Perspektif

Paradoks Intoleransi Agama dan Ras

4 Mins read

Oleh: Imam Shamsi Ali

Kita hidup dalam dunia yang penuh dengan paradoks. Kecanggihan teknologi, khususnya di bidang telekomunikasi, ternyata tidak mengurangi miskomunikasi yang terjadi di antara manusia. Kemajuan dunia informasi dan media, khususnya media sosial, ternyata juga semakin menambah misinformasi di antara manusia.

Paradoks

Paradoks ini bagaikan lelucon yang mengantar tawa, di tengah kemajuan dunia pendidikan, dengan universitas-universitas dan metode pendidikan yang canggih, manusia semakin tenggelam dalam perilaku kebodohannya (jahiliyah). Bahkan, pengakuan berperadaban (civilized) juga semakin membawa manusia dari alam peradaban ke alam yang tidak beradab. Perilaku manusia yang mengaku lebih beradab kerap sangat jauh dari nilai-nilai peradaban. Bahkan, lebih tidak beradab ketimbang mereka yang hidup di zaman batu.

Salah satu kebodohan dan perilaku yang tidak beradab adalah ketika manusia memandang manusia lain lebih rendah. Hanya karena perbedaan-perbedaan yang dimilikinya. Termasuk perbedaan ras, etnis, kebangsaan, warna kulit, budaya bahkan keyakinan.

Orang beradab akan memandang perbedaan dan keragaman sebagai fenomena hidup yang bersifat alami. Karena sejatinya, itulah sunnatullah (Hukum Allah) dalam ciptaan-Nya. Tak ada dua makhluk, bahkan yang “dikloning” sekalipun tanpa memiliki perbedaan. Itu tabiat dasar kehidupan.

Islam sendiri memandang perbedaan-perbedaan yang ada di antara manusia sebagai “God decreed” (bagian dari keputusan Allah). Dalam bahasa agama dikenal sebagai bagian dari takdir Allah SWT. Allah menggariskan itu dalam Kalam-Nya: “kalau sekiranya Allah berkehendak, maka Dia jadikan kamu satu umat.” Artinya, Allah tidak berkehendak demikian. Kehendaknya justru manusia dijadikan dalam keragaman.

Kata “umat” ini tentunya bermakna kelompok manusia dalam arti luas. Bisa umat dalam arti ras atau etnis. Boleh juga dalam arti kelompok ideologi, termasuk budaya, dan keyakinan atau agama. Sayang sekali, kebodohan (ignorance) sebagian manusia menjadikan mereka memandang perbedaan ini sebagai musuh dan ancaman. Maka terlahirlah manusia yang anti perbedaan dan keragaman (diversity). Sikap anti dan bermusuhan kepada perbedaan dan keragaman ini lebih dikenal dengan kata intoleransi.

Baca Juga  Menepis Mitos Kampus Besar

Intoleransi

Diakui atau tidak, disadari atau tidak, sejak beberapa tahun terakhir terjadi intoleransi agama dan ras di berbagai belahan dunia. Intoleransi itu bahkan telah berwujud kekerasan-kekerasan di berbagai belahan dunia. Mungkin satu di antara yang paling diingat adalah pembantaian Komunitas Muslim di kota Christchurch Selandia Baru beberapa waktu lalu.

Bagi Komunitas Muslim Amerika, sejak terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden Amerika, bukan masa yang mudah. Islamophobia yang di masa lalu malu-malu menampakkan diri secara terbuka, kini semakin berani terang-terangan. Mereka merasa mendapatkan justifkasi sistem dan kekuasaan.

Sering saya sampaikan di mana-mana bahwa jika di masa lalu Islamophobia itu terjadi di pinggir-pinggir jalan. Sekarang, justru ke luar dari Gedung Putih dalam bentuk kebijakan-kebijakan. Baik itu bersifat formal maupun bersifat informal, berupa sikap dan kata dari pemerintah.

Intoleransi sistem di bawah pemerintahan Donald Trump salah satunya teruwjud dalam bentuk kebijakan pelarangan orang-orang Islam dari negara-negara mayoritas Muslim untuk masuk Amerika. Kebijakan atau aturan ini dikenal dengan “Muslims ban.”

Sporadis

Kecenderungan intoleransi itu tumbuh bagaikan jamur di mana-mana, di berbagai belahan dunia. Baik pada skala besar dan bersifat sistemik. Atau pada skala kecil dan bersifat sporadis. Masih tampak di hadapan mata kita pembantaian saudara-saudara kita warga Rohingyah di Myanmar. Wanita-Wanita mereka diperkosa. Para pria bahkan anak-anak dibantai atau dipaksa meninggalkan rumah-rumah dan kampung mereka.

Di abad 21 ini, masih ada kelompok manusia yang tidak jelas kewarganegaraannya. Mereka tidak diakui sebagai warga negara di negara di mana mereka telah turun-temurun. Mereka menjadi manusia aliens (asing) di negara sendiri.

Kita juga diingatkan oleh kekejaman yang dialami oleh saudara-saudara Muslim di Kashmir. Dari hari ke hari, mereka semakin terisolasi dan terzalimi oleh militer India. Bahkan, kini pemerintahan Modi di India yang radikal memberlakukan undang-undang kependudukan yang rasis. Di mana di perundang-undangan tersebut semua bisa menjadi warga negara India terkecuali mereka yang beragama Islam.

Baca Juga  Macron Tidak Memusuhi Islam, tapi "Islam Radikal" di Prancis

Sementara itu, saudara-saudara kita di Palestina semakin tenggelam dalam kesuraman yang tiada akhir. Pemerintahan Trump dengan semaunya mengakui Jerusalem Timur sebagai Ibukota Israel. Bahkan, memindahkan kedutaan Amerika ke kota Suci itu walaupun bertentangan dengan resolusi PBB. Terakhir, pemerintahan Trump membuat “deal” (persetujuan) dengan pemerintahan Natanyahu tanpa melibatkan pihak Palestina yang diakui sebagai penyelesaian konflik Palestina-Israel. Persetujuan yang mereka sebut dengan “the deal of the century” atau persetujuan abad ini ditolak mentah-mentah oleh pihak Palestina.

Anehnya, justru ada beberapa negara Islam, yang terkadang diakui sebagai wakil suara negara-negara Muslim, seolah mengakui bahkan memuji persetujuan buatan Trump dan Natanyahu itu. Negara-negara itu adalah Saudi Arabia, Emirates, dan Qatar. Menyedihkan memang. Tapi itulah realitas pahit.

Mungkin yang paling menyedihkan akhir-akhir ini adalah intoleransi ras dan agama yang terjadi di propensi Xingjian atau Turkistan Timur di China. Saya katakan paling menyedihkan karena apa yang kita ketahui pasti jauh lebih kecil ketimbang yang sesungguhnya. Hal itu karena memang Komunis itu sangat ketat dalam menjaga rahasianya.

Kamp-kamp konsentrasi hanya pernah terjadi berabad lalu di Eropa. Di saat Hitler dan tentara Naziz membasmi kaum Yahudi. Kini perlakuan itu juga terjadi kepada Komunitas Muslim di Xingjian. Walaupun pemerintah Komunis China pintar menutupinya dengan istilah-istilah positif seperti “education camp” atau pelatihan pekerjaan, dan lain-lain.

Tapi, adakah yang lupa dengan kelicikan dan kekejaman penguasa komunis? Tentu bagi bangsa Indonesia kekejaman Komunis bukan sesuatu yang mengejutkan. Bangsa ini pernah menjadi korban kebengisan manusia yang menganut ideolgi komunis.

Pada skala sporadis, intoleransi agama dan ras kita juga lihat terjadi di beberapa negara mayoritas Muslim. Ada gesekan-gesekan sosial yang terjadi sebagai akibat langsung dari intoleransi agama dan ras. Di Indonesia, misalnya, kita lihat beberapa waktu lalu terjadi kekerasan kepada warga Bugis Makassar di Papua. Peristiwa itu menimbulkan keresahan ras dan etnis di beberapa daerah Indonesia.

Baca Juga  Budaya Pendidikan Islam di Mesir

Mungkin yang terbaru adalah peristiwa pengrusakan Rumah ibadah di Minahasa. Yang runyam kemudian adalah bahwa pemerintah atau kepala desa setempat ikut serta dalam aksi itu. Menjadikan peristiwa intoleransi itu menjadi semakin rumit. Kalau itu memang masalah hukum, kenapa rakyat dibiarkan bermain hakim? Bukankah dalam sebuah negara yang berdaulat rakyat seharusnya tidak main hakim sendiri?

Mengutuk Intoleransi

Saya juga perlu tegaskan bahwa sebagaimana saya menentang, bahkan mengutuk intoleransi terhadap Umat Islam, saya juga menentang dan mengutuk dengan penentangan dan kutukan yang sejajar intoleransi Umat Islam kepada non Muslim. Saya akan menentang intoleransi itu dari pihak mana saja dan siapa pun pelakunya. Sebab, bagi saya intoleransi kepada “sebuah kelompok” adalah intoleransi kepada “semua kelompok.”

Di Amerika selalu saya sampaikan bahwa Islamophobia dan anti Semitisme (anti Yahudi) adalah bagaikan dua sisi mata uang. “An attack on any is an attack on all” (serangan kepada seseorang adalah serangan kepada semua orang). Pada akhirnya, dalam dunia global saat ini, kita semua hidup dalam sebuah rumah kecil bersama. Semua manusia tanpa kecuali sesungguhnya hidup di bawah atap yang satu.

Karenanya, di hadapan kita hanya ada satu pilihan untuk terwujudnya dunia yang tentram, aman, dan damai. Yaitu, berani menembus sekat-sekat perbedaan yang ada dan membangun kerjasama atas dasar persaudaraan dan cinta kasih (rahmah). Dan saya sangat yakin, Islam yang sesungguhnya mendorong pemeluknya untuk mengedepankan hubungan positif, kasih saying, dan kerjasama itu. Karena di manapun hadir Islam akan selalu menampilkan diri sebagai “rahmatan lil-alamin.” Semoga!

*) Presiden Nusantara Foundation/Pesantren Nur Inka Nusantara Madani USA.

Catatan: tulisan ini adalah bagian dari presentasi yang akan penulis sampaikan di acara Annual Interfaith Harmony di PBB New York, 6 Februari 2020.

Editor: Arif

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…
Perspektif

Mau Sampai Kapan IMM Tak Peduli dengan Komisariat?

2 Mins read
Barangkali unit terkecil IMM yang paling terengah-engah membopong organisasi adalah komisariat. Mereka tumbuh serupa pendaki yang memanjat gunung tanpa persiapan dan dukungan….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds