Rancangan Undang-undang Ketahanan Keluarga diusulkan pada tanggal 7 Februari 2020, oleh 5 anggota dari 4 Fraksi. Mereka adalah Ledia Hanifa (PKS), Netty Prasetiyani (PKS), Endang Maria Astuti (Golkar), Ali Taher (PAN), dan Sodik Mudjahid (Gerindra). Tanggal 13 Februari 2020 diadakan rapat Badan Legislasi dalam rangka harmonisasi (penjelasan pengusul RUU tentang Ketahanan Keluarga), pada hari tersebut dijelaskan bahwa keluarga yang ada di Indonesia ada dalam posisi kondisi yang rentan.
Kerentanan tampak dalam profil keluarga Indonesia saat ini yang kurang baik. Seperti tingginya kematian ibu dan bayi, kenaikan angka perceraian, sampai kenaikan prosentase remaja yang melakukan seks di luar nikah. Ketika keluarga mengalami kerentanan, diperlukan upaya meningkatkan kemampuan keluarga dalam menghadapi masalah. Oleh karena itu, RUU Ketahanan Keluarga ini dianggap mampu menjawab persoalan tersebut.
Ada beberapa UU yang dievaluasi dalam Naskah Akademik RUU Ketahanan Keluarga di antaranya: 1) KUHP Bab XIV Kejahatan Terhadap Kesusilaan pasal 281-296, 2) UU 1/1974 tentang Perkawinan, 3) UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional .
Pasal Kontroversial
Dalam pasal-pasal RUU Ketahanan Keluarga ada beberapa pasal yang menuai kontroversi. Seperti dalam pasal 25 ayat 3 yang menyebutkan “kewajiban istri” sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 antara lain : a) wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, b) menjaga keutuhan keluarga, serta c) memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan anak sesuai dengan norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sementara dalam pasal pasal 25 ayat 2 menyebutkan empat kewajiban suami, di antaranya: a) sebagai kepala keluarga yang bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memberikan keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, dan bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga dan sebagainya.
Pasal-pasal tersebut oleh sebagian masyarakat dinilai terlalu mengurusi wilayah privat (internal keluarga) dan juga terlalu mendomestifikasi peran istri dalam keluarga sebagaimana yang disebut “Istri wajib mengurusi urusan rumah tangga…”
Jika kita perhatikan secara mendalam, memang pekerjaan suami atau ayah adalah mencari nafkah untuk keluarganya. Sedangkan pekerjaan istri atau ibu adalah bertugas di dalam rumah tangga.Lalu, sebenarnya dalam perspektif Islam sendiri ketika wanita keluar dari kondisi di atas bagaimana? Seperti istri yang bekerja, contohnya.
Perspektif Islam
Kita bisa ambil kisah Surat Q.S : Al-Qashash ayat 23-26 yang memberi petunjuk kepada kita bagaimana wanita jika bekerja di luar rumah, sebagai berikut: dua orang perempuan dalam kisah tersebut bekerja di luar rumah, yaitu membawa kambing gembalaan mereka untuk minum dari mata air. Ini menunjukkan bahwa wanita (istri/ibu) boleh bekerja di luar rumah.
Hal ini ditunjukkan juga oleh Hadits Jabir yang diriwayatkan oleh Imam Muslim No.1483 bahwa bibinya Jabir ketika menjadi janda, dia bertanya kepada Nabi tentang pekerjaannya mengairi kebun kurma miliknya. Maka Nabi menyetujuinya.
Mereka berdua bekerja karena kebutuhan yang disebabkan bapak mereka sudah tua dan tidak bisa bekerja lagi. Artinya, bahwa kebutuhan seorang wanita (istri/ibu) kerja di luar rumah karena tidak ada atau kurangnya nafkah hidup dan kebutuhan masyarakat akan tenaga khusus wanita, seperti guru-guru perempuan, dokter kandungan, dan lain-lain.
Namun, ketika istri atau ibu ini bekerja, tidak boleh melupakan fungsinya sebagai ibu rumah tangga yang secara kodrati dapat menyambung kasih sayang di antara suami dan anak-anak dalam mencapai kebahagiaan dalam rumah tangga.
Begitu juga dalam urusan rumah tangga yang tidak sepenuhnya wajib diselesaikan oleh istri, suami juga harus membantu mengurusi rumah tangga. Hal ini ditegaskan dari para imam mazhab. Misal dalam tulisan Al-Imam Al-Kasani, “Seadainya suami pulang bawa bahan pangan yang masih harus dimasak dan diolah, lalu istrinya enggan untuk memasak dan mengolahnya, maka istri tidak boleh dipaksa. Suaminya diperintahkan untuk membawa makanan yang siap santap.”
Wilayah Privat
Di dalam sebuah perkawinan harus sama-sama membantu salah satu dengan yang lain. Memenuhi kebutuhan keluarga secara bersama-sama. Tidak harus selamanya suami saja yang memenuhi kebutuhan keluarga, melainkan istri juga dapat membantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Karena pada dasarnya dalam sebuah keluarga membutuhkan dukungan satu sama lain.
Oleh karena itu, pasal 25 yang mengatur kewajiban suami dan istri, menurut penulis, terlalu rinci sampai pada hal-hal yang bersifat privat (internal keluarga). Sehingga seakan-akan peran istri dalam pasal 25 hanya sebatas ranah rumah tangga saja. Memang tidak perlu dipungkiri peran kodrat istri mengurusi urusan rumah tangga, tapi ada beberapa kondisi dalam rumah tangga di mana suami bekerja, namun tidak mencukupi kebutuhan keluarganya. Sehingga dalam hal ini istri juga berperan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, demi kelangsungan hidup.
Dengan catatan, istri tidak melupakan fungsi sebagai ibu rumah tangga. Begitu pun suami ikut andil dalam mengurusi urusan rumah tangga. Karena dalam membina keluarga harus saling membantu antara satu dengan yang lainnya.
Editor: Arif