Khabar Mutawatir | Hadis telah begitu banyak tersebar luas diseluruh penjuru. Dalam kehidupannya, setiap orang mempunyai ambisi dan tujuan yang berbeda-beda. Hal ini jika dikaitkan dengan penggunaan suatu hadis akan berimplikasi pada penggunaan hadis secara sembrono.
Oleh karena itu, dengan menjadikan adanya tingkat derajat hadis, bertujuan untuk memudahkan masyarakat muslim dalam membedakannya. Yakni membedakan mana hadis yang dapat dijadikan hujjah dan mana hadis yang tertolak.
Jika posisi penentuan kualitas sanad mengedepankan kata-kata seperti shahih (otentik), hasan, dan dhaif, maka dalam posisi menentukan kuantitas sanad akan mengajukan kata-kata seperti mutawattir, masyhur, dan ahad.
Khabar merupakan kata dari bahasa Arab yang artinya berita atau informasi. Istilah Al–khabar diartikan sebagai segala sesuatu yang disandarkan kepada Rasulullah Saw. Atau dalam arti lain disebut hadis.
Ada banyak jenis khabar, tetapi pada pembahasan kali ini yakni di antaranya khabar mutawatir/‘am dan khabar khas/ ahad.
Dalam hal ini, Imam Syafi’i pun memberikan penjelasan yang dijelaskan dalam bukunya yang berjudul ar-Risalah.
Khabar ‘Am atau Mutawatir
Menurut bahasa, khabar mutawatir berarti المتتابع (al-mutatabi) yakni yang datang berikutnya atau beriring-iringan antara satu dengan yang lain tidak ada jaraknya. Dan juga ketika ditinjau dari segi ilmu nahwu, khabar mutawatir berposisi sebagai isim fa’il, yang artinya berurut-urutan.
Sedangkan menurut istilah khabar mutawatir adalah khabar yang diriwayatkan oleh banyak perawi, yang secara logisnya tidak mungkin bersepakat dalam berdusta.
Dalam hal ini Imam Asy-Syafi’i menentukan jumlah perawi yang banyak itu yakni minimal 5 orang, dengan meng-qiyas-kannya pada jumlah para nabi yang mendapat gelar ulul azmi.
Syarat-Syarat Khabar Mutawatir
Pertama, dalam periwayatanya khabar mutawatir diriwayatkan banyak perawi minimal 5 orang.
Kedua, dalam periwatannya mulai awal sampai akhir tetap banyak perawi yang meriwayatkan.
Ketiga, secara akal dan logika, mustahil adanya persekongkolan antara perawi untuk berbohong atau memanipulasi khabar.
Keempat, berita yang disampaikan oleh para perawi tersebut harus berdasarkan tangkapan pencaindra atau maksutnya khabar yang mereka sampaikan itu harus otentik dari penglihatan dan pendengaran, mereka sendiri.
Kehujjahan Khabar Mutawatir
Dalam ke-hujjah-annya, khabar mutawatir tergolong pada al-‘ilm aḍ-ḍaruri yakni khabar yang dapat memberikan pengertian yang meyakinkan. Pada intinya, khabar mutawatir dapat dijadikan sebagai hujjah karena pada periwayatan khabar mutawatir ini diriwayatkan oleh banyak perawi yang menurut akal dan adat tidak mungkin atau mustahil dalam berbuat kebohongan pada suatu hadis.
Sama seperti kita meyakini pada kebenaran Al-Qur’an, kita juga harus meyakini pada kebenaran hadis. Karena menurut pandangan ulama, tidak ada keraguan dalam menggunakan hadis mutawatir dan hadis mutawatir harus diyakini serta dipercayai dengan sepenuh hati.
Khabar Khas atau Wahid (Ahad)
Al-wahid secara bahasa berarti satu. Adapun yang dimaksud dengan Khabar al-Wahid menurut istilah yang tertuang dalam kitab Al-Risalah, adalah khabar yang berasal dari seseorang ke seseorang yang lain hingga berakhir kepada Nabi Muhammad SAW, atau berakhir kepada selain Nabi SAW.
Yang dimaksud selain nabi di sini ialah periwayatannya boleh jadi hanya sampai kepada tangan sahabat ataupun pada tangan tabiin. Jadi pada dasarnya, Khabar al-Wahid menurut Imam Syafi’i adalah khabar yang diriwayatkan oleh 1 orang perawi ke seorang perawi saja hingga sampai kepada Nabi SAW atau selainnya yakni sahabat dan tabi’in.
Syarat-Syarat Khabar Khas atau Wahid
Selain menerima ke-muttasi-lan sanad, Imam Syafi’i juga mengajukan beberapa tuntutan kepada perawi. Hal ini menurutnya ditujukan untuk menciptakan kondisi dalam memelihara hadis Nabi SAW dari berbagai bentuk kecacatan yang dibuat sengaja oleh para mudallis hadis. Persyaratan-persyaratan tersebut meliputi:
- Hadis tersebut diriwayatkan oleh orang yang tsiqah atau terpercaya (an yakuna man haddasa bihi siqatan fi dinihi).
- Dikenal kebenarannya dalam perkataannya (ma‘rufan bi al-sidqi fi hadisihi).
- Memahami apa yang diriwayatkannya, mengetahui setiap lafaz yang dapat merubah makna hadis, atau meriwayatkannya secara lafzi setiap huruf-hurufnya sesuai apa yang ia dengar dan tidak meriwayatkannya secara maknawi (‘aqilan lima yuhaddisu bihi, ‘aliman bi ma yuhilu ma‘ani al-hadis).
- Meriwayatkan secara lafzi (an yakuna mimman yu’addi al-hadis bihurufihi kama sami‘a).
- Memiliki ingatan yang kuat apabila ia meriwayatkan melalui hafalan dan harus menjaga catatannya apa bila meriwayatkan dari catatannya (hafizan in haddasa bihi min hifzihi, hafizan likitabihi in haddasa bikitabihi).
- Sesuai dengan riwayat periwayat yang terkenal kuat hafalannya (iza syarika ahl al-hifzi fi al-hadisi wafaqa hadisuhum).
- Terbebas dari tuduhan sebagai periwayat yang mudallas, yakni meriwatkan hadis dari seseorang yang pernah ia jumpai namun tidak pernah mendengar hadis darinya (bariyyan an yakuna mudallasan), dan tidak bertentangan dengan riwayat periwayat yang tsiqah.
Persyaratan Imam asy-Syafi’i hanya berlaku untuk setiap tingkatan dalam setiap periwayatan. Jika salah satu syarat ini tidak terpenuhi, maka hadis tersebut tidak bisa dijadikan hujjah. Hal ini menurut Imam asy-Syafi’I karena masing-masing perawi menentukan keaslian khabar dari periwayat yang di atasnya dan periwayat yang ada di bawahnya.
Ke-hujjah-an Khabar al-Wahid
Dalam pembahasan tentang Khabar al-Wahid, Imam Syafi’I tidak secara langsung membahas tentang hukum hujjah-nya. Namun, dapat diambil arti ketika beliau berpendapat tentang Khabar al-Wahid yang dibawa oleh seorang Sahabat mengenai perubahan kiblat.
Menurutnya, mengikuti Khabar al-Wahid hanyalah sebuah anjuran, bukan kewajiban. Kecuali dia mendengar langsung dari Rasulullah SAW.
Yang di mana, Rasul mengatakan bahwa perpindahan kiblat dilarang. Baik diriwayatkan oleh satu atau dari banyak orang. Semua hal ini menurut Imam Syafi’I Khabar al-Wahid dapat dijadikan hujjah.
Bahwasannya, para sahabat Nabi SAW menerima khabar dari seorang sahabat yang lain. Hal ini terekam dalam beberapa hadis di antaranya Hadis tentang perpindahan kiblat.
Dari ‘Abdullah bin ‘Umar berkata, “Ketika orang-orang shalat subuh di Quba’, tiba-tiba datang seorang laki-laki dan berkata, “Sungguh, telah turun ayat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau diperintahkan untuk menghadap ke arah Ka’bah. Maka orang-orang yang sedang shalat berputar menghadap Ka’bah, padahal pada saat itu wajah-wajah mereka sedang menghadap negeri Syam. Mereka kemudian berputar ke arah Ka’bah.”
Dari sini dapat dilihat, bahwasanya Rasulullah tidak mungkin mengutus satu orang utusan untuk menyampaikan perintah atau larangannya kecuali khabar yang akan dibawanya itu merupakan hujjah yang harus diterima, padahal bisa saja Rasulullah mengutus satu orang kelompok.
Tetapi Rasulullah mencukupkan dengan mengutus satu orang utusan yang diketahui kejujurannya. Menurut Imam Syafi’i, ketika datang seseorang yang jujur, maka tidak seorang pun pantas berkata bahwa, “Kamu hanya satu orang dan kami tidak berhak megambil sesuatu yang belum kami dengar dari Rasulullah bahwa sesuatu itu wajib bagi kami”.
Editor: Yahya FR