Muhammadiyah memiliki beberapa kaidah dan khittah dalam menjalankan organisasinya. Salah satunya adalah bahwa Muhammadiyah tidak berpolitik praktis. Fakta juga menyebutkan bahwa Ir. Soekarno, sebagai salah satu tokoh kebanggaan PDIP merupakan kader tulen Muhammadiyah yang juga memberikan pengaruh bagi Muhammadiyah di Bengkulu pada masanya.
Lalu, apakah benar jika dikatakan ada kesamaan nilai perjuangan antara PDIP dan Muhammadiyah?
Khittah Muhammadiyah
Khittah Ujung Pandang 1971 merupakan khittah yang sering dirujuk sebagai acuan pokok dalam menentukan sikap politik Muhhammadiyah. Di dalam khittah tersebut dijelaskan bahwa Muhammadiyah tidak mempunyai hubungan organisatoris dan afiliasi dengan suatu partai atau organisasi politik manapun.
Protokol politik Muhammadiyah kemudian diperjelas dalam khittah Denpasar 2002 yang menyebutkan bahwa politik Muhammadiyah dilaksanakan melalui jalan high politics yang bersifat memengaruhi kebijakan negara.
Muhammadiyah memengaruhi kebijakan negara dalam perjuangan moral untuk mewujudkan bangsa yang lebih baik. Orientasi yang dituju Muhammadiyah adalah perjuangan kenegaraan (real politics) sebagaimana dilakukan oleh beberapa kekuatan politik lainnya.
Meskipun demikian, Muhamnmadiyah secara organisasi tidak melarang kader-kadernya untuk ikut bergabung dalam suatu partai dan ikut berpolitik praktis. Hal ini senada dengan apa yang disebutkan oleh Prof. Haedar Nashir bahwa Muhammadiyah bukanlah monolitik.
Muhammadiyah akan selalu cair, sehingga tidak ada seseorang, satu partai dan satu golongan pun yang bisa menentukan kehendak tersebut.
Harus kita akui bersama, bahwa basis massa Muhammadiyah yang banyak dan menyebar di seluruh Indonesia, serta kecakapan dalam manajerial organisasi menjadi daya tawar politik yang begitu menggiurkan dan menguntungkan.
Sebagian besar partai berusaha menjalin hubungan yang baik dengan Muhammadiyah atau minimal tidak melakukan tindakan provokatif yang merugikan Muhammadiyah. Termasuk di dalamnya adalah partai berlambang banteng moncong putih.
Bung Karno dan Muhammadiyah
Partai Demokrasi Indonesia (PDI), atau yang sekarang menjadi PDIP merupakan hasil fusi dari beberapa partai seperti PNI, Partai Murba, IPKI, Parkindo dan Partai Katolik. Partai ini didominasi oleh massa PNI, sehingga citra Soekarno masih tertanam kuat dalam doktrinasi partai.
Kecintaan Soekarno terhadap Muhammadiyah memang tidak perlu diragukan lagi. Banyak memoar yang menceritakan kisah Soekarno dalam menghidupi Muhammadiyah.
Ketika diasingkan ke Bengkulu, Bung Karno memperistri Fatmawati yang merupakan anak dari Hasan Din, tokoh Muhammadiyah di sana. Di Bengkulu pula, Bung Karno menjadi penggerak organisasi Muhammadiyah melalui pendidikan. Sehingga beliau dipercaya untuk menjadi ketua Majelis Pengajaran Muhammadiyah Bengkulu.
Sebegitu cintanya dengan Muhammadiyah, bahkan ketika wafat, salah satu wasiatnya adalah beliau ingin jenazahnya diselimuti bendera Muhammadiyah. Maka, tak heran jika dikatakan ada faktor pengaruh dari Bung Karno yang mencintai keduanya atas adanya kesamaan nilai antara Muhammadiyah dan PDIP
Muhammadiyah dan PDIP
Secara organisatoris, Muhammadiyah dan PDIP memang tidak memiliki hubungan yang mengikat. Tapi ketika berbicara mengenai visi dan nilai-nilai organisasi, bisa dibilang keduanya memiliki ‘sedikit” kesamaan, walaupun tidak sama persis.
Dengan teologi Al-Ma’un, gerakan Muhammadiyah sejak didirikan hingga saat ini tetap konsisten berjuang membela kaum mustadh’afin melalui tiga pilarnya, yakni pendidikan, kesehatan dan ekonomi.
Adapun PDIP memiliki jargon membela wong cilik ini dilandasi dengan ideologi Marhaenisme yang diwariskan Bung Karno menjadi kekuatan penggerak sekaligus daya tarik partai. Marhaenisme yang bercorakkan sosio-demokrasi dan sosio-nasionalisme diharapkan bisa menjadi penyelamat kaum proletar yang saat ini masih banyak di Indonesia.
Nampaknya adanya kedekatan nilai tersebutlah yang membuat adanya kader Muhammadiyah yang ikut terjun dalam dunia politik melalui partai PDIP. Meski belum terlihat tokoh ditingkat nasional, setidaknya di tingkat provinsi, kabupaten dan kota banyak yang bergabung dan mendapatkan jabatan strategis. Dalam studi Munir Mulkhan, orang Muhammadiyah yang aktif di PDIP ini desebut dengan Marmud (Marhaenis Muhammadiyah).
Namun demikian, tidak lantas menjadikan Muhammadiyah cenderung kepada satu partai. Amanat khittah Ujung Pandang dan Denpasar tetap menjadi landasan Muhammadiyah dalam berpolitik. Bergabungnya kader-kader Muhammadiyah dalam suatu partai merupakan keputusan personal tanpa membawa embel-embel organisasi.
Menurut penulis, erhasilnya PDIP dalam memenangkan pemilu 2019 semoga bisa menjadi jalan bagi Muhammadiyah untuk menyebarkan semangat amar ma’ruf nahi munkar.
Terlepas ada dan tidaknya kader Muhammadiyah di jabatan dalam pemerintahan, dengan kekuatan organisasi saat ini, dengan kekuatan moral dan politik kebangsaan Muhammadiyah seyogyanya mampu memengaruhi dalam menentukan kebijakan-kebijakan pro kaum mustadh’afin dan pro kaum marhaen.
Editor: Rifqy N.A./Nabhan