Report

Muhammadiyah Menyusun Fikih Agraria

6 Mins read

YOGYAKARTA-Persoalan yang beriringan dengan usia manusia di antaranya adalah persoalan tanah dan air. Belakangan diikuti persoalan udara. Bukan hanya permasalahan manusia modern. Sepanjang sejarah, umat manusia melakukan perjuangan melawan kejahatan terkait dengan persoalan tanah, air, dan disusul udara. Demikian dikatakan anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Wawan Gunawan Abdul Wahid dalam Seminar Nasional “Pembaruan dan Tata Kelola Agraria Perspektif Islam dan Keindonesiaan” di Amphitarium Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, 19 Desember 2019.

Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyadari bahwa persoalan agraria sangat kompleks, berkaitan dengan tanah dan apa yang ada di dalam dan di atasnya. Tanah tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, menjadi tempat tinggal dan melangsungkan hidupnya. Tanah juga menjadi sumber penghidupan, tempat bercocok tanam, identitas individu dan kelompok, hingga sumber kekuasaan.

Konflik agraria yang terus terjadi akibat perebutan lahan, penguasaan lahan yang timpang, konversi lahan pertanian ke industri dan pemukiman yang tak terkendali, hingga kerusakan lingkungan akibat kesalahan tata kelola agraria, menjadi persoalan mendesak untuk dicari solusi. Mengingat Indonesia adalah negara berdasar ketuhanan dan Muslim menjadi populasi mayoritas, maka perspektif Islam dalam pembaruan dan tata kelola agraria sangat dibutuhkan. Kebutuhan akan rumusan panduan tata kelola agraria mencakup tentang kedudukan, fungsi, dan pengaturan tanah, yang digali dari sumber rujukan Islam.

Dalam rangka itu, Majelis Tarjih menyusun Fikih Agraria. Ketua Majelis Tarjih dan  Tajdid Prof Syamsul Anwar menyatakan bahwa rumusan Fikih Agraria ini akan dibahas secara lebih menyeluruh dalam Munas Tarjih ke-2 yang akan dilaksanakan April 2020 di Gresik, Jawa Timur. Fikih Agraria ini diharap melengkapi produk tarjih lainnya berupa Fikih Air, Fikih Anak, Fikih Kebencanaan, Fikih Anti Korupsi, Fikih Informasi, dan seterusnya. Terkait dengan Fikih Agraria, Syamsul menyatakan bahwa persoalan ini sudah sangat mendesak.

***

Majelis Tarjih, kata Syamsul, adalah badan di dalam Muhammadiyah yang tugasnya melakukan pengkajian dalam berbagai aspek kehidupan dengan perspektif keagamaan dalam paham Muhammadiyah. Persoalan yang menjadi kajian Majelis Tarjih tidak selalu terkait dengan fikih ibadah atau halal-haram, namun juga tentang semua aspek kehidupan manusia. Syamsul menyebut semisal nanti dalam Munas Tarjih ke-2 akan dibahas juga trend dunia tentang pengakhiran hidup dan upaya bunuh diri dengan bantuan medis.

Permasalahan yang dikaji dalam Majelis Tarjih dan penggalian hukumnya, ungkap Syamsul, akan ditimbang dengan prinsip manhaj tarjih yang memiliki tiga hirarki. Pertama, prinsip-prinsip atau nilai-nilai dasar (al-qiyam al-asasiyah), baik norma teologis maupun norma etik dan yuristik. Kedua, asas-asas yang diambil dari Al-Qur’an dan al-Sunnah (al-ushul al-kulliyah). Ketiga, norma kongkret (al-ahkam al-far’iyah), yang mengkualifikasi suatu peristiwa hukum syar’i.

Baca Juga  Muhammadiyah: dari Indonesia untuk Dunia

Sekretaris PP Muhammadiyah Dr Agung Danarto mengapresiasi inisiasi Majelis Tarjih untuk memproduksi pemikiran yang kontekstual. “Bahasan Tarjih tidak ditemukan dalam khazanah studi Islam klasik. Ini mengokohkan posisi Muhammadiyah dalam mengisi negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah.” Dengan sumbangan gagasannya, Muhammadiyah memberi tafsir atas berbagai persoalan kebangsaan di negara hasil konsensus ini.

Guna mengisi tafsir kebangsaan, ungkap Agung, banyak gagasan yang harus digali dari sumber ajaran Islam dan disesuaikan dengan konteks keindonesiaan, kekinian dan kedisinian. Di saat yang sama, pemikiran Muhammadiyah dipandang akan mengokohkan ciri khasnya sebagai gerakan tajdid. Slogan kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah Muhammadiyah berbeda dengan gerakan purifikasi.

Dalam ideologi Muhammadiyah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, al-ruju ila al-Qur’an wa al-sunnah al-maqbulah itu dengan pemahamannya menggunakan akal pikiran. “Penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur’an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam.” Dalam bahasa tarjih, ungkap Agung, menggunakan pendekatan bayani, burhani, irfani.

Dalam Tanwir Bengkulu, kata Agung, Muhammadiyah merekomendasikan agenda reformasi agraria guna mengurangi kesenjangan kepemilikan lahan mengembalikan konversi lahan yang merugikan rakyat. Sebelumnya, Sidang Tanwir Muhammadiyah pernah juga merekomendasikan: penataan aset pertanahan, redistribusi lahan, pemberian akses tanah negara ke masyarakat miskin, penetapan lahan abadi untuk pembangunan pertanian.

***

Staf Ahli Bidang Landreform dan Hak Masyarakat Atas Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Dr Andi Tenrisau menyambut baik kepedulian Muhammadiyah pada isu agraria. Kementeriannya komit melaksanakan agenda untuk menyelesaikan masalah agraria yang tidak mudah.

Menurut Andi, landasan awalmya mengacu pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. “Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.” Andi yang mewakili Menteri Agraria menekankan pentingnya kata “dikuasai oleh negara, bukan dimiliki.” Penguasaan itu ditujukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Kementerian ATR/BPN telah memetakan beberapa permasalahan yang dihadapi. Pertama, ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah. Data BPS tahun 2013 menunjukkan ketimpangan kepemilikan lahan itu 0,68. Artinya, 1% menguasai 68% sumber daya lahan. Kedua, kata Andi, kepastian dan perlindungan hukum. Sampai 2016, baru 46 juta bidang tanah yang terdaftar.

Baca Juga  Gus Pur: Trensains Tidak Terinspirasi oleh Harun Yahya

Ketiga, sengketa dan konflik pertanahan, sengketa konflik perbatasan antara kawasan hutan dan kawasan non-hutan (APL). Keempat, tumpang tindih perizinan. Andi menyebut sebuah ironi, ada suatu daerah yang perizinan tanahnya lebih luas daripada luas daerah itu sendiri. Kelima, perolehan tanah yang berasal dari aset pemerintah/BUMN/BUMD banyak yang tidak dilaporkan.

Andi menyebut Kementerian ATR/BPN komit melaksanakan agenda reforma agraria yang berupa: acces reform (redistribusi tanah) dan asset reform (legalisasi aset). Di samping itu, pihaknya juga sedang mengembangkan single land administration. Sistem informasi pertanahan, kawasan, dan wilayah terpadu ini memiliki fungsi: land tenure, land use, land value, dan land development yang berbasis sisem kadaster.

Narasumber lainnya dalam forum ini antara lain pakar hukum agraria UGM Prof Nurhasan Ismail, aktivis komunitas adat dan advokasi agraria Dr R Yando Zakaria, pakar agraria IPB dan Sajogyo Institute Dr Mohammad Shohibudin, perwakilan Konsorsium Pembaruan Agraria Roni Septian Maulana, serta Dr Wawan Gunawan Abdul Wahid yang mewakili tim Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah.

Nurhasan Ismail menekankan pentingnya memperhatikan struktur hubungan hukum, antara subjek hukum dengan sumber daya agraria. Menurutnya, ada empat kelompok subjek hukum di Indonesia, yaitu bangsa Indonesia, NKRI, masyarakat hukum adat, dan orang (perseorangan maupun badan hukum). Hak bangsa itu hak yangpenguasaan terteinggi, yang utama dan abadi, menjadi causa prima dari keberadaan negara dan wadah baru tempat berlangsungnya masyarakat hukum adat dan tempat bernaung warga negara.

***

“Hak menguasai negata atas tanah (sumber daya agraria) bukanlah kewenangan yang lahir dengan sendirinya dari negara, namun hak menguasai negara tersebut berasal dari hak bangsa yang kemudian dilimpahkan kepada negara untuk dilaksanakan. Hak menguasai negara tersebut bermakna dan berisi kewenangan untuk: menetapkan, mengatur, dan/atau menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan, dan pemeliharaan sumber daya agraria serta hak-hak terkait sumber daya agraria dan hubungan hukum yang berobyekkan hak-hak terkait sumber daya agraria,” ulasnya.

R Yando Zakaria mengingatkan tentang pentingnya mempertimbangkan kemajemukan horizontal dan vertikal Indonesia dalam merumuskan regulasi tentang hukum agraria. Di samping masyarakat metropolitan, banyak masyarakat yang hidupnya masih berburu dan meramu. Antar masyarakat adat masih beragam. Adat Minangkabau berbeda dengan adat suku anak dalam. Harus ada kebijakan yang mempertimbangkan keragaman vertikal ini.

Baca Juga  Problem Perpres RAN PE, Ini Catatan Abdul Mu'ti

“Masyarakat adat adalah sekelompok orang-perorangan yang hidup secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu dan diikat p;eh identitas budaya, hubungan yang kuat dengan tanah, wilayah dan sumber daya alam di wilayah adatnya, serta sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum, baik yang diatur melalui suatu lembaga adat yang memiliki otoritas untuk mengatur warganya maupun tidak, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945,” ungkapnya.

Roni Septian Maulana yang mewakili Dewi Kartika menuturkan pentingnya merujuk kembali prinsip-prinsip UUPA 1960, bahwa tanah memiliki fungsi sosial, anti monopoli swasta, tanah tidak boleh menjadi alat penghisapan, gotong royong di lapangan agraria, tanah untuk penggarap, tanah tidak boleh ditelantarkan, hanya WNI yang memiliki hubungan abadi dengan tanah.

Konsorsium Pembaruan Agraria merinci lima krisis agraria Indonesia: ketimpangan struktur agraria, akumulasi konflik agraria struktural (ada banyak masyarakat adat ditangkap karena membela haknya), laju cepat konversi tanah pertanian, kerusakan ekologi (bajir, longsor, dll), kemiskinan struktural akibat sistem agraria yang timpang. Banyak hutan yang seharusnya jadi perhutani, justru sudah beralih fungsi.

Dalam lima tahun terakhir, konflik agraria terjadi di 444 desa se-Indonesia. Pendekatan militerisme sering digunakan dalam menghadapi konflik pemerintah dengan masyarakat. Di tahun 2018, terdapat 410 kejadian konflik yang berdampak pada 87.568 KK. Ada 10 petani tewas karena membela hak atas tanah.

***

Mohammad Shohibuddin menawarkan konsep reaktualisasi wakaf dalam rangka pembaruan tata pengurusan agraria. Menurutnya, wakaf bisa menjadi gerakan sosial. Dahulu, 3/4 lahan pemerintah Usman itu tanah wakaf. Terkait masalah agraria di Indonesia, yang terjadi itu nonrestribusi (ke rakyat) dan rekonsentrasi (ke kalangan tertentu). Bahkan, menurutnya, petani berkurang drastis salah satunya karena tidak ada lahan pertanian.

Menyikapi berbagai permasalahan agraria yang semakin kompleks, Shohibuddin menawarkan wakaf sebagai salah satu solusi. Wakaf tidak hanya untuk kepentingan keagamaan, tapi untuk kepentingan publik dan komunitas atau keluarga. Wakaf itu menjadi skema mewujudkan ekonomi solidaritas sosial. Wakaf ini sebagai respons dari permasalahan agraria. Wakaf itu non komoditi, punya potensi besar untuk kepentingan bersama. Salah satu skema wakaf adalah melalui konsolidasi lahan pertanahan

Wawan Gunawan merujuk pada khazanah Islam dengan mengkaji kitab Al-Amwal karya Abu Ubaid Al Qasim bin Salam. Di antara prinsipnya, setiap orang berhak memiliki tanah dan negara wajib menghadirkan kepemilikan itu. Tanah yang dimiliki tidak boleh ditelantarka, harus menjadi tanah produktif. Islam mendahulukan keterlibatan negara astas hajat hidup orang banyak daripada privatisasi.

Wawan merujuk pada peristiwa praktik privatisasi air sumur oleh seorang Yahudi di Madinah, di saat masyarakat Madinah sangat memerlukan air. Usman bin Affan kemudian membeli sumur itu dan memperuntukkan airnya bagi masyarakat. Di saat berbeda, Umar bin Khattab pernah menghentikan pembagian tanah ghanimah karena dikhawatirkan akan memiskinkan orang taklukan dan menumpuk tanah di sekelompok orang. Sebagai ganti, Umar menarik pajak atas tanah tersebut.

.

Reporter: Muhammad Ridha Basri

Related posts
Report

Haedar Nashir: Lazismu Harus menjadi Leading Sector Sinergi Kebajikan dan Inovasi Sosial

1 Mins read
IBTimes.ID – Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Haedar Nashir memberikan amanah sekaligus membuka agenda Rapat Kerja Nasional Lembaga Amil Zakat, Infaq, dan…
Report

Hilman Latief: Lazismu Tetap Konsisten dengan Misi SDGs

1 Mins read
IBTimes.ID – Bendahara Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Hilman Latief mengatakan bahwa Lazismu sudah sejak lama dan bertahun-tahun terus konsisten dengan Sustainable Development…
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds