ISRAEL membombardir kawasan permukiman di Palestina sejak Jumat, 5 Agustus 2022. Dalam 72 jam, 26 orang tewas. Termasuk 6 orang anak. Wartawan Perang, Kontributor Harian Disway Bud Wichers yang bolak-balik ke Palestina marah dengan situasi itu.
“Saya telah pergi ke Palestina selama lebih dari 20 tahun. Sungguh memilukan melihat hal itu terjadi lagi. Ini juga sangat memalukan bagaimana beberapa media meliput cerita ini,” kata Budi, sapaan akrabnya, Minggu, 7 Agustus 2022.
Budi melihat media barat tidak memberitakan situasi di Palestina secara berimbang. Tak terkecuali surat kabar dan TV Belanda yang bias dalam hal pemberitaan tentang Israel.
Pria yang kini sedang mencari orang tua kandung bernama Rusdi dan Mustiah di Indonesia itu, tahu yang sebenarnya. Apa yang digambarkan media Barat tak sama dengan kenyataan di medan perang.
Lobi Israel di Amerika Serikat sebagai penguasa barat memang begitu kuat. Pemberitaan media massa condong ke kepentingan zionisme.
Apabila ada media massa atau jurnalis barat yang kritis terhadap Israel, mereka akan dijuluki radikal. Mereka mendapat cap antisemitisme: suatu sikap permusuhan atau prasangka terhadap kaum Yahudi dalam bentuk-bentuk tindakan penganiayaan, penyiksaan hingga kebencian terhadap individu hingga lembaga.
Fenomena antisemitisme yang paling terkenal adalah ideologi Nazisme dari Adolf Hitler. Ideologi itu menyebabkan pemusnahan terhadap kaum Yahudi Eropa.
Terjadi eksploitasi rasa bersalah Barat terhadap penindasan, penganiayaan dan pembunuhan atas orang-orang Yahudi Jerman oleh Hitler menjelang Perang Dunia II. Rasa bersalah tersebut, menimbulkan perasaan simpatik, bahkan dukungan terhadap zionisme yang cenderung memunculkan sikap pengabsahan terhadap segala pemberitaan dan tindakan pro-Israel.
“Tidak ada representasi jujur atas konflik karena rasa bersalah dan tekanan politik,” kata pria yang tinggal di Gorssel, Belanda itu. Media massa Amerika Serikat dan Barat cenderung mendramatisasi peristiwa yang dianggap merugikan dan mengancam kepentingan mereka.
***
Budi pun mengirimkan tulisan panjangnya terkait situasi yang terjadi:
Ya, banyak orang di Eropa masih merasa tidak nyaman dengan Perang Dunia II dan ada sentimen pro-Israel sejak itu. Apalagi di Belanda, media sangat pro Israel. Ini membuat banyak orang sedih dan marah. Tidak bisa dimaafkan bagaimana orang Palestina digambarkan di Belanda.
Bahkan media terbesar di Belanda pun tidak adil dan bias dalam hal pemberitaan tentang Palestina.
Saya merasa sangat malu dan saya tahu dari sumber di beberapa perusahaan (media), mereka juga sangat tidak senang dengan hal itu.
Bagi Israel, perang yang berkecamuk di Ukraina, ketegangan di sekitar Tiongkok-Taiwan dan operasi militer yang sedang berlangsung di Turki adalah saat yang tepat untuk melakukan operasi skala besar.
Operasi di Gaza ini sebenarnya sudah direncanakan sebelumnya, namun karena beberapa alasan politik diundur sedikit.
Ikatan antara Gaza dan Indonesia sangat kuat, jadi saya pikir Presiden Jokowi akan mengutuk hilangnya nyawa dan pemboman.
Pertama kali saya ke Gaza pada tahun 2000. Hampir 22 tahun yang lalu, saya mengikuti konflik Palestina-Israel. Dari Second Intifada hingga serangan terbaru.
Mereka (orang-orang Palestina) adalah generasi yang tidak pernah merasakan hidup dalam rasa damai. Serangan demi serangan. Eskalasi demi eskalasi.
Orang-orang di Gaza tidak hanya sedih karena mereka tinggal di penjara besar. Mereka juga sedih karena dunia tidak melakukan apa-apa. Kecuali Indonesia. Mereka memiliki salah satu rumah sakit terbaik di Gaza yang didanai oleh Indonesia dan rakyat Indonesia.
Dapatkah Anda membayangkan menjalani seluruh hidup anda di penjara? Dapatkah Anda membayangkan hidup di bawah pendudukan dan tanpa kebebasan bergerak atau berpendapat? Dapatkah Anda membayangkan mati tanpa pernah merasakan kemerdekaan walau cuma satu hari? Inikah hukuman bagi setiap bayi yang lahir di Gaza?
Editor: Yahya FR