Perspektif

Paradoks New Normal, Kebijakan Membingungkan Tanpa Solusi

3 Mins read

Narasi ‘new normal’ atau kenormalan baru, jika tidak didasarkan atas pondasi yang kuat tentu akan menjadi catatan yang buruk bagi sejarah. Begitu juga, dapat dipastikan praktik wacana ‘new normal’ tidak akan pernah berhasil jika abai akan konsep dan teori atau pijakan yang mendasarinya. Paradoks istilah new normal perlu dicermati.

New Normal

Wacana pemerintah begitu kuat akan narasi ‘new normal’, bahkan Presiden dan Gubernur DKI Jakarta melakukan konferensi pers setelah meninjau skenario penerapannya di Jakarta (26/5). Hal ini dilakukan di tengah ketidakpastian pemerintah, menjamin kesehatan masyarakat terbebas dari belenggu Covid-19. Ditandai dengan terus bertambahnya kasus positif Covid-19, sebagaimana laporan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.

Namun skenario ‘new normal’ tetap akan menjadi pilihan pemerintah. Bahkan pemerintah melalui Kemenkes telah menerbitkan protokol ‘new normal’. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ‘new normal’?

Jika mengamati argumentasi pemerintah diberbagai media massa, ‘new normal’ adalah kegiatan membuka, melonggarkan (relaksasi) kebijakan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB). Aktivitas bekerja, belajar dan ibadah dari rumah, akan mengalami hal normal, seperti kerja di kantor atau tempat usaha, belajar di sekolah/perguruan tinggi, dan ibadah di fasilitas rumah ibadah.

Proses pembukaan situasi ini dianggap sesuatu yang baru ‘new’ dari kenormalan biasanya. Sesuatu yang ‘new’ yang menjadi catatan penting kita adalah persoalan penerapan menjaga kebersihan tidak hanya di rumah tetapi di ruang publik dan tempat kerja, ibadah dan sekolah.

Ngotot-nya usaha membuka ‘new normal’ juga bermotif untuk menggerakan perokonomian. Sebagaimana yang diutarakan menteri kordinator perokonomian sebagai usaha untuk memulihkan dan meningkatkan perekonomian nasional. Hal ini dinilai sebagai upaya untuk menghindari  dari resesi ekonomi nasional yang berkepanjangan.

Baca Juga  Disrupsi Pendidikan di Tengah Pandemik

Indikator apa yang digunakan agar daerah dapat melalukan pelonggaran atau pembukaan PSBB. Setidaknya ada tiga indikator penilaian yang di paparkan Gugus Tugas yaitu gambaran epidemiologi yaitu berkaitan dengan melihat perbandingan atau penurunan kasus covid 19. Selanjutnya soal sirveilens kesehatan masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan.

Secara singkat, ‘new normal’ bukanlah sesuatu keputusan yang menggembirakan, bukan sesuatu yang harus dipuja-puja. ‘now normal’ adalah kondisi biasa saja. ‘New normal’ sebatas ketidakmampuan pemerintah untuk memutus rantai Covid-19 menjadi 0, sehingga menggunakan ‘new normal’ dengan bumbu-bumbu agar masyarakat beraktivitas diluar rumah sesuai protokol kesehatan ‘new normal’.

Paradoks New Normal

Kenormalan baru menjadi paradoks baru. Sebelumnya, pemberitaan Covid-19 begitu menakutkan, bahwa virus ini menular melalui individu ke individu hingga dapat hidup di benda selama beberapa hari. Tak main-main, ada dokter yang mengatakan bahwa Covid-19 akan merusak paru-paru, walau pasien dikatakan sembuh.

Saat Covid-19 dinyatakan sebagai bencana non-alam oleh Presiden. Imbauan pemerintah hanya sebatas, yuk jaga jarak, phisycal/social distancing.  Saat itu pula pemerintah menghimbau agar semua aktivitas dialihkan di rumah saja. Pada saat kondisi positif Covid-19 terus meningkat, kebijakan PSBB baru diputuskan.

Masyarakat mau tidak mau harus mengikuti aturan pemerintah untuk tetap di rumah. Namun demikian, selama lebih dari dua bulan, perkembangan kasus positif terus mengalami peningkatan secara nasional. Saat itu pula kebijakan ‘new normal’ dipromosikan.

Mengamati hal tersebut, tentu ini menjadi produk paradoks yang pertama. ‘new normal’ diterapkan saat masyarakat masih terjamin tertular virus Covid-19. Menjamin setiap jiwa warga negara jauh lebih penting, karena nyawa hanya sekali bersemayam dalam tubuh manusia. Perihal soal pemulihan ekonomi, bisa dibicarakan kemudian.

Baca Juga  Sejak Kapan Umat Beragama Mensakralkan "Suara"?

Negeri yang komunis saja, menjamin warganya selamat. Wuhan membuka Lockdown saat memastikan 0 orang yang terjangkit virus Covid-19, baru membicarakan yang lainnya.

Paradoks kedua, yaitu akibat PSBB pelaku UMKM nyaris tercekik, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal yang mencapai lebih dari dua juta tidak bisa dikatakan sebagai sesuatu yang ‘new normal’. Dua contoh kasus ini, memang merupakan kejadian baru ‘new’, namun bukan sesuatu yang normal.

Mereka tidak bisa masuk kantor, mereka harus mencari modal untuk dapat beraktivitas kembali. Inilah kondisi baru yang tidak membahagiakan.

Pembuangan anggaran sia-sia di tengah Covid-19 juga terjadi, saat semua dalam kondisi susah, pemerintah memberlakukan prakerja secara online. Kebijakan di tengah pendemi ini menjadi sia-sia, mereka yang mendapat pelatihan tentu akan kesulitan mempraktekkan di tengah pendemi .

Paradoks yang ketiga, pemerintah untuk mendukung ‘new normal’ membutuhkan sokongan anggaran yang tidak sedikit. Lagi-lagi yang dilakukan dengan cara paling mudah, yaitu berhutang. Kementrian keuangan, melansir kebutuhan hutang mencapai 1.439 Triliun. Negara juga akan terbitkan hutang senilai 990 Triliun untuk pemulihan ekonomi. Covid-19 telah menjadi argumen untuk melalukan penambahan utang negara.

Belum lagi dinilai secara substansi, apakah keperuntukan untang tersebut untuk pembedayaan UMKM dan koprasi, atau untuk penguatan korporasi besar. Unit bisnis pemerintah konon mendapat suntikan anggaran dari pemerintah, seperti perbankan. Jika demikian jelas, bahwa akses ke perbankan mereka yang memiliki jaminan dan lebih berpihak pada korporasi besar.

Pasca Covid-19

Inilah akibat dari semua kebijakan pemerintah yang setengah-setengah sejak penerapan penanganan Covid-19. Mungkin lain halnya jika menerapkan karantina wilayah (lockdown), tentu akan berbeda pula hasilnya. Kebijakan phycical/social distanting, di rumah saja, PSBB belum mampu menghambat sepenuhnya Covid-19, maka hal yang wajar jika negara ngotot melaksanakan ‘new normal’.

Baca Juga  Adu Cepat COVID-19 dan Digitalisasi Pendidikan

Kebijakan ‘new normal’ pada akhirnya menjadi produk lanjutan yang membingungkan tanpa memberikan solusi atas kehidupan pasca covid 19, seperti mereka yang kehilangan pekerjaan, mereka yang gulung tikar, mereka yang bingung modal, dan lain sebagainya.

Harusnya kebijakan atas kehidupan pasca covid 19 dipertimbangkan secara matang oleh pemerintah pusat dan daerah. Seperti tidak menggunakan istilah ‘new normal’ jika pemaknaannya hanya sebatas mencuci tangan, pakai masker, karena selama Covid-19 itu juga sudah dilakukan. Begitu juga ‘new normal’ dilaksanakan saat 24 ribu lebih orang positif Covid-19.

Pemerintah harus mempertimbangkan kebijakan yang melindungi segenap warganegara, baik dari hal kesehatan, sosial dan ekonomi. Pemerintah seharusnya memastikan berakhirnya Covid-19 dengan cepat hingga 0 kasus, selanjutnya membuka jalan baru bagi kehidupan yang normal.

Editor: Nabhan

Related posts
Perspektif

Tak Ada Pinjol yang Benar-benar Bebas Riba!

3 Mins read
Sepertinya tidak ada orang yang beranggapan bahwa praktik pinjaman online (pinjol), terutama yang ilegal bebas dari riba. Sebenarnya secara objektif, ada beberapa…
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds