-Pancasila- Indonesia sebagai negara dengan sistem demokrasi terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan India memiliki fakta unik tersendiri. Mayoritas penduduk Indonesia adalah umat Islam. Dengan demikian, diskursus tentang demokrasi dan umat Islam akan tetap strategis ke depan. Tetapi pada kenyataannya umat Islam di Indonesia tidak tunggal.
Berbagai respon dan kritik muncul berkaitan dengan konsep Islam dan demokrasi, khususnya tentang pola hubungan di kalangan internal dan eksternal umat Islam yang berkaitan dengan hak-hak kewarganegaraan. Bahkan, sempat mencuat fenomena simbolisme Islam sejak tahun 1998 dengan kemunculan perda-perda syariah yang jelas berseberangan dengan fakta kebhinekaan di negeri ini. Berikut ini petikan wawancara bersama Prof. Dr. Azyumardi Azra, CBE, belum lama ini.
Mengapa ketika kita berbicara tentang konsep nation-state (Negara Bangsa) di Indonesia yang mayoritas Muslim masih sering menuai kendala serius?
Perbincangan tentang nation-state dan nation masih memecah di antara umat. Ini karena masih ada segelintir orang Islam yang tetap berpegang pada konsep-konsep klasik yang utopian mengenai negara. Paling tidak ada tiga model hubungan antara Islam dengan negara (al-din wa al-siyasah).
Pemisahan antara agama dengan politik, yang menghasilkan negara ‘sekuler’—tidak berdasarkan agama. Antara dien dengan siyasah itu terpisah. Pemisahan antara agama dan politik sering disertai dengan ideologi yang tidak bersahabat dengan agama, seperti banyak di Dunia Arab. Di Indonesia, kalau berbicara tentang negara ‘sekular’ biasanya ada orang alergi duluan. Padahal, negara sekuler itu tidak tunggal. Indonesia sendiri secara definisi adalah negara ‘sekuler’ karena tidak berdasarkan pada agama. Tetapi meski ‘sekuler’, Pancasila sebagai dasar negara pada sila pertama membuat ideologi ini ramah agama (religiously friendly basis of the state).
***
Nah, inilah sebenarnya yang membuat Indonesia berbeda dengan negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim di Timur Tengah. Sejak pasca PD II, di Timur Tengah selalu ada insurgensi, di sini tidak. Hal ini antara lain karena kebanyakan ideologinya tidak bersahabat dengan agama (religious unfriendly basis/ideology of the state), makanya banyak gerakan perlawanan atau bahkan separatis yang ingin mengganti rejim dan idologi negara karena ideologinya tidak Islami atau tidak bersahabat dengan Islam. Ada juga negara teokrasi yang berdasarkan Islam, tapi konstitusinya bukan dari Alquran.
Apakah ini berarti konsep nation-state tidak cocok dengan Islam?
Memang sebagian kalangan menganggap nation-state tidak cocok dengan Islam. Alasannya karena karakter Islam yang universal. Akan tetapi, saya lebih sepakat jika universalitas hanya sebatas dalam rukun Islam. Adanya berbagai mazhab menunjukkan partikularitas dalam Islam dan kaum Muslimin. Ortodoksi Islam juga beragam, tidak lagi didominasi oleh Makkah.
***
Ortodoksi Islam Indonesia terdiri dari tiga komponen; teologi Asy’ariyah, fikih Syafii, dan tasawuf al-Ghazali dan al-Baghdadi. Oleh karena itu, sangat sah bila disebut Islam Indonesia. Islam di sini saya kira memang dipengaruhi ortodoksi Islam Indonesia yang lebih inklusif dan kultur yang lebih toleran. Bandingkan misalnya dengan ortodoksi Islam Arab Saudi yang terdiri dari teologi yang pada dasarnya Khawarij dan fikih Hanbali yang paling rigid di antara empat mazhab fiqh Sunni.
Bagaimana dengan gagasan khilafah yang akhir-akhir ini mencuat kembali?
Memang ada yang berpendapat bahwa kemerosotan Islam saat ini terkait dengan ketiadaan khilafah, yaitu entitas politik tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia. Seorang pemikir dari Syria, Abdurrahman Al-Kawakibi, sepakat bahwa harus ada semacam otoritas tunggal karena umat Muslim cenderung berbeda paham. Tetapi di Indonesia, pemikiran seperti khilafah tidak pernah masuk sebagai gagasan dan wacana mainstream, misalnya di lingkungan Muhammadiyah, NU atau ormas-ormas lain.
Apa yang disebut kekhilafahan pada dasarnya adalah kerajaan. Haji Agus Salim pada 1924 ketika di Indonesia, kalangan ulama Muhammadiyah dan kiai-kiai pesantren yang kemudian bergabung dengan NU pada 1926, menyatakan secara meyakinkan bahwa konsep dan institusi khilafah sebenarnya tidak relevan dengan Indonesia karena identik dengan kerajaan despotik seperti terlihat pada Dinasti Usmani yang dibubarkan Turki Muda pada 1924.
Saya menyangkal argumen yang mengatakan Indonesia akan mengarah ke negara macam Pakistan yang dikuasai radikalisme. Menurut saya Islam Indonesia Wasatiyyah, yang moderat masih terlalu kuat untuk bisa terkalahkan; dalam bahasa Inggris saya menyebutnya: Indonesian Wasatiyyah Islam is too big to fail.
Apa yang menjadi kunci sukses Indonesia dalam menerapkan konsep nation-state?
Nation-state di kalangan Muslim tidak seragam, tapi sebagian besar memasangkannya dengan demokrasi. Demokrasi yang dalam artian lebih ke arah regular elections dibanding kepartaian, pemilu misalnya. Pasca-Soeharto, saya kira demokrasi Indonesia sudah relatif terkonsolidasi, walaupun sebenarnya masih ada ‘monarki’ dan oligarki kecil di beberapa daerah.
Indonesia menurut saya masih bisa sukses dengan keadaan sekarang, yang pertama karena ia kaya dengan Islamic-based civil society yang memainkan peran penengah antara pemerintah dan masyarakat. Selain itu, mereka juga berperan sebagai medium kohesi sosial melalui berbagai kegiatannya, terutama amal usaha, ada rumah sakit, sekolah, madrasah, pesantren dan lain-lain.
***
Yang terakhir ialah mereka menyiapkan kepemimpinan alternatif ketika negara sedang mengalami turbulensi sosial, politik, dan ekonomi. Seperti Indonesia pada 1997 sampai 1999. Di luar negeri, yang demikian itu jarang terjadi. Di Mesir paling ada Ikhwanul Muslimin, yang lainnya militer sehingga terjadilah ‘laga kambing’ (head on collision) di antara kedua belah pihak, tidak kekuatan penengah.
Di Indonesia, partai berbasis Islam juga cenderung kurang populer karena masyarakat tidak menganggap Islam sebagai identitas politik. Beda dengan Malaysia di mana Islam merupakan identitas politik tunggal bagi puak Melayu. Karena itu, di Indonesia, kita harus meninggalkan pengertian umat yang sangat sempit, bahwa representasi politik umat hanyalah parpol berasaskan Islam. Umat Islam itu bukan cuma diwakili partai Islam—parpol yang tidak berasaskan Islam di mana mayoritas elit dan anggotanya adalah umat Islam bukan tidak sering turut memperjuangkan agenda-agenda keislaman dan keumatan. (Arf)