Pancasila Sebagai Pandangan Hidup
Tepat 1 Juni, telah diperingati sebagai hari lahir Pancasila. Di mana baru-baru ini, banyak kalangan memperingati dan memberikan ucapan selamat “Hari Lahir Pancasila” yang terngiang banyak di media sosial. Ucapan pun bertebaran serta ruang-ruang diskusi juga tak kalah sedikit diadakan secara virtual.
Pancasila sebagai “Philosofische Grondslag“, sebuah pandangan hidup dalam berbangsa dan bernegara, serta sebagai dasar teori menyusun suatu negara. Suatu ideologi dan pemersatu keberagaman agama, ras, suku, dan budaya sehingga menjadi negara yang kaya.
Tentu, perdebatan mengenai Pancasila sebagai ideologi negara adalah hal yang sudah final. Para founding father lebih dahulu bersepakat kalau hanya ideologi Pancasila lah yang cocok untuk bangsa Indonesia.
Pidato Bung Karno 1 Juni 1945 pada sidang BPUPKI telah memberikan angin segar bahwa Pancasila adalah prinsip hidup berbangsa dan bernegara. Di mana, tanggal tersebut resmi ditetapkan sebagai hari lahir Pancasila dan hari libur nasional melalui Keputusan Presiden Nomor 24 Tahun 2016.
Usulan Bung Karno mengenai Pancasila adalah jawaban yang pas atas pertanyaan dari Ketua BPUPKI Radjiman Wedyodiningrat. Kenapa Indonesia ingin Merdeka? Dan apa dasar Indonesia Merdeka?
Meskipun sebelumnya, ada juga pidato yang disampaikan oleh Muhammad Yamin dan Soepomo antara tanggal 29 dan 31 Juni 1945, akan tetapi pertanyaan dari Ketua Radjiman Wedyodiningrat tidak menemukan jawaban yang tepat.
Alhasil, saat sampai pada giliran Bung Karno berpidato, akhirnya ia mampu memberikan jawaban yang pas dengan gaya kharismatik dan penjelasan sistematis. Di mana, seluruh peserta sidang bersepakat kalau Pancasila dengan 5 butirnya itu adalah sebuah dasar negara Indonesia merdeka.
Maka nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila mesti menjadi pegangan hidup pada semua kalangan. Menjadi tanggungjawab semua pihak agar dapat menerapkan nilai-nilai Pancasila untuk menjawab tantangan zaman.
Bahwa Pancasila adalah sebuah ideologi yang dinamis, bukan hanya sebagai jargon dan museum mati. Apalagi sampai menjadikan Pancasila sebagai alat untuk melonggarkan status quo dan praktik nepotisme.
Pancasila yang Belum Dijiwai
Soal nilai Pancasila tentu tidaklah diragukan lagi, namun persoalannya karena praktik penerapan Pancasila tidak memberikan solusi dalam berbagai problem sosial.
Kerap kali, kita mengaku sebagai orang Pancasilais, namum pada ekspektasinya tidak sesuai dalam bertindak dan berucap. Lalu artinya apa kalau begitu?
Dikatakan sebagai masalah tidak juga, kalau Pancasila hanya dikaitkan pada persoalan toleransi beragama, Pancasila hanya dibicarakan sebagai ideologi pemersatu di atas banyaknya perbedaan.
Namun, di sisi lain, terkadang melalaikan inti sarinya ingin mensejahterakan rakyat. Dengan memberikan keadilan kepada seluruh elemen masyarakat tanpa pandang bulu dan semua mempunyai hak sama di mata hukum.
Ketimpangan mengenai penerapan nilai-nilai Pancasila masih menjadi PR yang besar. Problem kemiskinan, kesehatan, akses pendidikan yang tidak merata dan problem sosial lainnya, masih marak terjadi di negeri Indonesia. Sehingga tidak heran juga kalau ada asumsi mengenai penerapan Pancasila hasilnya masih nol besar. Padahal sejatinya Pancasila mesti dapat menjawab cita-cita yang sesuai pada pembukaan UUD 1945.
Apabila problem-problem tersebut masih dapat menari bebas di hadapan kita, maka tidak menutup kemungkinan orang-orang akan muak dan ingin mencari ideologi baru yang sesuai. Sebuah ideologi yang dianggap mampu menjawab persoalan sosial dan negara.
Bukan malah menjadikan Pancasila sebagai tameng yang hanya diagung-agungkan, tanpa mengevaluasi hasil dan penerapannya kepada masyarakat. Dan kondisi tersebut, tidak ubahnya seperti di zaman Orde Baru, di mana Pancasila hanya menjadi wacana ideologi kepada publik, namun nyatanya praktik-praktik otoritarianisme, KKN dan problem sosial lainnya justru marak terjadi di belakang layar. Kan itu lucu.
Pancasila Juga Asas Kebahagiaan
Oleh karena itu, Pancasila bukan hanya persoalan toleransi dan keberagamaan saja. Bukan hanya isu itu yang perlu digaungkan oleh berbagai pihak, dengan mensosialisasikan Pancasila sebagai sebuah ideologi untuk menangkal gerakan radikalisme.
Bukan berarti saya mengatakan kalau hal tersebut tidak penting dan berhenti diperjuangkan, akan tetapi problem sosial lainnya seperti diatas juga tidak kalah penting meskipun sedikit terlupakan.
Padahal, hal itu jelas berdampak besar kepada kehidupan masyarakat. Kesejahteraan dan keadialan sosial manjadi titik masalah yang tidak pernah terselesaikan hingga hari ini. Dengan demikian, ekspektasi nilai-nilai Pancasila mesti mampu menjawab itu semua.
Karena Pancasila adalah persoalan kebahagiaan, kebahagiaan dengan Pancasila bagi seluruh elemen masyarakat Indonesia tanpa pandang bulu. Dan kebahagiaan itu bisa terwujud kalau problem-problem sosial seperti di atas dapat diatasi, hak-hak asasi manusia dijunjung tinggi dan nilai-nilai demokrasi terkristalisasi dengan baik pada kehidupan.
Maka, peran penting negara harus ikut andil di dalamnya. Negara sebagai pembuat dan pengambil kebijakan harus bersandarkan kepada kepentingan masyarakat secara utuh, bukan malah mampu digerogoti para oligarki-oligarki yang tidak bertanggungjawab. Di mana yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Peran Pancasila mesti hadir untuk memperbaiki kualitas negara. Pancasila sebagai instrumen untuk mengevaluasi regulasi atau kebijakan negara serta menciptakan indeks pembangunan Pancasila. Bukan hanya soal toleransi tetapi hal yang mendasar seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan dan ketimpangan lainnya juga mesti diperbaiki.
Editor: Yahya FR