Panitia Surga?-Agama secara filosofis, memiliki suatu doktrin (ajaran) empiris (masa lalu), yang bersumber dari argumen apologetis (wahyu) kepada orang-orang suci atau utusan Tuhan yang disebut sebagai Nabi (baca: Sejarah Tuhan). Dari ajaran para Nabi inilah manusia mengikuti ajaran-ajaran agama guna menaati perintah Sang Pencipta.
Dewasa ini, umat beragama memasuki suatu dinamika absurd yang disebabkan oleh ketaktertentuan ajaran dari agama mereka. Islam misalnya, kita mengetahui bersama bahwa hari ini Islam telah terbagi menjadi banyak sekali golongan, seperti: Ahlussunah, Syiah, dan semacamnya.
Bahkan Ahlussunah sendiri secara fikih terbagi menjadi beberapa golongan atau mazhab seperti: Syafi’i, Hambali, Hanafi, maupun Maliki. Syiah-pun juga sama, ada Syiah Itsna Asyariah, Syiah Ismailiyah, Syiah Rafidah, dan lain-lain (baca: Aliran-aliran dalam Islam). Hal inilah yang menjadi suatu dilema baru dalam kegiatan beragama, karena keabsurdan ini akan menimbulkan pertanyaan “Lalu siapa yang benar?”. Pertanyaan inilah yang membuat kebenaran makin samar adanya, lalu umat-pun akan saling menyalahkan tentunya.
Relativitas Kebenaran
Ada yang mengeklaim diri sebagai umat paling benar, ada juga yang mengklaim diri sebagai umat yang masih mencari kebenaran dan masih banyak klaim-klaim lainnya. Dari sinilah kita secara netral akan mengatakan bahwa kebenaran itu relatif adanya. Misalnya; kita menjadi kaum Syiah yang taat maka menurut kita Syiah adalah ajaran yang paling benar. Juga misal kita menjadi seorang Wahabi yang taat maka menurut kita Wahabi-lah aliran yang paling benar.
Siapa yang Benar?
Lalu mana yang paling benar? Maka kita akan melihat basis filosofis dari agama tersebut, yaitu argumen apologetis yang dalam Islam berupa Al-Qur’an dan sunah atau hadis. Kedua pedoman tersebutlah menjadi kebenaran mutlak dalam Islam. Tapi kedua hal tersebut masih dapat dikatakan absurd bila dimasukkan pada hierarki historis. Dalam pandangan Ahlusunnah saja, banyak sekali tafsir Al-Qur’an juga riwayat Hadits.
Bahkan menurut Syiah sendiri, Al-Qur’an yang dianut oleh para Ahlusunnah adalah palsu dan kebanyakan hadisnya adalah dusta. Karena telah diubah oleh nafsu kaum Ahlusunnah dalam sejarah (baca: Sejarah Islam). Ini menimbulkan ambiguitas yang amat mendalam dalam pandangan beragama, sehingga sektarianisme tumbuh melesat dalam tubuh umat (baca: Islamic Studies).
Saya ambil contoh satu lagi, sebelum saya membaca beberapa buku, saya mengatakan bahwa pandangan Islam Liberal itu adalah pandangan yang amat sangat sesat. Tetapi setelah memahami kembali apa yang disebut sebagai Islam Liberal, saya mulai mengerti bahwa pandangan Islam Liberal adalah Islam yang liberatif (membebaskan) bagi kaum miskin dari kemiskinan, bagi kaum bodoh dari kebodohan, kaum tertindas dari ketertindasan (baca: Islam Teologi Pembebasan), bukan berarti liberal itu bebas dari aturan-aturan agama.
Keragaman pandangan inilah yang seharusnya dicermati kembali. sesuai kata pepatah Arab “Likulli Ra’sin Ra’yun” yang berarti bahwa “Setiap kepala memiliki pandangan masing-masing”. Dari sini, kita mulai mengenal keragaman pemikiran, keragaman kearifan, dan semacamnya. Dari keragaman inilah, kita dapat mengompresnya menjadi suatu postulat kebenaran di dalam pikiran kita.
Timbulnya Fenomena Panitia Surga
Dengan keragaman pemikiran ini, tentunya sudah wajar kalau terjadi perpecahan, baik secara pikiran maupun perbuatan. Juga bisa dibilang wajar kalau banyak yang saling menyalahkan. Tapi ada suatu keanehan dalam genealogi pemikiran Islam di sini, yaitu hijrahnya pemuda menjadi sosok panitia surga.
Hadirnya fenomena panitia surga adalah buah dari kepolosan pikiran dan akidah dari seorang manusia, lalu mempelajari suatu paradigma yang benar-benar sangat sakral. Mereka menganggap kalau paradigma itulah yang paling benar, sehingga mereka seakan bekerja sama dengan para malaikat lalu menjadi sosok panitia surga.
Hal ini menurut mereka benar karena ada doktrin pseudis ketika mereka ditanya mengenai aliran-aliran dan keberagaman. Mereka tak tau karena menganggap bahwa pengetahuan adalah suatu syubhat, dengan pandangan “Taqdimu Nash ala Al-aql” yang berarti “mengutamakan nash (Al-Qur’an dan sunah) daripada akal. Tapi ada fallacy (gagal nalar) di sini, yaitu ketika mereka ditanya, apa yang para Ulama’ juga kita gunakan untuk memahami nash? Bukankah akal juga? (Baca: Beragama dengan Akal Sehat) Sesuai dalil :
“Dan tidak dapat mengambil pelajaran kecuali orang-orang yang berakal”
{QS. Al-Baqarah (2):269}
Jadi ketika mendapatkan suatu permasalahan dalam keagamaan, kita akan kembali kepada Nash (Al-Qur’an dan Hadits), karena itulah eksistensi dari Islam, setelah Nash kita harus menggunakan pendekatan akal atau Ilmiah dalam pemutusan solusinya, yakni empirisisme (pandangan Ulama’ terdahulu atau salafus shalih) setelah itu rasionalitas (nalar logika dan penempatan konteks dalilnya).
Inilah yang tak ada di dalam fenomena panitia surga tersebut, Al-Qur’an mereka telanjangi, bahkan ia buat Al-Qur’an seakan berisi dalil-dalil yang kontradiktif (berlawanan) satu sama lain.
Bagaimana Kita Bersikap Kepada Panitia Surga?
Melihat fenomena panitia surga ini, sebenarnya kita tak perlu resah dan cukup tertawa saja. Karena menurut Al-Qur’an, merekalah orang-orang yang tidak mengetahui. Kalau para pembaca menemukan adanya para panitia surga di kehidupan para pembaca sekalian, nasehati dan doakan, jangan berdebat, ingatlah nasihat Imam Syafi’i. Kita juga tidak tau apakah para panitia surga ini masuk surga atau tidak, terima kasih telah membaca, menerima kritik dan saran tentunya.
Editor: Yahya FR