Feature

Pekojan: Kampung Arab Pertama di Batavia

2 Mins read

Tradisi budaya Arab bagaimana pun cukup kuat dalam mempengaruhi kebudayaan Betawi. Hal ini tak lain karena terjalinnya solidaritas komunitas Arab di Betawi tempo dulu. Jejak persebaran orang-orang Arab di Batavia tidak lepas dari migrasi mereka untuk berdagang di Indonesia atau Nusantara.

Kedatangan para imigran Arab terutama dari Yaman, Hadramaut bukan hanya untuk berdagang. Melainkan ada yang datang untuk menyebarkan agama Islam di Indonesia. Selain itu, menurut Muhammad Haryono dalam “Peranan Komunitas Arab dalam Bidang Sosial-Keagamaan di Betawi 1900-1942”, para imigran Arab ini juga memanfaatkan kesempatan untuk mengenal tradisi Indonesia lebih jauh. Bahkan banyak pula yang akhirnya menikahi masyarakat setempat dan membangun permukiman di Indonesia (Wahyu, 2022).

Kampung Arab Pekojan

Pada Abad ke-19, penelitian tentang Masyarakat Arab di Nusantara telah dilakukan oleh orientalis bernama Van Den Breg. Ia membuktikan bahwa sudah lama para pedagang Arab bermukim di wilayah-wilayah Nusantara terutama di Batavia sejak abad ke-17. Kedatangan orang-orang Arab dari Hadramaut secara massal terjadi sejak Terusan Suez dibuka pada tahun 1869. Masyarakat Arab cukup banyak yang tinggal di Nusantara. Mereka menetap di kampung-kampung yang diberikan oleh pihak kolonial Belanda melalui kebijakan wijkenstelsel, yakni aturan menciptakan pemukiman orang-orang Arab di sejumlah kota pada masa Hindia Belanda. Mereka tidak diperbolehkan untuk tinggal disembarang tempat (Nasser, 2020).

Awal mula Pekojan adalah terdapat imigran-imigran dari India yang menetap di wilayah tersebut. Nama Pekojan berasal dari kata “Koja” yang merupakan sebutan populer untuk orang India. Namun, karena kebijakan pemerintah kolonial yang memindahkan orang Arab disana, akhirnya orang-orang Arab menjadi mayoritas. Menurut Rifandi Septiawan Nugroho dalam, “Kampung Pekojan dalam Perspektif Sejarah”, lahirnya permukiman Pekojan di Batavia bermula dari jejaring kanal yang menghubungkan kawasan itu dengan teritori lainnya. Sejak abad ke-17, berbagai komunitas yang singgah di Pekojan, Moor, Koja, Hadrami, dan Cina, atau golongan Timur Jauh (Vreemde Oosterlingen).

Pemerintah Kolonial Belanda mengandalkan kanal sebagai jalur transportasi utama sekaligus jalur perdagangan. Salah satu yang menandainya adalah keberadaan komunitas Moor dari Persia dan Koja dari Gujarat, di sepanjang tepi kanal Moorsgracht, di sisi barat tembok Batavia, sejak tahun 1633 (Nugroho, 2020). Pada tahun 1873, Hindia Belanda memiliki 35 perempat untuk “Orang Asing Lain”, diantaranya orang Arab menjadi kelompok terbesar.

Baca Juga  Sultan Agung Mataram, Pewaris Jejak Perjuangan Ulama Betawi

Pekojan Bagian dari Penyebaran Islam di Betawi

Selain sebagai pemukiman orang-orang Arab, Pekojan sejatinya juga tempat yang menjadi pusat penyebaran Islam di tanah Betawi. Dahulu ada seorang Syekh bernama Syekh Said Naum, seorang nakhoda kapal Arab yang mendirikan sebuah rumah panggung yang letaknya tidak jauh dari tepian Kali Angke, tempat ini kerap dikunjungi para pedagang perahu yang hendak sholat. Bahkan perkumpulan sosial yang menampung semua aspirasi baik al-Alawiyyin atau al-Masyaikh, yakni Jamiat Kheir didirikan di Pekojan.

Pendirian Jamiat Kheir melalui proses yang Panjang. Para pendirinya terdiri atas Said bin Ahmad Basandiet, Mohamad al-Mashoer, Ali bin Ahmad Shahab, Mohamad Shahab, dan Aidrus Shahab. Gagasan untuk membuat organisasi sebenarnya sudah didiskusikan oleh tokoh-tokoh tersebut pada 1898, namun baru dilaksanakan pada tahun 1901. Pada 1909, Jamiat Kheir mulai mendirikan sekolah dasar di Pekojan. Para orang tua murid tidak dipungkut biaya. Sistem yang diterapkan disana berbeda dengan Pendidikan tradisional semisal pesantren. Karena itu, organisasi dapat dianggap sebagai perintis Pendidikan Islam modern di Jawa (Rizqa, 2021).

Selain itu, di Pekojan juga terdapat masjid bergaya arsitektur unik bernama Masjid Jami An-Nawier. Masjid ini memiliki usia lebih dari dua abad atau 263 tahun. Masjid dibangun dengan perpaduan empat gaya arsitektur, diantaranya Cina, Timur Tengah, Jawa, dan Eropa. Setiap bagian masjid ini memiliki makna tersendiri, seperti tiang di ruang serambi berjumlah 17 yang melambangkan jumlah rakat dalam sholat lima waktu. Kemudian terdapat 33 pilar di dalam masjid yang memiliki makna bacaan tasbih, tahmid, dan takbir. Lima pintu masjid melambangkan rukun Islam. Sedangkan enam jendela melambangkan rukun iman (Wulandari, 2024).

Baca Juga  Mengenal Komunitas Kampung Arab di Kota Malang

Editor: Soleh

Related posts
Feature

Penjara Saydnaya: 'Rumah Jagal Manusia' Bukti Kekejaman Rezim Assad

2 Mins read
Penjara Saydnaya merupakan simbol mengerikan dari kebrutalan sistematis rezim Assad. Kompleks bangunan yang terletak 30 kilometer di utara Damaskus, Suriah, ini merupakan…
Feature

Bagaimana Assad Mengubah Suriah Menjadi Narco-State?

4 Mins read
Suriah yang dulunya dikenal karena peradaban kuno dan kepentingan strategisnya di Timur Tengah, di bawah Rezim Bashar Al-Assad berubah menjadi terkenal karena…
Feature

Paradigma Baru Sidang Isbat

2 Mins read
Dalam penetapan awal Ramadan dan Syawal pemerintah Indonesia melakukan sidang Isbat yang langsung dipimpin Menteri Agama RI, dihadiri para duta besar negara…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *