Kita tentunya bersyukur dan patut mengapresiasi segala bentuk kecanggihan teknologi yang sekarang kita rasakan. Bahkan kini kita sudah sampai pada level bersatunya teknologi dengan manusia dalam satu kesatuan, menjadi apa yang kita sebut ‘masyarakat cerdas’.
Namun di balik hingar bingar segala bentuk kecanggihan, kebebasan, serta keluasannya yang tanpa batas apapun, ada sebuah paradoks dari teknologi digital yang membentuk masyarakat 5.0. Ia juga sekaligus menjadi penentu rekontruksi sosial generasi Z, jika tidak diimbangi dengan kesadaran kritis, visi yang spiritualistik, dan perasaan kemanusiaan.
Ketiadaan kesadaran kritis, visi yang spiritualistik, dan perasaaan kemanusiaan malah akan menciptakan satu generasi yang diperbudak oleh teknologi dan diperdaya oleh zaman. Kita tentunya tidak mau generasi Z yang kita harapkan menjadi penerus generasi malah menjadi sekrup peradaban di era masyarakat 5.0.
Oleh karena itu peran yang sebaiknya mereka lakukan harus terbina sedari dini dalam lingkungan pendidikan yang bervisi sosial, spiritual, dan intelektual. Ia bukan semata-mata terjebak pada mekanisme pasar yang berlogika bahasa ekonomi ‘antara untung dan rugi’. Keterjebakan semacam ini akan membuat generasi Z yang terdidik justru tidak memaknai keilmuwann
Perancangan Pedagogi yang Bertransformasi Secara Progresif
Berperan atau tidaknya generasi Z sangat dipengaruhi oleh pembentukan pendidikan yang sesuai dengan zamannya. Jika pendidikan bagi mereka masih terjebak pada logika pasar bukan logika pengetahuan yang holistik, maka ia akan menciptakan lingkungan akademis yang itu–itu saja. Pedagogi generasi Z serupa akan cenderung menghasilkan individu yang justru menjadi budak teknologi, bukan mengendalikan teknologi.
Karena dalam pendidikan masyarakat modern, khususnya 5.0, yang harus dibangunkan itu adalah sikap yang inklusif. Lawan darinya tentu saja sifat dan sikap yang dominatif. Perwatakan generasi Z harus dibentuk menuju keterbukaan, kekreatifan, keagamaan yang sesuai konteks zaman, dan tentu saja kewaspadaan agar tidak terjebak dengan perangkap zaman.
Oleh karena itu, pendidikan harus diarahkan menuju output manusia yang tidak semata-mata untuk melengkapi kekurangan tenaga kerja. Tetapi menuju individu yang memiliki ciri-ciri yang bisa mengambil peran di dalam masyarakat 5.0 seperti:
(a) Menjauhi sikap dominatif dan eksplotatif. Pentingnya sikap berpikir dan bertindak yang memberikan manfaat terhadap alam sekitar juga manusia lainnya.
(b) Kesediaan untuk berkerja sama dengan lingkungannya dan bersikap pro aktif jika menemukan suatu permasalahan.
(c) Ada sikap yang inklusif, yaitu toleran kepada perbedaan. Perbedaaan mendorong kita pada kemajuan, tentunya tanpa kehilangan identitas dan jati diri kita.
(d) Memiliki pemahaman yang spiritualistik agar setiap langkahnya dapat menjadi keberkahan. Ketika hasil pedagogi diarahkan pada pembentukan karakter semacam ini, maka generasi Z dapat mengambil peran dalam masyarakat 5.0.
Generasi Z Harus Bertransformasi Menjadi Manusia Baru
Dimitri Pisarev, seorang pemikir Rusia dalam bukunya Selected Philosophical, Social and Political Essay, menguraikan tiga ciri manusia baru; (a) manusia yang punya kepedulian dan kesungguhan untuk merubah masyarakat; (b) manusia yang memiliki perasaan sayang yang amat besar terhadap kemanusiaan; (c) manusia yang caranya berpikir/berakal harmonis dengan perasaan manusia.
Tentunya transformasi ini akan mengarah pada pembentukan insan dengan pendekatan sosiologikal-psikologikal yang tidak terjebak pada dehumanisasi dapat mengambil peranan dalam setiap zaman. Akhirul kalam, untuk mengambil peran dalam era masyarakat 5.0 generasi Z harus diarahkan menuju pedagogi yang transformatif, kemudian disadarkan agar bertransformasi menjadi manusia baru.