Oleh: Cahyo Seftyono*
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI (Mendikbud) Nadiem Makarim, beberapa hari lalu mengemukakan gebrakan baru terkait pendidikan kita (Web Kemendikbud, 24 Januari 2020). Melanjutkan semangat membebaskan pendidikan dari belenggu aturan sebagai bagian dari era disrupsi, kini giliran Perguruan Tinggi (PT) yang berusaha diberi sentuhan midas. Pak Menteri ingin agar PT-PT kita bisa memberikan wawasan yang luas, sekaligus memerdekakan.
Sembari menunggu rilis yang lebih lengkap, sepertinya ada beberapa persoalan penting yang kontra-produktif atau butuh setidaknya persiapan yang sangat matang demi mewujudkan gagasan tersebut. Khususnya berkenaan dengan internasionalisasi yang direpresentasi melalui akreditasi dan koneksi PT dengan stakeholder terkait yang digadang-gadang muncul lewat magang-magang pengganti SKS.
Pertama, merdeka tapi menggantung ke label internasionalisasi. Apakah setiap yang berlabel internasional selalu lebih baik? Kalau menjadikan akreditasi internasional sebagai parameter mutu institusi di dalam negeri, ini apanya yang merdeka? Kedua, soal usul kegiatan di luar kampus pengganti SKS. Ini juga bukan hal baru. Beberapa kampus sudah memberlakukan ini. UGM misalnya, sudah menjadikan laporan magang di institusi tertentu sebagai pengganti skripsi. Mari kita kaji lebih rinci.
Beberapa Persoalan Krusial dan Solusinya
Penjelasannya begini. Pertama, dalam konteks internasionalisasi, benar bahwa kita membutuhkan jejaring berskala internasional. Tapi jangan salah, kekhasan lokalitas kita juga bagian penting dalam konteks kekayaan sumber daya riset, lokus kajian, termasuk juga akademisi, dan penelitinya. Dengan demikian, apresiasi atas sumber daya yang ada itu tidak serta merta dari akreditasi internasionalnya semata, melainkan dari rekognisi peer. Tentu secara internasional, yang kita juga merupakan bagian di dalamnya, bukan berarti kita di “luar internasional.”
Dengan mendudukkan bahwa kita bagian dari internasional itu, kita juga menjadi bagian dalam pengembangan keilmuan secara global. Kita semua setara dan berhak dalam memberikan kontribusi akademik. Bahkan, beberapa diaspora kita juga mendapat apresiasi tinggi di luar negeri. Artinya, menjadikan PT dan sumber daya kita internasional bukan karena posisinya dan pengakuannya dari lembaga tertentu di luar negeri, dalam hal ini pengakreditasi/pengindeks, melainkan asosiasi-asosiasi keilmuan yang memberikan pengakuan. Tidak diakui (diakreditasi) internasional, tetapi ada begawan ilmu yang memberi garansi, saya kira itu lebih bermakna.
Jika saja kita menjadikan akreditasi dan indeksasi sebagai pedoman dalam mendapatkan pengakuan bersama, maka itu justru bukan memerdekakan. Justru menjadikan kita terbelenggu pada instrumen-instrumen lembaga pemeringkatan. Lebih jauh, dengan merujuk pada hal tersebut, sesungguhnya memperbesar pula jarak kesenjangan antara satu lembaga dengan lembaga yang lain. Sebabnya tentu sumber daya yang ada memang tidak berimbang, termasuk nilai-nilai yang diusung. Internasionalisasi dalam konteks modernisasi tentu saja hanya menguntungkan lembaga-lembaga yang memiliki sumber daya finansial kuat. Lalu, bagaimana dengan nasib lembaga lain yang secara pendanaan kecil?
Menjadi Tidak Siap Pakai
Pemerintah akan lebih baik jika menggunakan pendekatan rekognisi peer dan kolaborasi dibandingkan dengan menjadikan akreditasi internasional sebagai standar untuk menentukan satu lembaga sudah baik atau tidak. Karena bisa jadi dalam satu institusi juga, terdapat jurusan atau sekolah yang berkualitas dan punya keunikan, namun pada bagian yang lain belum baik.
Memang hal ini menjadi “tidak siap pakai” karena kita berarti perlu mengenali lebih banyak hal di dalam institusi kita mana yang memang bisa menjadi ujung tombak kemajuan lembaga, dan mana yang masih perlu didorong menjadi lebih baik. Termasuk nilai-nilai lokalitas yang sesungguhnya itu juga merupakan kekayaan akademik kita. Dengan mengembangkan pendekatan kolaborasi dan bukan kompetisi, maka apa yang kita miliki juga dapat menjadi nilai bersama dan kita memiliki keunggulan pada bidang yang sesungguhnya dapat menjadi item penting dalam penilaian berkelas internasional.
Kedua, soal pengakuan kegiatan non kampus sebagai pengganti SKS. Sebenarnya hal ini menarik, dan sudah diberlakukan di beberapa PT. Apakah memang Pak Mentri tidak sempat mencari informasi ke bawah, atau memang ada jarak komunikasi antara kementrian dengan PT? Bagaimana pun usulan ini memang perlu dipikirkan matang sehingga gagasan “sukses dari luar kelas” ini bisa berhasil baik.
Usulan bahwa mahasiswa perlu memperbanyak magang agar menjadi siap kerja sempat direspon secara menggelitik oleh Prof. Ariel Heryanto di Twitter (24 Januari 2020), “sesungguhnya magang itu untuk membantu PT atau membantu swasta/perusahaan?” Keduanya bisa saja berjalan seiring, ketika Menteri juga memberikan panduan yang lebih mengikat untuk menjamin hubungan mutualistik antara PT dengan sektor swasta. Misalnya juga kita berkaca dari PT di negara maju, maka pendanaan PT sudah diwarnai anggaran swasta. Jadi, bukan “SDM PT dibiayai PT, yang untung perusahaan/swasta” saja.
Efektivitas Gagasan
Lebih jauh, gagasan pembelajaran non kelas, hanya akan efektif bagi studi Soshum yang memang perlu berinteraksi langsung dengan masyarakat. Bagi Prodi-prodi yang interaksinya lebih banyak dengan laboratorium, tentu aktivitas di lab menjadi lebih penting. Jika demikian, maka pemerintah harus mendukung penuh kolaborasi PT dengan institusi riset non PT, termasuk perusahaan-perusahaan. Memperbanyak lab di PT atau menjadikan lab perusahaan sebagai tempat belajar mahasiswa dan dosen sehingga teori dan praktik tetap berkesinambungan. Yang dengan demikian, dorongan untuk sukses dari luar tembok kelas akan lebih mudah dicapai.
Namun demikian, sepertinya ada persoalan pengetahuan dari Kemendikbud(Dikti) dengan apa yang sudah berjalan. Persis seperti belum terintegrasinya realitas lapangan dengan para pembuat kebijakan. Menjadikan mereka sinkron dan selaras dalam memajukan pendidikan di dalam negeri itulah yang justru akan menjadi peluang pembebas kita dari segala belenggu standarisasi pendidikan. Karena kita bisa lebih mudah belajar satu sama lain, tanpa ada yang merasa lebih hebat dan otoritatif.
Di situlah esensi merdeka yang lebih perlu dikejar oleh Kemendikbud(Dikti) dan PT secara khusus, juga seluruh stakeholder yang berkepentingan secara umum.
*) Inisiator Gerbatama: Connecting Academia dan Penerima Beasiswa IMPACT Program Doktor Kepemimpinan dan Inovasi Kebijakan-UGM. Tulisan adalah tanggung jawab pribadi penulis, tidak merepresentasikan pandangan lembaga.
Editor: Arif & Nabhan