beragama yang inklusif dan moderat.
Para dosen dan mahasiswa mesti didorong untuk aktif mendakwahkan moderasi beragama baik secara lisan maupun tulisan yang diterbitkan di media cetak dan media massa.
Pendekatan akademis ini sangat penting dilakukan dan lebih efektif untuk mecegah menjalarnya paham radikal, ketimbang dengan pendekatan hukum dan kekerasan. Sebab, ihwal pemahaman radikal berkaitan erat dengan kesalahan cara pandang atau pemikiran yang terbentuk melalui doktrinasasi.
Oleh karenanya, mesti dilawan juga dengan doktrinisasi paham keagamaan yang moderat. Metode ini juga sering dikedepankan oleh salah satu mantan teroris, Ali Imron -aktor peristiwa Bom Bali tahun 2002 silam- melalui berbagai wawancara di media massa. Pada titik ini, pusat studi moderasi beragama di PT-khususnya PT Islam-harus mengambil posisi dalam ikhtiar tersebut.
***
Kedua, integrasi paham moderasi beragama melalui perkuliahan. Moderasi beragama tidak cukup melalui kegiatan yang bersifat sesaat atau hanya pada mata kuliah keagamaan. Melainkan, mesti dilakukan di setiap perkuliahan secara intens dan berkesinambungan (continue).
Para dosen harus didorong untuk senantiasa mengitegrasikan pemahaman keagamaan yang moderat (tawasuth), seimbang (tawazun),dan toleran (tasamuh). Senantiasa mendakwahkan wajah agama yang mencintai persatuan, persaudaraan, cinta damai damai, dan terbuka dengan segala bentuk perbedaan suku, agama, rasa, dan antargolongan (SARA).
Ketiga, civitas akademika PT harus mengorganisir setiap organisasi mahasiswa (Ormawa) dan forum-forum kajian mahasiswa khusunya yang diduga terafiliasi dengan kelompok radikal. Bisa jadi keleluasaan kelompok fundamentalis juga disebabkan keabsenan kampus dalam mengkontrol Ormawa atau forum mahasiswa. Monitoring dan kontroling secara terus-menerus perlu dilakukan setidaknya agar mempersempit ruang gerak kelompok ekstrimis.
Akhirnya, peran PT dalam menumpas paham radikal-ekstrim memang bukan sebuah pekerjaan yang bisa diselesaikan dalam waktu sehari semalam. Namun, ikhtiar-ikhtiar melalui pendekatan akademis tersebut paling tidak menjadi sebuah keseriusan peran PT untuk melawan dan meminimalisir menjalarnya paham keagamaan ekslusif atau gerakan radikal di negeri ini. Semoga!
Editor: Yahya FR