Report

Pembaruan Islam itu Kembali pada Tradisi, Bukan pada Alquran

3 Mins read

Klasifikasi Generasi Pembaruan Islam: Tua dan Muda

IBTimes.ID – Sukidi, seorang sarjana muslim lulusan Harvard University membedakan generasi pembaruan Islam tua dengan generasi pembaharuan Islam muda. Menurutnya, generasi pembaruan Islam tua diwakili oleh Nurcholish Madjid (Cak Nur), Ahmad Syafii Maarif (Buya Syafii), Fazlur Rahman, dan lain-lain. Sementara generasi muda adalah ia sendiri bersama Ulil Abshor Abdalla, dan lain-lain yang segenerasi.

Sebagai seorang kader Nurcholish Madjid, Sukidi menyebut Cak Nur, sebagai the greatest Islamic reformer. Cak Nur belajar kepada Falzur Rahman di Chicago. Fazlur Rahman memberikan pengaruh terhadap cara Cak Nur membaca tradisi Islam. Cak Nur memiliki semangat pembaruan kembali kepada Alquran (ar-ruju’ ila al-Quran) sesuai istilahnya sendiri. Maka kembali kepada Alquran adalah metode pembaruan Islam menurut generasi tua. Sementara itu, menurut Sukidi, pembaruan Islam harus dimulai dan bermula dengan tradisi. Ini adalah perbedaan yang cukup tajam.

“Saya tidak melihat ar-ruju’ ila al-Quran sebagai metode pembaruan Islam. Saya bersikap lebih rendah hati untuk kembali kepada tradisi, bukan langsung kepada Alquran,” ujar Sukidi dalam Studium Generale Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan tema “Arah Baru Pembaruan Islam”, Selasa (3/10).

Sukidi menyebut bahwa kembali kepada Alquran akan menimbulkan kemusykilan. Menurutnya, Alquran adalah teks tanpa konteks. Bagi generasi pembaharu Islam tua, kembali kepada Alquran berangkat dari keyakinan bahwa ada makna yang inheren yang melekat pada teks-teks Alquran itu sendiri. Sementara itu, Sukidi tidak percaya dengan hal tersebut. Justru menurutnya tidak ada makna dalam teks-teks Alquran. Tidak ada makna yang melekat dalam teks-teks Alquran.

“Memahami makna dalam Alquran tidak bisa dilakukan sesuai istilahnya sendiri. Tetapi harus dengan membaca komunitas penafsir itu sendiri. Lokus makna itu tidak berada pada teks Alquran, tetapi berada pada pikiran penafsir, otoritas komunitas penafsir,” imbuhnya.

Baca Juga  Refleksi Kartini: Perempuan Kritis yang Ubah Budaya Patriarki

Menurut Sukidi, hal ini terkait dengan metode bagaimana cara mengetahui tentang apa yang terjadi pada masa silam. Rahman, Cak Nur, dan Buya Syafii melihat bahwa cara untuk mengetahui apa yang terjadi pada masa silam adalah dengan kembali kepada Alquran. Menurut Sukidi, cara terbaik memahami Alquran adalah menggunakan tradisi penafsiran melalui karya tafsir.

Menurutnya, hal ini juga merupakan cara untuk memberikan penghormatan terhadap komunitas penafsir yang membaca Alquran dengan varian yang berbeda-beda. Maka, penegasan terpenting bagi pembaruan Islam adalah bahwa makna yang diatributkan pada teks Alquran bukan makna dari Tuhan. Ketika Tuhan mewahyukan Alquran, Tuhan tidak mewahyukan makna itu sendiri. Generasi tua mengasumsikan bahwa Tuhan mewahyukan lafal dan makna sekaligus. Sementara, menurut Sukidi, makna tidak diberikan pada saat proses pewahyuan. Tafsir adalah proses pembentukan makna.

Makna Wahyu, Makna sebagai Produk Manusia, bukan dari Tuhan

Sukidi mengenalkan merujuk Muqatil bin Sulaiman, seorang penafsir awal Islam yang sering dilupakan dalam tradisi Islam Sunni karena tafsirnya tidak dikutip oleh Thabari. Thabari menjadi kunci kenapa Muqatil tidak dikenal di dalam dunia Islam. Padahal, Muqatil adalah penafsir awal yang menulis tafsir secara utuh.

Muqatil sebagaimana dikutip oleh Sukidi, menyebut ada lima makna wahyu. Pertama, wahyu adalah apa yang Jibril turunkan kepada Muhammad, Nuh, dan nabi-nabi lain. Inilah konsep pewahyuan yang sering dikutip oleh Cak Nur.

Kedua, makna wahyu menurut Muqatil adalah ilham. Ketiga, wahyu berarti kitabah. Kitabah bermakna writing yang selalu terbuka sehingga ada konsep nasikh mansukh. Selalu ada ruang untuk merevisi wahyu yang turun sebelumnya dengan wahyu yang baru.

Keempat, wahyu adalah perintah (al-amr). Kelima, wahyu adalah kalamullah.

“Apakah lima makna wahyu yang tidak tunggal dan bahkan kontradiktif itu adalah makna yang diturunkan Tuhan? Saya tidak berani mengatakan demikian. Menurut sayak, makna wahyu itu diproduksi oleh Muqatil, bukan turun dari Tuhan,” tegas Sukidi.

Baca Juga  Komaruddin Amin: Peran Strategis Ulama Perempuan dalam Kebangsaan

Makna Alquran, Diproduksi Penafsir, bukan dari Tuhan

Menurut masyarakat umum, Alquran adalah mushaf. Menurut Sukidi, cara terbaik untuk mengetahui makna dari Alquran adalah dengan cara melihat tradisi. Dalam tafsir Thabari, makna Alquran pertama diwakili oleh Ibnu Abbas, yaitu Alquran adalah bacaan, tilawah, qiroah.

“Jibril tidak datang kepada Muhammad dengan satu mushaf. Tetapi yang terjadi adalah proses pembacaan dari Jibril kepada Muhammad. Maka tradisi membaca Alquran adalah tradisi yang hidup. Para sahabat menyimpan Alquran dalam hati dengan cara menghafal,” imbuhnya.

Makna kedua diberikan oleh Qatadah. Menurut Qatadah sebagaimana dikutip Thabari, Alquran adalah ta’lif, compilation. Alquran membawa sesuatu secara bersama dan menggabungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Satu bagian saling memperkuat bagian lain. Tetapi makna Alquran sebagai bacaan dan kompilasi berbeda. Kedua makna itu tidak berasal dari Tuhan, melainkan diproduksi oleh manusia, dalam hal ini adalah Ibnu Abbas dan Qatadah.

Di sisi lain, dalam tafsir Suyuthi, Alquran disebut sebagai Taurat baru. Hal ini adalah keberanian intelektual dari Suyuthi. Ini adalah makna yang diproduksi oleh komunitas penafsir, bukan dari Tuhan.

“Saya sudah menulis 20 volume tentang hal ini di Suara Muhammadiyah, bahwa makna tidak berasal dari Tuhan dan tidak berasal dalam proses pewahyuan. Kembali kepada Alquran menimbulkan kemusykilan karena Alquran adalah teks yang sulit dipahami sesuai istilahnya sendiri. Makna Alquran baru muncul ketika kita membaca Alquran melalui lensa komunitas penafsir,” imbuhnya.

Maka, menurut Sukidi, umat Islam perlu menghargai tradisi untuk memahami Alquran. Ia berkomitmen untuk terus menyuarakan gagasan pembaruan Islam melalui tradisi. Dalam melihat tradisi, Sukidi berpendapat bahwa salafu ash-shaleh adalah tradisi terbaik.

Baca Juga  Islam Progresif: Pandangan Keislaman yang Paling Relevan Saat ini

Tradisi yang perlu diikuti ada pada fase salafu ash-shaleh. Fase tersebut dekat dengan fase kenabian. Dengan kedekatan tersebut, orang-orang Islam memiliki pengetahuan yang lebih baik tentang Islam dan Alquran.

Reporter: Yusuf

Avatar
1447 posts

About author
IBTimes.ID - Rujukan Muslim Modern. Media Islam yang membawa risalah pencerahan untuk masyarakat modern.
Articles
Related posts
Report

Anak Ideologis itu Amal Jariyah

1 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Pendakwah muda Habib Husein Ja’far Al Hadar menyebut anak ideologis lebih baik daripada anak biologis. Alasannya, karena perjuangan dengan…
Report

Alissa Wahid: Gus Dur Teladan Kesetaraan dan Keadilan

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Wahid memberikan tausiyah pada peringatan Haul Gus Dur ke-15 yang bertempat di Laboratorium Agama UIN…
Report

Alissa Wahid: Empat Faktor Penyebab Meningkatnya Kasus Intoleransi di Indonesia

2 Mins read
IBTimes.ID, Yogyakarta – Direktur Jaringan GUSDURian Alissa Qotrunnada Wahid atau Alissa Wahid menyampaikan bahwa ada empat faktor utama yang menyebabkan tren peningkatan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds